Oleh: Jalal

Dunia yang Berubah Butuh Panduan Baru

Dunia bisnis saat ini berdiri di persimpangan jalan yang kritis. Di satu sisi, terdapat jalur yang sudah lama dikenal, ditandai oleh metrik kinerja tradisional dan peningkatan inkremental yang dipandu oleh kerangka seperti SMART yang telah lama dihormati bahkan mungkin dianggap sebagai mantra. Di sisi lain, terbentang jalan yang kerap dibicarakan namun sangat kurang serius ditapaki yang menuntut transformasi fundamental dalam cara perusahaan beroperasi dan memahami perannya di dunia.

Mantra yang saya maksud itu adalah SMART, yang merupakan akronim dari Specific (Spesifik), Measurable (Terukur), Achievable (Dapat Dicapai), Relevant (Relevan), dan Time-bound (Berbatas Waktu). SMART telah menjadi pilar dalam manajemen strategis selama beberapa dekade terakhir. Ia memberikan kejelasan, fokus, dan mekanisme akuntabilitas yang tak ternilai dalam menerjemahkan tujuan menjadi tindakan nyata.

Namun, dalam menghadapi krisis iklim, ketidaksetaraan sosial yang semakin terasa, dan degradasi ekosistem yang makin mengkhawatirkan, kita harus bertanya dengan jujur: apakah alat yang dirancang untuk optimalisasi kinerja bisnis di masa lalu itu cukup tajam untuk mengukir masa depan yang berkelanjutan? Saya berpendapat bahwa ketergantungan pada makna SMART tradisional, dalam situasi tantangan keberlanjutan yang sekarang kita hadapi, tidak hanya semakin jauh dari memadai, tetapi juga berpotensi membahayakan karena dapat menumbuhkan rasa berpuas diri yang palsu.  Saya merasa bahwa konsep SMART yang lama itu sudah not so smart anymore.

Oleh karenanya, saya hendak mengajak kita semua secara sadar melakukan kalibrasi ulang atas kompas dan menegaskan tujuan kolektif kita dengan kerangka yang lebih kuat, yang saya sebut sebagai SMART yang baru: Strategic (Strategis), Mission-oriented (Berorientasi Misi), Ambitious (Ambisius), Reimagined (Dibayangkan ulang), dan Transformational (Transformatif). Pergeseran ini bukanlah sekadar pembaruan terminologi apalagi sekadar kosmetik.  Ini adalah evolusi paradigmatik yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas dan urgensi zaman yang sedang kita hadapi.

Warisan SMART, yang diperkenalkan oleh George T. Doran pada tahun 1981, memang signifikan. Ia membawa disiplin yang sangat dibutuhkan dalam penetapan tujuan manajemen.  Dalam artikel aslinya, SMART diuraikan sebagai Specific, Measurable, Assignable, Realistic, dan Time-related—sebelum bergeser ke kepanjangan yang sekarang lebih popular.   Specific memastikan kejelasan tentang apa yang ingin dicapai. Measurable menyediakan tolok ukur kemajuan. Achievable menanamkan realisme, memastikan tujuan berada dalam jangkauan sumberdaya dan kemampuan. Relevant menghubungkan tujuan dengan tujuan bisnis yang lebih luas. Dan Time-bound menciptakan urgensi melalui tenggat waktu.

Dalam banyak konteks operasional, terutama yang berfokus pada efisiensi proses atau target pasar jangka pendek, prinsip-prinsip tersebut jelas masih memiliki nilai kemanfaatan. Namun, menurut hemat saya, justru karakteristik yang melekat pada makna awal itulah—yaitu fokus pada kejelasan, keterukuran, dan ketercapaian dalam batasan saat ini—yang menjadi sumber kelemahannya ketika diterapkan pada tantangan keberlanjutan yang bersifat sistemik, jangka panjang, dan seringkali ambigu. Keberlanjutan, menurut saya, bukanlah sekadar item lain dalam daftar tugas operasional perusahaan day-to-day; melainkan adalah lensa baru untuk melihat seluruh bisnis dan dampaknya.

