Oleh: Swary Utami Dewi *
Girang rasanya aku bisa mengunjungi Kampung Enggros, di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, pada 27 November 2020. Kampung ini terletak di Teluk Youtefa, yang sekarang merupakan Taman Wisata Alam yang ada dalam naungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. Mayoritas penduduk di sini adalah nelayan. Mereka sangat tergantung dengan laut dan hutan bakau.
Wilayah adat Enggros sendiri adalah pesisir, laut, dan hutan bakau, yang terletak di Teluk Youtefa. Laut di sini bersih dan biru. Rumah-rumah penduduk dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Di bawahnya air laut yang biru jernih mengalir tenang. Sepanjang perjalanan melihat Teluk Youteva ini, sesekali terlihat padang lamun di dasar laut. Dalamnya sekitar dua meter dan jelas terlihat dari kapal kecil yang dinaiki. Padang lamun ini seakan menari dan meliuk, mengikuti gelombang laut yang menerpanya. Ikan-ikan juga tampak berlari kecil.
Aku menyempatkan diri mampir dan berkeliling Kampung Enggros ditemani beberapa kawan dari Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Memberamo dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Juga turut menemani perempuan yang akrab dipanggil Bu Guru. Bu Guru yang bernama lengkap Yospince Hanasbei memang seorang guru. Tempatnya mengabdi di sekolah dasar di kampungnya ini. Ia nampak berpengaruh dan disegani.
Bu Guru bercerita tentang ketergantungan masyarakat Enggros turun temurun dari laut. Hidup mereka menyatu dengan alam, khususnya laut. Aku sendiri sempat melihat banyak perahu tertambat di tiang rumah dan jala-jala bergantungan. Anak-anak kecil girang berjumpalitan melompat dari pinggir dermaga kecil di kampung ke laut, menyelam sesaat, lalu berenang kembali ke arah dermaga dan naik ke atas untuk kemudian kembali melompat.
Masyarakat Enggros yang mayoritas nelayan mengambil hasil laut tidak terlalu jauh dari Teluk Youtefa. Alam yang relatif masih terjaga serta mangrove yang rimbun, termasuk juga hutan mangrove khusus perempuan, menyediakan hadiah alam yang berlimpah: udang, ikan beragam jenis, bia (kerang) dan kepiting. “Laut adalah hidup kami. Mangrove adalah tempat kami bergantung hidup turun temurun. Semua ini bukan sekedar hutan atau laut. Tapi ini adalah adat dan tradisi kami,” jelas Bu Guru.
Dan hari itu aku turut merasakan bahagianya jadi orang Enggros dengan berkeliling Teluk Youtefa, masuk ke hutan mangrove perempuan dan mengunjungi kampung Enggros.
–##–
* Swary Utami Dewi adalah Climate Reality Leader dan Anggota TP2PS, Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial
Leave A Comment