Oleh: Swary Utami Dewi *
Kecantikan ekosistem mangrove di Kampung Padwa, Distrik Yendidori, Kabupaten Biak, Provinsi Papua, memang tidak terperi. Ekosistem mangrove di sini terdiri dari bakau atau rhizophora, yang dalam bahasa lokal dialek marga Swabra disebut ‘lolaro’ atau ‘kor’ dalam bahasa Biak. Juga ada padang lamun (dalam bahasa setempat disebut ‘arweik’). Arweik, yang melambai perlahan mengikuti arus air, bisa disaksikan dari atas perahu yang perlahan membawaku, beberapa kawan dan warga Kampung Padwa mengelilingi ekosistem mangrove di sini. Inilah Kampung Padwa yang indah, tempat para nelayan dari marga Swabra menggantungkan hidup sejak lama dari generasi ke generasi. Dan pada 27 Oktober 2021, aku bersama tim Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Memberamo serta Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Biak menjejakkan kaki di tempat cantik ini.
Turut bersamaku dua ‘insar’ (sebutan untuk perempuan yang sudah menikah dalam bahasa Biak). Mereka adalah Insar Regina Dimara dan Lina Swabra, yang berusia 54 tahun. Keduanya memang seusia dan bersahabat sejak kecil. Regina lalu menikah dengan lelaki dari marga Swabra dan tinggal di Kampung Padwa. Regina dan Lina bersama 13 perempuan Kampung Padwa lainnya tergabung dalam kelompok masyarakat yang mereka namai Morkan. Dalam bahasa setempat, Morkan artinya batu pengasah pisau. Ini bermakna kelompok berniat untuk selalu mengasah dan menempa diri menjadi lebih baik.
Kelompok Morkan menjadi salah satu kelompok masyarakat di Papua, khususnya Biak, yang menjalankan Program Padat Karya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Mangrove dari pemerintah. PEN Mangrove 2021 itu sendiri merupakan program nasional kerjasama antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASRH KLHK) dan BRGM. Khusus di Papua, kegiatan PEN Mangrove diampu oleh BPDASHL Memberamo, yang dikomandani oleh Mahendra Harjiyanto.
Regina dan Lina adalah penerus tradisi nelayan yang dilakukan secara turun temurun di Kampung Padwa. Para tetua kampung menyatakan Padwa adalah kampung pesisir tertua di wilayah ini, bahkan mungkin tertua di Pulau Biak. Di Kampung Padwa bermukim marga Swabra. Sekretaris kampung, Zakaria Swabra, menuturkan budaya nelayan pesisir memang sudah dilakukan bergenerasi di sini. Tradisi ini dilakukan baik oleh lelaki maupun perempuan. Para lelaki mencari ikan dengan perahu yang tidak terlalu besar, yang biasanya dilengkapi dengan mesin kecil bermerek Johnson. Maka sebutan untuk perahu motor kecil di sini adalah ‘Johnson’. Saat melaut, nelayan lelaki kerap ditemani istri atau anak. Biasanya waktu melaut dari jelang magrib sampai lewat tengah malam atau subuh.
Selain Johnson, ada pula perahu yang lebih kecil khusus perempuan. Perahu ini tidak digerakkan dengan mesin, tapi didayung. Perahu jenis inilah yang setiap hari digunakan Regina, Lina dan nelayan perempuan Padwa lainnya, untuk mencari ikan. Regina dan Lina mewakili kegigihan perempuan Padwa dalam menjaga alamnya, khususnya ekosistem mangrove. Mengapa demikian? Bagi perempuan Biak pesisir, ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik memudahkan mereka untuk mencari ikan. Berbeda dengan para lelaki yang umumnya mencari ikan dengan perahu motor Johnson tadi, nelayan perempuan di Biak, seperti disebut di atas, biasa memancing atau menjala ikan dengan perahu berukuran lebih kecil. Perahu ini berkapasitas maksimal dua orang. Jika ekosistem mangrove rusak, maka Regina, Lina dan perempuan nelayan lainnya mesti melaut lebih jauh dari pesisir. Selain lebih melelahkan dan membutuhkan waktu lebih lama, bahaya ombak besar yang mengintai bisa membuat perahu terjungkir dengan mudah. Maka mencari ikan di pesisir adalah pilihan paling aman bagi perempuan Biak, termasuk di Kampung Padwa.
Menjadi nelayan di Kampung Padwa sampai kini memang merupakan keniscayaan. Kondisi alam yang hampir semua berbatu kapur keras menjadikan profesi nelayan sebagai pilihan tak terbantahkan. Mustahil berharap hasil kebun dari tanah keras berkarang di kampung ini. Jikapun bisa tumbuh, tanaman hanya hidup seadanya.
Meski demikian dalam beberapa tahun terakhir ada usaha lain yang juga berbasis ekosistem pesisir, yang mulai dijalankan masyarakat Kampung Padwa, yakni wisata. Ada dua daya tarik yang bisa disaksikan di sini, yakni kuburan tua leluhur Padwa serta keindahan alam yang fantastik. Di tempat parkiran sudah ada beberapa gazebo kayu yang dibangun atas dukungan Dinas Pariwisata setempat pada 2018. Lalu persis di seberang, ada gerbang kecil dan jalan semen batu berundak-undak ke bawah. Di beberapa titik, jalan cukup terjal mengarah langsung ke kuburan tua dan keindahan alam pesisir khas Kampung Padwa.
Kuburan tua leluhur masih dipelihara dan sangat dihormati marga Swabra. Beberapa tumpukan tengkorak dan tulang belulang nampak terlihat di beberapa titik di depan gua batu kapur berpintu sempit tersebut. Makam ini adalah makam alami. Nampaknya dulu, jenazah leluhur marga Swabra diletakkan begitu saja di gua cadas kapur, yang menyatu dengan tebing tinggi kokoh di sebelah kiri jalan. Di sebelah kanan, terbentang pemandangan cantik perpaduan mangrove yang subur dengan beberapa karang kecil dan besar yang berdiri kokoh mencuat di beberapa tiitik di pesisir wilayah adat ini. Ekowisata Kampung Padwa mensyaratkan ekosistem mangrove yang harus selalu terjaga dengan baik.
Saat Kampung Padwa terpilih menjalankan program PEN Mangrove, Zakaria Swabra diangkat menjadi ketua kelompok yang dinamai Morkan. Zakaria melibatkan 15 perempuan kampung, termasuk Regina dan Lina. Anggota melakukan pencarian bibit, penyemaian hingga penanaman bibit bakau. Mereka juga menyulam bibit yang rusak atau hilang sesudah tanam karena gangguan ombak atau terkena Johnson nelayan. Total 15 ribu bibit ditanam di lokasi seluas 5 hektar di tempat yang berhadapan langsung dengan laut lepas. Zakaria memilih perempuan sebagai pelaksana program karena memandang mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dalam program pemerintah. Apalagi pemahaman perempuan Kampung Padwa terhadap ekosistem mangrove sudah tidak diragukan lagi. Dan melalui program PEN mangrove 2021 inilah Regina dan Lina memupuk harapan hidup yang lebih baik di masa pandemi.
–##–
* Swary Utami Dewi adalah anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial TP2PS KLHK, Board Kawal Borneo
Leave A Comment