Mengapa perubahan makna ini begitu mendesak? Lanskap bisnis modern jelas telah berubah secara seismik. Dalam satu dekade terakhir, keberlanjutan telah bermigrasi besar-besaran dari pinggiran atau bolt-on ke jantung strategi perusahaan atau built-in. Ini didorong oleh konvergensi tekanan para pemangku kepentingan yang sedemikian kuatnya. Para aktivis gerakan sosial dan lingkungan semakin kuat menuntut akuntabilitas perusahaan terhadap dampak yang mereka timbulkan.  Investor semakin mengintegrasikan faktor Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) ke dalam keputusan investasi mereka, menyadari bahwa risiko keberlanjutan adalah risiko finansial. Konsumen, terutama generasi muda, semakin menuntut transparansi dan membuat pilihan pembelian berdasarkan nilai-nilai keberlanjutan. Karyawan mencari pekerjaan yang bermakna di perusahaan yang mencerminkan nilai-nilai mereka dan secara aktif berkontribusi pada solusi global. Pada akhirnya, regulator di seluruh dunia memperketat aturan terkait emisi karbon, limbah, hak asasi manusia, dan pengungkapan data keberlanjutan.

Sains juga memberikan peringatan yang semakin keras.  Laporan IPCC terbaru menggarisbawahi jendela waktu yang semakin menyempit untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim, menegaskan perlunya pengurangan emisi yang cepat dan dalam skala besar.  Konsep batas-batas planet atau planetary boundaries menunjukkan bahwa aktivitas manusia mendorong sistem Bumi melampaui ambang batas aman.  Ketika dikawinkan dengan konsep keadilan, tuntutan untuk keamanan dan keadilan dalam- dan antar-generasi menjadi semakin kuat lagi.

Keterbatasan SMART Tradisional

Dalam konteks yang terus bergejolak dan saling terhubung ini, keterbatasan SMART tradisional menjadi sangat jelas di mata saya.  Kriteria Achievable, misalnya, secara disengaja atau tidak tidak telah mendorong penetapan target yang keterlaluan rendahnya oleh majoritas perusahaan. Perusahaan mungkin menetapkan target pengurangan emisi 5% karena merasa bahwa itulah yang dapat dicapai dengan teknologi dan sumberdaya finansialnya saat ini, padahal sains menuntut pengurangan 50% atau lebih dalam dekade ini untuk tetap sejalan dengan target 1,5°C. Target yang ‘dapat dicapai’ ini mungkin terlihat bagus di laporan keberlanjutan, tetapi secara efektif merupakan bentuk penundaan yang berbahaya dan sebetulnya membuat perusahaan melakukan greenwashing atau, kalau pernah menetapkan target yang lebih tinggi lalu kemudian menurunkan targetnya secara diam-diam, setidaknya membuat perusahaan itu melakukan greenhushing.

Demikian pula, kriteria Relevant seringkali ditafsirkan keterlaluan sempitnya, yaitu relevan dengan keuntungan kuartal berikutnya atau pangsa pasar saat ini.  Interpretasi yang banyak saya lihat itu jelas mengabaikan relevansi yang lebih dalam ketika ditimbang dengan risiko sistemik jangka panjang, seperti gangguan rantai pasokan akibat peristiwa cuaca ekstrem atau kerusakan reputasi akibat masalah sosial dalam rantai nilai.  Kalaulah sebuah indikator itu dinilai relevan dalam jangka pendek, dan ingin dipertahankan, perusahaan tetap perlu memikirkan indikator-indikator lainnya yang akan menjadi relevan baginya di dalam jangka lebih panjang, seperti yang kini banyak ditekankan pada konsep materialitas dinamis.

