Oleh: Ari Mochamad *

Pada hari Minggu, 6 Juli 2025, hujan dengan intensitas tinggi melanda wilayah Bogor, Jakarta, dan sekitarnya sejak siang hingga malam hari. Menurut informasi dari BMKG, cuaca ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer yang memicu pertumbuhan awan hujan secara masif.

Akibatnya, sejumlah wilayah terdampak banjir dan longsor, tidak hanya di Jabodetabek, namun juga di beberapa daerah lain di Indonesia. Bencana ini telah menyebabkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta terganggunya aktivitas masyarakat.

Aksi Adaptasi Tak Bisa Ditunda

Dalam berbagai forum kebijakan dan pelaksanaan di lapangan, desakan untuk segera melakukan aksi adaptasi terhadap perubahan iklim kerap kali berhadapan dengan argumen klasik: sulitnya mengukur secara kuantitatif dampak dari intervensi adaptasi yang dilakukan. Ketiadaan indikator yang pasti dan kerangka evaluasi yang kuat sering dijadikan alasan untuk menunda implementasi, menunggu data yang lebih “lengkap”, atau bahkan membatasi pembiayaan.

Namun, pendekatan semacam ini semakin tidak relevan dalam konteks krisis iklim yang kian nyata. Laporan-laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan analisis kebijakan adaptasi global menunjukkan bahwa in-action—alias ketidaksiapan dan keterlambatan aksi adaptasi—justru menciptakan kerugian yang jauh lebih besar, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologis.

Ketidakpastian bukanlah alasan untuk stagnasi. Sebaliknya, dalam konteks perubahan iklim, ketidakpastian adalah bagian dari risiko yang harus dikelola, bukan dihindari. Kerugian ekonomi akibat keterlambatan adaptasi, menurut laporan The Economics of Climate Adaptation (ECA) dari Swiss Re dan Global Commission on Adaptation, bisa mencapai hingga 1–3% dari PDB nasional per tahun untuk negara berkembang, apalagi bila bencana hidrometeorologis menjadi lebih sering dan intens.

Di Indonesia, dampak perubahan iklim tidak lagi hipotetik: banjir yang merusak infrastruktur, kekeringan yang mengganggu produksi pangan, hingga kerusakan ekosistem pesisir akibat kenaikan muka air laut. Dampak-dampak ini paling kuat dirasakan oleh kelompok sosial menengah ke bawah dan kelompok rentan lainnya—yang tidak memiliki kapasitas adaptif tinggi baik dari sisi aset ekonomi maupun akses terhadap layanan dasar. Keterlambatan aksi adaptasi hanya akan memperlebar ketimpangan sosial.

Di tengah tantangan pengukuran dampak, kita perlu mulai membangun intermediate indicators yang bersifat kontekstual, berbasis local knowledge, dan didukung oleh pendekatan partisipatif. Beberapa instrumen seperti climate risk assessments, vulnerability mapping, serta pendekatan resilience indicators berbasis komunitas sudah terbukti efektif dalam beberapa konteks lokal, termasuk di wilayah pesisir dan pertanian.

Dengan demikian, kebijakan adaptasi tidak harus menunggu “data sempurna”, tetapi dapat dimulai dari no-regret actions, yaitu intervensi yang tetap menguntungkan bahkan tanpa memperhitungkan seluruh variabel perubahan iklim secara penuh.

Tanpa aksi strategis dan segera, kerugian yang akan ditanggung tidak hanya berbentuk angka ekonomi atau kerusakan infrastruktur, tetapi juga krisis sosial—yang memicu kemiskinan baru, migrasi paksa, hingga konflik atas sumber daya yang makin terbatas. Adaptasi bukan sekadar investasi lingkungan, tetapi adalah jaring pengaman sosial, ketahanan ekonomi, dan prasyarat keberlanjutan pembangunan.

Adaptasi: Berani, Terukur, Terintegrasi

Dengan mempertimbangkan urgensi dan kompleksitas risiko perubahan iklim yang semakin meningkat, maka langkah ke depan tidak bisa lagi bersifat parsial atau reaktif. Diperlukan langkah yang berani namun tetap terukur—yakni intervensi yang strategis, memiliki dasar ilmiah yang kuat, namun cukup fleksibel untuk diterapkan dalam berbagai konteks lokal.

Dalam kerangka ini, adaptasi perubahan iklim tidak dapat berdiri sendiri. Sinergi lintas agenda menjadi kunci, tidak hanya untuk meningkatkan efektivitas intervensi, tetapi juga dalam rangka efisiensi pendanaan dan penguatan dampak lintas sektor. Agenda mitigasi perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan risiko bencana (PRB), bahkan inisiatif loss and damage—meskipun dianggap sebagai elemen “beyond of climate adaptation”—dapat dan harus diintegrasikan dalam satu kerangka pembangunan berkelanjutan yang berketahanan.

Pendekatan seperti Nature-Based Solutions (NbS), pembangunan rendah karbon, dan tata kelola wilayah berbasis risiko iklim dapat menjadi titik temu antara berbagai agenda tersebut. Misalnya, restorasi ekosistem mangrove tidak hanya mendukung adaptasi pesisir, tapi juga mitigasi karbon, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengurangan risiko tsunami maupun abrasi. Demikian pula infrastruktur hijau di perkotaan dapat mengurangi risiko banjir sambil menciptakan ruang publik yang mendukung kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat.

