Oleh: Rizqia Adjam *
Saya sempat berpikir bahwa ungkapan “ignorance is bliss” memang benar adanya. Setelah saya belajar tentang ekotoksikologi, terlebih lagi soal logam berat, bioakumulasi, dan juga tentang mikroplastik, saya ingin sekali melakukan ctrl+alt+del semua informasi tentang itu. Bukan karena ilmunya membosankan, tetapi karena ilmunya terasa sangatlah dekat. Saya seperti membaca kisi-kisi tentang malapetaka yang akan datang. Begini, aktivitas antropogenik itu menyumbang banyak sekali polutan dan apa yang kita “keluarkan” ke alam akan selalu balik lagi ke dalam sistem tubuh kita, manusia. Begitu pula dengan kegiatan industri dan penggunaan plastik yang berlebihan; semua dampaknya akan “tersaji” lagi di atas meja makan kita. Bon appetit!
Mengenal Mikroplastik dan Logam Berat
Mikroplastik adalah sampah plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik dibagi ke dalam dua bagian, yaitu mikroplastik primer yaitu mikroplastik yang sengaja diproduksi (biasanya untuk kebutuhan kosmetik dan serat pakaian sintetis) dan mikroplastik sekunder yang merupakan hasil perubahan ukuran plastik akibat proses alam. Bentuk mikroplastik pun ada berbagai macam, yaitu bentuk pellet, filamen, fiber, fragmen.
Mikroplastik masuk ke wilayah pesisir dan laut melalui beberapa cara seperti dari aliran sungai, angin, terbawa oleh arus, serta lewat run off. Mikroplastik yang berada pada kolom air ataupun yang mengendap dalam sedimen dapat masuk ke dalam jaringan ikan, kerang, udang, teripang, serta biota laut lainnya lewat aktivitas makan karena mereka tidak bisa membedakan antara mikroplastik dan makanan. Terlebih lagi hewan seperti kerang memiliki cara makan yang unik, mereka adalah filter feeder, yaitu hewan yang menyaring air laut dan sedimen sebagai bentuk cara makan. Maka dari itu, mikroplastik yang berada di air dan sedimen akan dengan mudah masuk ke dalam sistem pencernaan kerang, ditambah sifat kerang yang cenderung bergerak dengan lambat membuat mereka rentan terhadap polusi lingkungan.
Cukup berbeda dengan polusi mikroplastik yang murni disebabkan oleh aktivitas antropogenik saja, polusi logam berat pada wilayah pesisir dan laut dapat disebabkan oleh faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami dapat disebabkan oleh aktivitas vulkanik dan pelapukan batuan. Sementara faktor manusia umumnya disebabkan oleh tumpahan minyak dan aktivitas industri atau hasil buangan proses industri. Namun, faktor manusia tetap menjadi penyebab utama mengapa logam berat bisa mencemari wilayah pesisir dan laut. Logam berat yang masuk ke area pesisir dan laut akan mengendap pada dasar perairan dan mempengaruhi biota laut lainnya.
Dalam ilmu ekotoksikologi, polutan akan berinteraksi dengan biota laut lewat sebuah sistem rantai makanan atau sistem trofik. Polutan (dalam artikel ini yaitu mikroplastik dan kandungan logam berat) akan menumpuk dalam tubuh organisme (disebut bioakumulasi) dan akan semakin bertambah jumlahnya di dalam tubuh organisme yang menjadi rantai makanan paling tinggi (disebut biomagnifikasi). Jadi bisa dibayangkan sendiri ada berapa banyak polutan dalam organ internal kerang-kerang seperti kerang hijau, kerang dara, dan kerang bambu, lalu bisa dibayangkan pula betapa tingginya kadar polutan dalam organ atau daging di ikan hiu.
Mengunyah Polutan dalam Hidangan Seafood
Berdasarkan data terbaru, 92.41% masyarakat indonesia mengkonsumsi seafood seperti ikan, udang, cumi, dan kerang, menjadikan seafood bagian penting dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Namun bagaimana dengan polutan dalam makanan laut di Indonesia? Menurut penelitian Emawati dkk, kandungan logam berat timbal dalam sampel kerang hijau dan kerang bulu dari Teluk Jakarta sudah melewati ambang batas aman. Lalu menurut penelitian Usman dkk, kandungan logam berat timbal dalam daging ikan kakap merah dari pelabuhan Pare-pare pun telah melewati ambang batas aman.
Setali tiga uang dengan logam berat dalam seafood, mikroplastik pun banyak ditemukan dalam spesimen makanan laut Indonesia. Saya punya cerita yang agak dungu dan lucu. Tahun 2019 saya menemani sahabat karib saya penelitian tentang mikroplastik di kerang kerek di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Saat itu saya menjadi asisten penelitiannya untuk mengambil sampel sedimen dan kerang kerek. Selepas mengambil sampel, kami makan siang ikan bakar dan tumis kerang, lalu berangkat untuk mengejar kapal menyeberang kembali ke Muara Angke. Selang beberapa hari, kami mulai menganalisa dan menghitung mikroplastik dalam sampel kerang kerek. Mikroplastik yang ditemukan di sampel kerang kerek sangatlah beragam bentuknya, mulai dari fiber, fragment, dan film, dan kelimpahan mikroplastik yang paling banyak ditemukan sebesar 17.33 partikel per individu. Kami hanya bisa tertawa, rasanya seakan mendapatkan kisi-kisi mikroplastik apa saja yang ada di tubuh kami saat itu. Lalu menurut penelitian Sawalman dkk, mikroplastik ditemukan dalam sampel tiga ikan ekonomis penting di Pulau Barralompo, Makassar, yaitu ikan julung-julung, baronang, dan katamba, dengan rata-rata tingkat deteksi sebesar 83%. Penelitian Tobing dkk pun turut menambah fakta lainnya, sebesar 43.82% ikan laut konsumsi pada perairan Bali telah tercemar oleh mikroplastik.
Setelah tahu bahwa seafood yang kita makan bisa jadi mengandung mikroplastik dan logam berat, ada baiknya kita mendorong penerapan pengelolaan limbah yang baik di masyarakat, tentu hal tersebut bukanlah hal yang mudah dipraktekkan, perlu ada kerjasama antara berbagai pihak, antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pemerintah perlu untuk memperketat aturan dan evaluasi proses pengelolaan limbah industri serta pengendalian pencemaran limbah yang terjadi saat ini. Begitupun dengan masyarakat sipil, pengolahan limbah domestik yang baik serta aksi untuk meminimalisir penggunaan plastik akan sangat berdampak baik pada lingkungan.
–##–
* Rizqia Adjam adalah seorang penulis yang gemar menulis tentang lingkungan dan sastra. Rizqia juga seorang zinester yang terafiliasi dengan toko zine di Pasar Cihapit Bandung bernama Berkawan Sekebun. Rizqia menempuh studi jenjang sarjana di program studi Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dengan topik penelitian penyakit dan gangguan kesehatan karang.
Leave A Comment