Kemelekatan pada makna Measurable sangat jelas dapat menyebabkan fokus pada metrik yang mudah diukur (misalnya, jumlah pohon yang ditanam) sambil mengabaikan dampak kualitatif yang lebih sulit diukur namun lebih penting (misalnya, kesehatan ekosistem hutan atau keanekaragaman hayati), atau bahkan dampak kuantitatif yang menjadikannya lebih substansial.  Perusahaan banyak yang melibatkan diri dalam aksi-aksi yang kini mereka sebut sebagai Nature-based Solutions (NbS).  Tetapi, laporan-laporan mereka banyak yang hanya menyebutkan jumlah pohon yang ditanam, tanpa kemudian lebih jauh lagi melaporkan berapa pohon yang benar-benar hidup, berapa karbondioksida yang diserapnya, berapa oksigen yang dihasilkan, dan berapa volume air yang diikatnya.  Jangan bermimpi lebih jauh untuk melihat data soal kesehatan ekosistem dan keanekaragaman hayati bila data kuantitatif yang lebih substansial itu saja tak hadir dalam laporan perusahaan.

Akhirnya, sifat Time-bound lagi-lagi seringkali bias terhadap siklus bisnis jangka pendek.  Dalam urusan keberlanjutan sosial, saya sudah ‘kenyang’ menyaksikan perusahaan merasa bisa melakukan pengembangan masyarakat lewat projek-projek karitatif yang selesai dalam hitungan bulan, mingggu, atau bahkan hari.  Sementara, majoritas dari tantangan keberlanjutan, seperti restorasi ekologi, pengembangan masyarakat, termasuk pembangunan ekonomi lokal, memerlukan komitmen jangka panjang yang melampaui horizon perencanaan setahunan, tiga atau bahkan lima tahunan.  Kalau perusahaan berdalih hanya bisa membuat rencana setahunan, tanpa ada jaminan kelanjutan program pada tahun-tahun berikutnya, apakah bisa dipercaya perusahaan akan benar-benar berhasil menyelesaikan tantangan keberlanjutan?

SMART yang Lebih Kontekstual

Untuk mengatasi berbagai kekurangan tersebut dan benar-benar mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam DNA perusahaan, kita memerlukan kerangka kerja yang mendorong ambisi, inovasi, dan dampak sistemik, yaitu makna SMART yang baru: Strategic, Mission-oriented, Ambitious, Reimagined, dan Transformational.  Itu makna yang saya usulkan setelah memelajari beragam perusahaan yang dianggap sebagai pemimpin keberlanjutan di level global.

Strategic berarti tujuan keberlanjutan tidak lagi terisolasi, melainkan secara intrinsik terkait dengan strategi bisnis inti, penciptaan nilai jangka panjang, manajemen risiko (termasuk risiko iklim fisik dan transisi), serta identifikasi peluang di pasar yang semakin berkembang seiring dengan tuntutan keberlanjutan global. Ini akan memastikan keberlanjutan mendapatkan perhatian mereka yang ada di manajemen puncak, alokasi sumberdaya yang memadai, dan tertanam dalam proses pengambilan keputusan utama, mulai dari investasi hingga penelitian dan pengembangan.

Mission-oriented melampaui relevansi bisnis semata untuk terhubung dengan tujuan mulia (purpose) dan nilai-nilai fundamental perusahaan. Ini tentang menjawab pertanyaan ‘mengapa’ perusahaan eksis di luar sekadar menghasilkan keuntungan.  Perusahaan perlu menjawab apakah dunia menjadi lebih baik karena mereka berhasil mencapai tujuan mulianya, dan apakah persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan tertentu menjadi terselesaikan oleh operasi perusahaan.  Tujuan yang berorientasi misi jelas akan menumbuhkan budaya perusahaan yang kuat, menarik dan memertahankan talenta terbaik yang mencari makna dalam pekerjaan mereka.  Tujuan mulia yang dikejar dengan sungguh-sungguh juga akan membangun kepercayaan para pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya, serta memberikan otentisitas pada merek di era skeptisisme konsumen. Perusahaan perlu menangkal purpose-washing dengan memastikan tindakan sejalan dengan retorika.