Dalam konteks pembiayaan, sinergi lintas agenda ini menjadi sangat penting. Masing-masing sumber pendanaan—baik dari hibah internasional, pinjaman pembangunan, pembiayaan iklim (seperti Green Climate Fund dan Adaptation Fund), pembiayaan sektor swasta melalui ESG (Environmental, Social, and Governance), maupun APBN—seringkali memiliki batasan dan fokus yang spesifik. Namun jika dirancang secara holistik dan dengan pendekatan blended finance, sinergi antar-agenda dapat membuka peluang co-financing, mengurangi tumpang tindih program, dan memastikan keberlanjutan jangka panjang dari intervensi.

Langkah ini juga membuka ruang bagi diplomasi kebijakan, di mana Indonesia dapat menegosiasikan peran strategisnya sebagai negara berkembang yang aktif dalam aksi iklim—bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai pemimpin agenda transformasi yang adil dan inklusif.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk keluar dari pola pikir silo dan sektoral, menuju tata kelola yang berbasis sistem dan kolaborasi multi-aktor. Tanpa itu, risiko adaptasi akan tetap tinggi, pembiayaan tersebar tanpa dampak nyata, dan masyarakat rentan tetap menjadi pihak yang paling menderita.

Operasionalisasi Adaptasi Iklim di Tingkat Nasional dan Daerah

Setelah urgensi adaptasi perubahan iklim semakin diakui secara luas, langkah berikutnya adalah bagaimana menurunkan narasi besar tersebut ke dalam strategi dan aksi nyata yang dapat dioperasionalkan—baik di tingkat organisasi masyarakat sipil, lembaga-lembaga teknis di daerah, maupun kementerian di tingkat nasional. Transformasi ini tidak dapat terjadi secara otomatis. Ia membutuhkan continuous capacity development—bukan sebagai kegiatan sesaat, tetapi sebagai proses pembelajaran institusional yang berlangsung terus-menerus dan responsif terhadap perubahan konteks.

Penguatan kapasitas ini penting bukan hanya untuk meningkatkan pemahaman teknis semata, tetapi juga untuk membangun kemampuan dalam tiga hal krusial. Pertama; Inovasi teknologi yang relevan dengan konteks lokal, seperti sistem peringatan dini berbasis komunitas, praktik pertanian adaptif, atau teknologi energi bersih terdesentralisasi. Kedua; Penguatan kebijakan dan kelembagaan, termasuk pembentukan unit khusus adaptasi dalam dinas teknis, sinkronisasi perencanaan lintas sektor, serta penyusunan regulasi insentif dan disinsentif adaptif. Dan ketiga; Inovasi pendanaan, yang memungkinkan kombinasi sumber dana publik, swasta, serta pembiayaan internasional berbasis hasil (results-based finance), atau skema climate resilience bonds.

Dalam konteks ini, penyesuaian terhadap strategi pembangunan yang telah dicanangkan oleh para pemimpin—baik Presiden, Gubernur, Walikota, atau Bupati—menjadi sangat penting. Adaptasi tidak boleh diposisikan sebagai beban tambahan, tetapi harus menjadi fondasi keberhasilan agenda-agenda prioritas.

Sebagai contoh, prioritas pemerintahan Presiden Prabowo terhadap ketahanan pangan dan energi tidak akan dapat tercapai tanpa kerangka adaptasi yang kuat. Perubahan pola curah hujan, kekeringan yang semakin panjang, banjir yang merusak infrastruktur irigasi dan distribusi, serta gangguan terhadap pasokan energi dari sumber air atau bioenergi, merupakan ancaman nyata. Oleh karena itu, kebijakan ketahanan pangan dan energi harus secara eksplisit mengintegrasikan unsur-unsur analisis risiko iklim dalam perencanaan produksi pangan dan energi. Dari hasil analisis ini diikuti dengan kebutuhan adaptasi, seperti:

  • Investasi pada sistem pangan adaptif: seperti benih tahan iklim, agroforestry, dan praktik konservasi air.
  • Infrastruktur energi terdesentralisasi yang tangguh terhadap bencana.
  • Pemetaan wilayah rawan dan perlindungan terhadap sistem penyangga ekologis.
  • Mekanisme perlindungan sosial adaptif untuk petani, nelayan, dan masyarakat terdampak lainnya.

Di sinilah peran masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta menjadi penting sebagai co-creator dalam desain dan implementasi. Bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai bagian dari ekosistem tata kelola yang berdaya lenting dan inklusif.

Langkah yang dibutuhkan adalah Penyusunan pedoman integrasi adaptasi dalam perencanaan daerah dan sektor (RPJMD, Renstra, RKPD, KLHS); Penetapan indikator ketahanan iklim dalam sistem pemantauan dan evaluasi pembangunan; Forum kolaboratif lintas sektor dan lintas aktor untuk menyusun program bersama berbasis data dan risiko, dan Skema insentif fiskal dan pendanaan inovatif (DAK tematik, Dana Desa, PPP hijau, ESG investment).

Dengan langkah ini, maka agenda besar nasional tidak hanya menjadi janji pembangunan, tetapi benar-benar menjadi langkah nyata yang tidak tergoyahkan oleh ancaman perubahan iklim. Adaptasi menjadi jembatan antara visi politik dan realitas di lapangan—dan pada akhirnya, menjamin bahwa pembangunan Indonesia berlangsung secara berkelanjutan, adil, dan berdaya tahan.

–##–

* Ari Mochamad adalah Climate Lead – WWF Indonesia