Pandemi Corona atau COVID-19 melumpuhkan sendi-sendi perekonomian dunia, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah pengangguran dan penduduk yang kelaparan melonjak drastis. Harga dan kinerja bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara anjlok akibat menurunnya permintaan energi dunia.

Organisasi Buruh International (ILO) memperkirakan, dampak ekonomi dari COVID-19 terhadap lapangan kerja jauh lebih parah dibanding krisis finansial tahun 2008-2009. Dalam tiga bulan ke depan, 200 juta orang akan kehilangan pekerjaan tetapnya. Dalam hitungan yang terburuk, pembatasan skala terbatas atau pembatasan penuh (full or partial lockdown) akan berdampak terhadap 2,7 miliar pekerja atau 80% angkatan kerja dunia.

Diperlukan strategi untuk membangun kembali ekonomi, yang mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat paska pandemi COVID-19.

Peluang untuk membangun ekonomi dan meningkatkan kualitas lingkungan ini dipaparkan dalam laporan IRENA terbaru berjudul “Beyond crisis: Renewable energy for a low-carbon future” yang dirilis baru-baru ini.

Menurut IRENA emisi terkait energi telah naik 1% per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Memang bencana pandemi COVID-19 telah menurunkan emisi gas rumah kaca dan polusi udara dunia. Namun penurunan emisi ini hanya sementara. Tidak ada pengaruh penurunan emisi GRK akibat pandemi COVID-19 ini terhadap efek perubahan iklim dan pemanasan global yang sudah terlihat nyata dalam 50 tahun terakhir.

Menurut data terbaru dari National Oceanic and Atmospheric Association (NOAA), konsentrasi emisi karbon dioksida (CO2) dunia terus meningkat dengan pesat. CO2 adalah gas rumah kaca utama yang bersirkulasi di atmosfer dalam jangka panjang, yang menumpuk di atmosfer sejak masa revolusi industri hingga kini. Penggunaan bahan bakar fosil terus meningkatkan konsentrasi emisi CO2 ini. NOAA mencatat pada bulan April 2020, rata-rata konsentrasi emisi CO2 di atmosfer mencapai 416.21 PPM (parts per million), tertinggi sejak pengukuran CO2 dimulai di Hawaii pada tahun 1958.

Upaya untuk memangkas emisi GRK dan polusi udara perlu terus dilakukan tidak hanya agar dunia mencapai target pembatasan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius sebagaimana ditargetkan dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement), namun juga memangkas polusi udara yang menurut data WHO telah mencabut 7 juta nyawa setiap tahun atau 19.178 jiwa per hari. Jumlah korban ini jauh lebih dahsyat dibanding pandemi saat ini.

Polusi udara juga meningkatkan risiko kematian COVID-19. Tim peneliti dari Universitas Harvard menemukan, saat polusi PM2.5 naik 1 μg/m3, kematian akibat COVID-19 akan meningkat 15%. Sementara itu, mencegah kenaikan suhu bumi juga berarti mencegah dampak berbahaya dari perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem dengan korban jiwa dan harta benda yang tak terhitung banyaknya, merusak hasil pembangunan yang susah payah dilakukan selama ini.Solusi yang ditawarkan oleh IRENA adalah dengan mentransformasi sistem energi dunia dengan enam aksi kunci berikut ini:

Solusi pertama adalah melakukan elektrifikasi sistem transportasi dan sistem pemanas (heating) dunia, dengan menggunakan listrik sebagai sumber energi utama, meninggalkan bahan bakar fosil seperti bensin, solar atau batu bara yang selama ini dipakai.

Solusi kedua adalah dengan memproduksi hidrogen hijau yang lebih ramah lingkungan. Hidrogen hijau menurut IRENA bisa menjadi “missing link” yang selama ini dicari dunia, yang mengaitkan upaya pengurangan emisi GRK dan polusi udara dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan industri serta pengembangan energi terbarukan. Hidrogen bisa diproduksi melalui proses elektrolisis energi terbarukan. Hidrogen diperlukan oleh berbagai macam industri termasuk industri kimia, metalurgi, serat tekstil, kaca dan industri elektronik. Saat ini hidrogen 98% masih dihasilkan dari bahan bakar fosil. Energi yang berasal dari hidrogen menurut IRENA juga berpotensi memasok 29 EJ (exajoule) permintaan energi global di 2050.

Solusi ketiga, mengembangkan rantai pasokan untuk bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik. Salah satu jenisnya adalah bahan bakar nabati yaitu biodiesel, bioetanol dan minyak nabati murni.

Solusi keempat, menerapkan konsep ekonomi sirkular. Hijauku.com sudah berkali menurunkan laporan serta tulisan opini yang membahas konsep ekonomi sirkular ini. Silahkan akses melalui tautan berikut: Ekonomi Sirkular.

Solusi kelima, adalah memaksimalkan semua potensi efisiensi energi yang bisa dilakukan. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai manfaat efisiensi energi, silahkan pelajari berbagai laporan Hijauku.com dalam tautan berikut ini: Efisensi Energi.

Solusi terakhir menurut IRENA adalah dengan mempromosikan atau menargetkan perubahan perilaku selain perubahan-perubahan struktural lainnya. Hijauku.com telah menjabarkan peluang aksi mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global yang mencakup aksi perubahan perilaku dalam laporan berikut: 2020, Awal Baru Aksi Perubahan Iklim Dunia.

Kembali pada laporan IRENA, guna mentransformasi sistem energi, dunia perlu mengalokasikan 80% dari total investasi energi mereka untuk mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, perbaikan jaringan listrik (power grids upgrades) dan fleksibilitas jaringan listrik (grid flexibility). Skenario ini memerlukan investasi kumulatif sebesar $110 triliun plus $20 triliun untuk mencapai level nol emisi (zero emissions).

Menurut IRENA transisi ini akan meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja di semua wilayah di muka bumi. Keenam solusi diatas menurut IRENA akan meningkatkan Produk Domestik Bruto Global atau Global GDP sebesar 2,4% dengan nilai manfaat kumulatif yang mencapai $98 triliun di 2050.

IRENA juga mencatat, jumlah lapangan kerja yang tercipta di sektor energi terbarukan akan mencapai 42 juta di seluruh dunia pada 2050. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan lapangan kerja di sektor efisiensi energi sebesar 21,3 juta dan lapangan kerja di bidang jaringan listrik dan fleksibilitas energi sebesar 14,5 juta lapangan kerja.

Laporan IRENA sebelumnya yang berjudul “Global energy transformation: A roadmap to 2050” yang dirilis tanggal 9 April 2019 juga menyatakan, peralihan ke energi terbarukan akan membawa manfaat kesehatan, pengurangan subsidi dan kerugian akibat perubahan iklim dengan nilai yang tidak main-main, senilai $160 triliun dalam jangka waktu 30 tahun. Nilai manfaat ini melampaui biaya investasi kumulatif yang diperlukan untuk transformasi sistem energi dunia.

Skenario transformasi energi ini diharapkan bisa menjadi penggerak pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 yang seiring dengan perkembangan di sektor-sektor lain – seperti di sektor industri, manufaktur, pertanian, pariwisata, transportasi, perdagangan dan lain sebagainya – saat pandemi telah usai, diharapkan mampu menciptakan perekonomian dunia yang lebih hijau, aman dan lestari.

Redaksi Hijauku.com