Perserikatan Bangsa-Bangsa menyeru negara untuk memromosikan keragaman pangan dan pola makan yang berkelanjutan. Hal ini terungkap dalam buku terbaru yang diluncurkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, Bioversity International, berjudul “Sustainable Diets and Biodiversity”, Rabu (8/8).

Buku ini mencatat, industri pertanian skala besar dan sistem transportasi jarak jauh telah menjadikan pangan yang mengandung banyak karbohidrat dan lemak tersedia dengan harga terjangkau di seluruh dunia.

Fenomena ini memicu pola makan yang terlalu sederhana, menjadikan masyarakat tergantung hanya pada beberapa jenis makanan yang kaya energi. Namun, bahan-bahan makanan ini sebenarnya tidak mengandung nutrisi yang berkualitas dan memiliki jejak karbon dan air (carbon and water footprint) dalam jumlah besar.

Menurut FAO, hanya tiga bahan pangan – yaitu jagung, gandum dan beras – yang saat ini menyumbang 60% sumber energi dari tanaman dalam skala global. Dan saat pendapatan penduduk meningkat, mereka cenderung meninggalkan bahan makanan tradisional ini dan beralih ke pangan yang kaya akan daging, susu, lemak dan gula.

Perubahan pola makan dan ketergantungan pada segelintir bahan pangan ini menurut laporan buku ini telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati. Dari total 47.677 spesies yang tercatat oleh International Union for the Conservation of Nature, sebanyak 17.291 spesies tanaman dan hewan saat ini terancam punah.

Menurut Emile Frison, Direktur Jenderal Bioversity International, masyarakat perlu beralih ke dari bahan pangan utama dan mencari hewan ternak atau tumbuhan yang kaya nutrisi namun belum banyak dimanfaatkan. Langkah ini akan menciptakan pola makan yang berkelanjutan.

Contoh, di Kenya, Bioversity International, yang berfokus pada aksi penelitian pembangunan, telah membantu menciptakan pasar bagi sejumlah sayuran hijau baru sebagai bahan makanan alternatif bagi penduduk.

Indonesia memiliki tanaman pangan alternatif yang bisa menunjang program diversifikasi pangan. Walau beras sampai saat ini masih menjadi bahan makanan utama, namun masyarakat Indonesia juga memiliki ketela, umbi, talas dan sagu sebagai bahan makanan alternatif.

Jika serius mengembangkan pola makan dan diversifikasi pangan ini, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan akan beras impor dan kembali meraih swasembada pangan.

“Kita perlu melakukan transformasi radikal pada sistem pangan kita menuju pola makan dan penggunaan bahan pangan yang lebih efisien dan berkelanjutan,” ujar Burlingame dalam siaran pers FAO. “Pola makan yang berkelanjutan adalah pola makan yang sedikit menghasilkan emisi karbon dan mengonsumsi air, yang mendorong keanekaragaman pangan, termasuk memromosikan bahan pangan lokal dan tradisional yang kaya ragam dan nutrisinya.”

Redaksi Hijauku.com