Laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological
Organization/WMO), Global Annual to Decadal Climate Update memrediksi suhu bumi akan terus naik dalam 5 tahun ke depan dalam periode 2025-2029. Suhu rata-rata permukaan bumi setiap tahunnya akan naik berkisar antara 1,2°C dan 1,9°C. Suhu rata-rata per tahun ini lebih tinggi dari suhu rata-rata periode 1850-1900 setelah Revolusi Industri.
WMO juga memprediksi besar kemungkinan (mencapai 86%) suhu permukaan rata-rata bumi akan melampaui 1.5°C di atas periode 1850-1900 – setidaknya satu tahun antara tahun 2025 dan 2029. Sementara peluang suhu rata-rata lima tahunan periode 2025-2029 melampaui 1.5°C di atas periode 1850-1900 mencapai 70%. Rekor tahun terpanas yang saat ini tercatat di 2024 kemungkinan juga diprediksi akan terpecahkan di satu tahun antara tahun 2025 dan 2029 dengan peluang mencapai 80%.
Tim ilmuwan yang dipimpin oleh William J Ripple dalam artikelnya di Jurnal Bio Science menyatakan,
selama setengah abad, pemanasan global ini telah diprediksi dengan tepat tidak hanya oleh ilmuwan akademis independen namun juga oleh perusahaan bahan bakar fosil (Supran et al. 2023). Namun terlepas dari peringatan tanda bahaya ini, dunia masih bergerak ke arah yang salah; emisi bahan bakar fosil terus naik ke level tertinggi sepanjang masa, suhu rata-rata permukaan bumi terus naik dan kebijakan yang diambil oleh dunia saat ini membuat bumi berada di jalur pemanasan global 2,7 derajat Celcius (°C) pada tahun 2100 (UNEP 2023).
Dampaknya, miliaran manusia di bumi saat ini terus merasakan panas yang semakin ekstrem. Wilayah Asia dan Pasifik terus menjadi wilayah yang paling rentan terdampak bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan badai. Sementara masyarakat di benua Afrika terus mengalami kerugian di berbagai sektor; pendidikan, ekonomi dan kekurangan pangan akibat cuaca ekstrem. Data dari UNICEF misalnya menyebutkan, panas yang menyengat di Sudah Selatan yang mencapai 45°C memaksa sekolah tutup. Di seluruh dunia, setidaknya 242 juta siswa kehilangan kesempatan untuk belajar/sekolah di 2024 akibat cuaca ekstrem. Sebagian besar mereka tinggal di wilayah Sub-Sahara Afrika.
Semua data-data ini dengan mudah bisa ditemukan dan dianalisis untuk menjadi landasan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya bersiap menghadapi bencana yang semakin ekstrem terjadi, dunia juga harus mewariskan bumi yang aman untuk generasi mendatang di akhir abad ini dengan aksi mitigasi, pengurangan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Tidak ada kata berhenti untuk terus memulai aksi.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment