Catatan atas Laporan Khusus The Economist Edisi 23 Juli 2022
Oleh: Jalal *
“Ideally the term ESG should be scrapped.
…, its reputation is now tarnished.
Yet sustainable investing is not about to disappear. …
Provided it is not hyped far beyond what it can actually achieved.”
The Economist, 23 Juli 2022
Mungkin ada setidaknya selusin orang yang secara khusus meminta komentar saya tentang laporan khusus majalah The Economist bertajuk ESG: Three Letters That Won’t Save the Planet sampai sekarang. Ketika saya bertanya apakah mereka sudah membaca laporan lengkapnya, (saya bayangkan) mereka sambil tersenyum kecut, mereka bilang tak punya akses atas majalah itu. Saya sendiri tak punya akses elektroniknya, tapi merasa perlu untuk membaca secara lengkap, sehingga menyempatkan diri mencari dan membeli edisi cetaknya.
Lantaran mungkin bermanfaat buat banyak orang lain, selain mereka yang bertanya langsung, saya kemudian memutuskan untuk menuliskan saja komentar saya secara lengkap, alih-alih sekadar menjawab secara lisan untuk masing-masing yang bertanya.
Menempatkan ESG Secara Proporsional
Komentar pertama saya adalah soal judul laporan khusus itu. Memangnya siapa yang bilang bahwa ESG (Environmental, Social, and Governance) ditujukan untuk menyelamatkan planet tempat kita tinggal ini? Pertama, jelas planet ini ‘tak butuh diselamatkan’. Kitalah yang perlu menyelamatkan diri dengan memastikan cara hidup yang sesuai dengan planetary boundaries. Planet Bumi jelas akan mampu sintas, termasuk kalau caranya adalah dengan memusnahkan spesies manusia. Semakin cepat umat manusia menyadari kerentanan dirinya di hadapan hukum alam, semakin baik hasilnya.
Kedua, sejak konsep Environmental, Social and Governance (ESG) dibuat di tahun 2004, sangat jelas bahwa tujuannya adalah melindungi investasi dengan manajemen risiko yang lebih baik. Lingkungan, sosial dan tata kelola atau E, S dan G yang tadinya sekadar sebagai dianggap faktor-faktor yang tak bisa dihitung (intangibles), pada saat itu disadari menjadi semakin penting bagi kesuksesan investasi. Karenanya ESG kemudian menjadi alat manajemen risiko investasi. Kalau alat manajemen risiko investasi dipersepsi sebagai penyelamat Bumi, atau dijual seakan demikian, tentu kita semua yang perlu kembali ke khitah ESG, bukan malah melabel ESG di luar apa yang seharusnya.
Tanggal 1 Agustus lalu, Kenneth Pucker dan Andrew King menulis di Harvard Business Review sebuah diskusi sangat menarik tentang ESG, yang mereka beri judul tegas: ESG Investing isn’t Designed to Save the Planet. Mereka dengan sangat jelas membuka artikelnya dengan pernyataan “Most people assume that ESG Investing is designed to reward companies that are helping the planet. In fact, ESG ratings which underlie ESG fund selection are based on “single materiality” — the impact of the changing world on a company P&L, not the reverse.” Demikianlah. Kebanyakan orang memang tidak/belum menyadari sifat ESG yang demikian, sehingga kerap menetapkan ekspektasi yang tak proporsional.
Mereka yang tak membaca keseluruhan isi reportase itu dengan mudah menemukan subjudul editorial majalah itu: ESG should be boiled down to one simple measure: emissions, lalu bereaksi atas itu. Apakah saya setuju? Tentu tidak. Walau saya tahu bahwa krisis iklim itu meniscayakan investasi dan operasi perusahaan yang mengarah ke Net Zero Emissions (NZE) bahkan emisi negatif, namun baik itu investasi maupun operasi perusahaan jelas tak memadai bila sekadar memerhatikan emisi. Di dalam E saja, jelas ada banyak isu lain yang harus diperhatikan, karena memang berdampak pada kinerja finansial perusahaan alias material secara finansial. Sementara S dan G membuat kompleksitas yang makin tinggi.
Tetapi, agar adil dan kita semua mafhum, saya harus menyatakan bahwa subjudul itu sesungguhnya tidaklah senaif kesan selintas yang timbul. Pada bagian penghujung reportase, jelas sekali The Economist menyarankan penamaan yang lebih presisi dalam jenis-jenis investasi berkelanjutan. Kalau fokusnya menurunkan emisi, lebih baik dinamakan climate funds; kalau hendak memajukan kondisi modal insani, lebih baik dinamakan social funds; dan kalau tujuannya hendak menekan mismanajemen, maka nama governance funds bisa dipilih. Pendeknya, penamaan yang lebih presisi lah yang disarankan untuk jenis-jenis investasi yang bertujuan mencapai aspek keberlanjutan tertentu. ESG itu terlampau banyak isinya, sehingga sebagai kategori investasi dia menjadi sumir. Kalau penjelasannya demikian, maka saya tak bisa tidak setuju.
Walaupun demikian, saya masih berpendirian bahwa penyatuan beragam isu material untuk mendapatkan gambaran utuh perusahaan, kumpulan perusahaan, atau industri tetaplah dibutuhkan dan dimungkinkan. Laporan khusus ini tampaknya tak melihat adanya kebutuhan atau kemungkinan untuk itu. Lagipula, kembali ke pendirian saya yang semula, ESG sesungguhnya memang bukan didesain untuk keperluan mencapai tujuan keberlanjutan tertentu, melainkan untuk melindungi investasi dari kumpulan risiko lingkungan, sosial dan tata kelola yang memang ada.
Pemeringkatan, Insentif, dan Kebijakan
Salah satu argumentasi yang dikutip dalam reportase adalah hasil penelitian terkenal Florian Berg, Julian Koelbel dan Roberto Rigobon, Aggregate Confusion: The Divergence of ESG Ratings. Pada penelitian itu, skor ESG yang dikeluarkan beragam bermacam lembaga pemeringkatan itu bisa sangat inkonsisten, sehingga hasilnya membingungkan mereka yang ingin mengetahui kinerja ESG perusahaan tertentu. Ragam hasil itu terjadi karena cakupan, cara pengukuran maupun pembobotan dari tiap lembaga pemeringkatan ESG memang berbeda.
Tetapi apakah kita memang membutuhkan keseragaman ataukah pemahaman yang lebih dalam? Tidakkah kita bisa memberikan pemahaman kepada publik bahwa peringkat ESG itu sesungguhnya hanyalah opini, yang dilandasi metodologi yang spesifik, dari lembaga pemeringkatnya? Kalau edukasi publik dilakukan secara massif, tidakkah kita akan melihat setiap lembaga pemeringkatan memerbaiki metodologinya agar makin baik dalam menyajikan risiko/peluang dari perusahaan-perusahaan yang dinilai? Mengamati dengan lekat perkembangan di beberapa tahun terakhir, saya meyakini sedang terjadinya perlombaan perbaikan metodologi ini.
Kritik berikut yang dilancarkan adalah soal insentif. Industri investasi ESG memang kerap dipromosikan dengan cara menyatakan bahwa hasil investasinya lebih tinggi daripada yang tidak memerhitungkan ESG. Penting diakui bahwa hasil Indeks ESG memang tidak selalu demikian. Ada yang lebih baik, ada yang sama saja, dan ada juga yang lebih rendah daripada rerata pasar. Reportase ini menyatakan bahwa insentif itu tak selalu ada. Hal ini benar adanya. Namun, kecenderungan keuntungan yang lebih tinggi itu sesungguhnya sudah banyak dilaporkan, termasuk oleh penelitian-penelitian akademik terkemuka yang menggunakan data berskala besar dalam jangka panjang, seperti yang ditunjukkan oleh studi Friede, Busch dan Bassen (2015), ESG and Financial Performance: Aggregated Evidence from More Than 2000 Empirical Studies.
Karena terkadang insentif itu tak cukup kuat, dan penerapan ESG itu tak bisa membuat perubahan dalam skala dan kecepatan yang diperlukan (untuk mengatasi dampak krisis iklim misalnya), maka reportase ini menekankan bahwa hanya kebijakan pemerintah lah yang bisa membuat perubahan yang dibutuhkan dunia itu. Pendirian saya jelas: harapan atas investasi ESG seharusnya diletakkan secara proporsional. Kalau kita mau mencapai perubahan itu, beragam strategi investasi perlu ditekankan, dan semakin banyak yang harus dibuat mendekati impact investing. Jadi, bukan sekadar penapisan negatif atas sin industries seperti rokok dan judi, serta integrasi ESG (yang maknanya sangat beragam itu).
Reportase ini sendiri juga menyatakan perlunya beragam jenis investasi berkelanjutan itu. Tetapi, saya mencium pendirian bahwa tanpa kebijakan dan regulasi pemerintah yang ketat dan mengikat maka ESG menjadi sia-sia, kalau bukan malah menjadi negatif—yaitu membuat pemerintah semakin tidak tergerak meregulasi industri keuangan dan lainnya. Setelah dua dekade lebih bertungkus lumus dalam isu-isu keberlanjutan, saya percaya pada pendekatan multi-pronged, sehingga tak merasa bahwa satu pendekatan akan memadai—termasuk kebijakan pemerintah saja. Lagipula, The Economist tak cukup mendiskusikan betapa beratnya membuat perubahan kebijakan pemerintah. COP Perubahan Iklim yang tahun ini akan diselenggarakan ke-27 kalinya, apakah sudah membuat perubahan yang berarti?
Untuk keadilan, saya juga harus menyatakan bahwa perusahaan (termasuk dari industri keuangan) telah banyak berperan mengganggu pencapaian kesepakatan di level global dan nasional itu. Buku mutakhir Michael Mann, The New Climate War: The Fight to Take Back Our Planet, memberikan gambaran pengaruh buruk industri terhadap kebijakan. Tetapi, tentu saja itu dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip G pada ESG. Mereka yang mau menegakkan ESG haruslah mendorong regulasi yang lebih kuat yang mengarahkan pada pencapaian Persetujuan Paris, bukan malah menggagalkannya. Melanggar legislasi dan regulasi pemerintah yang memromosikan keberlanjutan, apalagi bermufakat jahat untuk menggagalkannya jelas adalah risiko G yang besar untuk perusahaan manapun.
Dari ESG menuju Penciptaan Manfaat Sistemik
Dosa perusahaan yang mungkin lebih ‘ringan’ daripada menggagalkan kesepakatan global dan legislasi nasional (misalnya untuk mengatasi krisis iklim) adalah pengelabuan citra. Bos GRI, Eelco van der Enden, dikutip kalimatnya yang sangat menarik: “What gets measured gets managed. But what gets measured also gets manipulated.” Kita harus mengakui bahwa manipulasi data untuk menampilkan citra sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, ramah sosial dan menegakkan tata kelola itu sangat banyak terjadi. Dan ini masalah yang sangat penting diatasi oleh siapapun yang bersungguh-sungguh ingin menegakkan ESG, keberlanjutan perusahaan, dan keberlanjutan secara umum.
Buku mutakhir Sustainable Enterprise Value Creation: Implementing Stakeholder Capitalism through Full ESG Integration yang ditulis oleh Richard Samans dan Jane Nelson di tahun ini, menegaskan bahwa data stewardship adalah keharusan dalam ESG. Ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengetahuan manajemen soal kinerja beragam aspek ESG material itu memang benar adanya, membantu manajemen dalam meningkatkan kinerja sesuai target, dan ketika dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan eksternal memang dilandasi pada fakta. ESG-washing harus dipandang sebagai musuh dari ESG, dan bukan praktik yang normal serta dapat ditoleransi.
Saya kira, sangat penting untuk menegaskan bahwa kebanyakan pakar yang mendukung gerakan ESG menempatkannya secara proporsional. Kalau bank, investor dan pemegang saham mulai memanfaatkan informasi terkait E, S dan G dalam keputusan investasi, maka itu akan mendorong perubahan ke arah keberlanjutan. Tak ada pakar yang bilang bahwa ESG adalah tujuan akhir dan menjadi panasea segalanya. ESG, mengikuti pendirian Schoenmaker dan Schramade dalam Principles of Sustainable Finance, adalah perwujudan keuangan berkelanjutan tahap pertama, alias SF 1.0, yang membuat pemegang saham lebih aman investasinya karena faktor-faktor lingkungan, sosial dan tata kelola diperhitungkan dalam pengambilan keputusan investasi. Dia perlu diterima dan didukung untuk kemudian didorong lebih jauh ke SF 2.0 di mana seluruh pemangku kepentingan mendapatkan manfaat dari investasi, lalu menjadi SF 3.0 yang menciptakan manfaat sistemik bagi semua pihak dari investasi manapun yang dilakukan.
Saya melihat ada banyak kritik yang valid atas ESG di dalam reportase The Economist ini. Namun, lantaran para penulisnya menaruh harapan yang terlampau tinggi atas ESG, dan pada beberapa bagian memilih sensasi (misalnya, menyertakan ‘kritik’ para politisi Partai Republik di AS, yang sesungguhnya memerkeruh pemahaman atas ESG), maka hasilnya tidaklah optimal. Sama dengan ESG-washing yang menjadi musuh ESG yang nyata, ESG-bashing juga sama sekali tidak menolong. Kita perlu menempatkan ESG secara proporsional, dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Di atas saya memilih judul yang mungkin juga bisa dianggap sensasional. Tapi itu saya sengaja untuk menangkap ruh dari wacana kritis dari reportase The Economist. Dia mau mematikan ESG dengan cara mutilasi: memisahkan setiap huruf agar lebih detail dan dalam pengukurannya, lalu mendorong semua pihak menjadikan dunia investasi lebih bersungguh-sungguh dalam mengatasi tantangan keberlanjutan (termasuk dan terutama krisis iklim). Ruh perbaikan ini saya setujui sepenuhnya, walau saya tak setuju bahwa cara satu-satunya adalah dengan memotong-motong E, S dan G. Dan untuk mendukung tujuan perbaikan itu—sebagaimana spirit Schoenmaker dan Schramade—pula saya menuliskan catatan ini.
Tabanan, 5 Agustus 2022 – Banyuwangi, 6 Agustus 2022
–##–
* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; pimpinan dewan pakar Social Value Indonesia; strategic partner CCPHI Partnership for Sustainable Community; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA dan ESG Indonesia.
Well said mas