Tantangan memenuhi kebutuhan pangan tanpa merusak lingkungan semakin berat. Namun solusi tersedia.
Jumlah penduduk bumi yang saat ini telah mencapai 7 miliar jiwa. Angka ini diperkirakan melonjak menjadi 9,2 miliar pada 2050.
Untuk mengimbangi lonjakan penduduk, produksi pangan harus meningkat sebesar 70%. Dari sinilah masalah muncul. Menurut Soil Association, terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan produksi pangan dunia. Pasokan pangan lebih didominasi oleh bahan pangan dan produk makanan ala Barat berbahan gandum, daging dan susu.
Pola makan a la Barat ini menyumbang emisi metana dan CO2 dalam jumlah besar. Dua gas ini adalah gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.
Menurut laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), konsentrasi emisi gas rumah kaca akan mencapai 58 gigaton (Gt) pada 2020. Hal ini akan terjadi jika dunia (kembali) gagal beraksi memangkas emisi yang menyebabkan kenaikan suhu bumi antara 3-5° C pada akhir abad ini.
Ketidakseimbangan produksi pangan, menurut Soil Association juga tak mampu menyelesaikan masalah kelaparan dan kekurangan gizi. Pada 2050, diperkirakan masih ada 290 juta penduduk dunia yang mengalami kedua krisis ini.
Masalahnya kembali pada pola konsumsi penduduk di bumi. Sebanyak 35–40% produksi serealia (biji-bijian yang digunakan sebagai bahan pangan manusia) digunakan untuk pakan ternak, untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani manusia.
Jumlah serealia yang dipakai untuk pakan ternak ini diperkirakan akan naik hingga 50% pada 2050 jika konsumsi daging terus bertambah.
Padahal, jika semua pasokan serealia tersebut dipakai untuk pangan manusia, dunia akan mampu menyediakan pangan ekstra untuk 3,5 miliar penduduk.
Dan jika dunia mampu memertahankan konsumsi daging dan susu seperti level tahun 2000, menurut Soil Association, akan ada surplus 400 juta ton serealia yang bisa dikonsumsi oleh penduduk dunia. Sehingga kebutuhan pangan untuk 1,2 miliar penduduk tambahan pada 2050 akan dengan mudah terpenuhi.
Solusi ini semakin lengkap, jika dunia berhasil mengurangi limbah makanan dan beralih ke sistem pertanian organik. Hijauku.com sudah menurunkan laporan terkait dua tema ini.
Sistem peternakan organik murni, menurut penelitian terbaru dari University of Reading, Inggris, mampu memroduksi daging sapi dan kambing, 68% dan 55% lebih banyak dibandingkan sistem peternakan non-organik. Peternakan organik juga mampu memroduksi 75% dari jumlah telur yang diproduksi saat ini.
Laporan ilmiah terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science menyebutkan, pertanian organik terbukti lebih hemat air, energi dan nutrisi. Sistem pertanian organik memerlukan nitrogen, fosfat dan potasium 34-51% lebih rendah dibanding sistem pertanian konvensional. Pertanian organik juga lebih hemat air antara 70–90%.
Jika semua strategi ini diterapkan secara simultan, dunia berpeluang menyelesaikan masalah pangan secara berkelanjutan. Dimulai dari pola pangan yang hijau dan sehat serta dengan peralihan ke sistem pertanian organik.
Redaksi Hijauku.com
[…] Anda tonton. Film informatif ini akan membantu Anda memahami hubungan antara limbah pangan dan sumber daya alam. Semakin banyak limbah pangan yang kita hasilkan, semakin banyak sumber daya alam yang kita buang. […]