Oleh: Rafie Altaf Pramantya *
Energi terbarukan, tetapi terabaikan. Salah satu isu global yang saat ini tak terelakkan adalah isu transisi energi. Negara-negara di Eropa, Amerika, dan Asia Timur mulai berlomba untuk meningkatkan kapasitas energi bersih. Indonesia pun tak mau ketinggalan. Dilansir Kementerian ESDM, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025.
Geotermal sebenarnya merupakan salah satu pilihan yang paling menjanjikan di antara berbagai sumber energi bersih. Menurut ThinkGeoEnergy, Indonesia menjadi negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Namun, dalam realisasinya, kontribusi geotermal terhadap pasokan energi nasional masih lah minim. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: Kalau begitu besar potensinya, kenapa tidak dimanfaatkan secara maksimal?
Fakta Lapangan: Potensi vs Realisasi
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2023,
Indonesia memiliki potensi energi geotermal sebesar 23,7 gigawatt (GW). Ironisnya, masih banyak lokasi potensi yang belum dikembangkan secara komersial. Pemanfaatan energi ini masih sangat terbatas, hanya sekitar 2,3 GW atau kurang dari 15% dari total potensi yang ada. Artinya, lebih dari 85% potensi geotermal Indonesia masih ‘tertidur’.
Lantas, mengapa dipandang sebelah mata?
a. Tingginya Biaya Awal Eksplorasi
Dibutuhkan investasi awal yang sangat besar untuk pengembangan proyek geotermal. Setidaknya, pengeboran sumur eksplorasi menelan biaya USD 5–10 juta per sumur. Tentunya, dengan risiko kegagalan yang tinggi—bisa jadi tidak ditemukan reservoir yang layak produksi.
b. Waktu Pengembangan Lama
Dari eksplorasi hingga produksi, proyek geotermal membutuhkan waktu sekitar 5–7 tahun. Hal ini jauh lebih lama dibandingkan pembangkit tenaga surya atau angin yang bisa dibangun dalam waktu 1–2 tahun. Bagi pengembang swasta, waktu yang panjang berarti risiko ekonomi yang lebih besar
c. Kendala Regulasi dan Perizinan
Sering kali pengembangan geotermal terkendala oleh regulasi tumpang tindih, terutama apabila lokasi proyek berada di kawasan hutan lindung atau konservasi. Meskipun UU No. 21 Tahun 2014 sudah memisahkan geotermal dari aktivitas pertambangan, implementasi di lapangan belum sepenuhnya efektif. Masih terdapat benturan kepentingan antarinstansi yang menghambat percepatan proyek.
d. Isu Sosial Lingkungan dan Kurangnya Edukasi serta Sosialisasi
Proyek-proyek geotermal sering kali menghadapi penolakan dari masyarakat lokal karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan dan ancaman kehidupan sosial masyarakat sekitar. Meskipun secara ilmiah dampak lingkungan dari proyek geotermal jauh lebih kecil dibandingkan tambang atau PLTU, kekhawatiran tersebut tetap saja muncul. Hal ini sering kali dipicu oleh kurangnya komunikasi dan edukasi yang baik kepada masyarakat.
Apa yang bisa dilakukan?
a. Dukungan Pemerintah dalam Pembiayaan Eksplorasi
Negara Kenya dan Turki bisa menjadi contoh bagi Pemerintah. Terdapat lembaga eksplorasi negara seperti Geothermal Development Company (GDC) untuk menanggung risiko awal. Skema pembiayaan risiko atau penjaminan proyek oleh BUMN bisa mendorong minat investor pada tahap awal yang paling berisiko.
b. Penyederhanaan Regulasi dan Perizinan
Pemerintah harus menyederhanakan proses perizinan proyek geotermal, terutama dalam kawasan hutan. Integrasi sistem perizinan diharapkan satu pintu dengan waktu proses yang transparan dan cepat. Regulasi lintas kementerian perlu sinkron agar investor tidak tersandung birokrasi.
c. Peningkatan Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat
Sosialisasi manfaat geotermal harus dilakukan secara massif, terutama di daerah-daerah yang menjadi target pengembangan. Libatkan masyarakat sejak awal dalam perencanaan proyek dan berikan informasi secara transparan. Ketika masyarakat paham, resistensi bisa dikurangi dan partisipasi meningkat.
Energi panas bumi sudah saatnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Geotermal bukan sekadar energi masa depan, tetapi juga sumber energi hari ini yang siap dikembangkan secara serius. Untuk menjadikan geotermal sebagai pilar energi masa depan, diperlukan perubahan kebijakan, dukungan pendanaan, dan perbaikan tata kelola.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap energi panas bumi. Dari yang semula dianggap sekadar pelengkap, menjadi fondasi utama dalam transisi energi nasional. Di tengah krisis iklim dan tuntutan keberlanjutan, energi geotermal bisa menjadi solusi
yang sangat dibutuhkan Indonesia.
–##–
* Rafie Altaf Pramantya adalah mahasiswa S1 Program Studi Teknik Geofisika ITB yang sedang
mengambil spesialisasi gunung api dan panas bumi. Rafie selalu tertarik dengan isu dan perkembangan energi geotermal saat ini.
Leave A Comment