Ambitious adalah pengakuan eksplisit bahwa tantangan keberlanjutan memerlukan lompatan, bukan hanya langkah-langkah kecil yang inkremental. Tujuan perusahaan harus ditetapkan berdasarkan apa yang diperlukan oleh sains—seperti Science-Based Targets initiative/SBTi untuk iklim atau target-target berbasis sains lainnya untuk alam—atau apa yang diperlukan untuk mencapai kondisi ambang batas sosial yang adil, bukan hanya berdasarkan apa yang nyaman atau mudah dicapai saat ini. Ambisi ini berfungsi sebagai petunjuk arah, mendorong inovasi, kolaborasi, dan mobilisasi sumberdaya pada skala yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Ini akan menantang status quo, dan menolak kepuasan atas kinerja berbasiskan inkrementalisme yang kerap sebetulnya hanya ilusi kemajuan saja.

Reimagined mendorong perusahaan untuk secara fundamental memikirkan kembali bagaimana mereka beroperasi. Ini bukan tentang mengoptimalkan model ekonomi take-make-waste yang linear, melainkan membayangkan dan menerapkan pendekatan baru. Ini mencakup adopsi model ekonomi sirkular (desain untuk memastikan daya tahan, penggunaan kembali, perbaikan, daur ulang), eksplorasi biomimikri (belajar dari solusi dan desain alam), pengembangan model bisnis berbasis layanan daripada produk, transisi ke pertanian regeneratif dalam rantai pasokan, atau investasi dalam berbagai teknologi terobosan. Reimajinasi adalah mesin inovasi perusahaan yang didorong oleh kebutuhan akan keberlanjutan dan regenerasi, yang akan membuka jalan menuju keunggulan kompetitif baru.

Terakhir, Transformational yang berfokus pada dampak sistemik. Berbagai indikator seharusnya tidak hanya bertujuan untuk mengubah perusahaan itu sendiri (budaya internal, tata kelola, operasi) apalagi hanya sedikit mengubah praktik, tetapi juga berkontribusi pada perubahan yang lebih luas dalam industri, masyarakat, bahkan sistem ekologis. Ini berarti juga melibatkan diri secara aktif dalam advokasi kebijakan publik yang mendukung keberlanjutan dan regenerasi, membangun koalisi industri untuk menetapkan standar baru yang lebih tinggi dan sesuai dengan tuntutan masa depan, berinvestasi dalam infrastruktur bersama untuk ekonomi hijau, dan secara aktif bekerjasama untuk mengatasi akar penyebab masalah sosial dan lingkungan.  Tujuan yang transformatif adalah tentang menjadi bagian dari solusi pada skala sistem, bukan hanya mengelola dampak terkecil.

Bayangkan sebuah perusahaan yang membuat pernyataan tujuan sebagai berikut “Kami akan menjadi perusahaan net-zero emissions (NZE) pertama di industri kami dengan mengurangi emisi karbon sebesar 60% dalam 10 tahun melalui beragam inovasi teknologi, transisi ke energi terbarukan, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan.”  Pernyataan tersebut  bersifat Strategic, karena selaras dengan visi jangka panjang perusahaan untuk mencapai NZE; menunjukkan Mission-oriented, karena mencerminkan komitmen perusahaan terhadap salah satu batas lingkungan yang diidentifikasi oleh sains; Ambitious, karena menyatakan target pengurangan emisi yang bukan saja berani dan menantang, melainkan juga lebih tinggi daripada yang disarankan sains; Reimagined, lantaran menggunakan inovasi teknologi dan pendekatan baru untuk mencapai tujuan; sekaligus Transformational, karena hendak memimpin perubahan di tingkat industri dan menciptakan dampak yang luas.

Teladan dari Para Raksasa Keberlanjutan

Untungnya, saya tidak perlu mengarang bebas untuk menemukan perusahaan yang, meskipun mungkin tidak secara eksplisit menggunakan akronim baru ini, telah mewujudkan prinsip-prinsipnya. Patagonia, perusahaan aparel luar ruang favorit saya, adalah contoh klasik dari pendekatan Mission-oriented. Misinya menyatakan bahwa mereka berbisnis untuk menyelamatkan planet kita, benar-benar meresapi setiap aspek bisnisnya, mulai dari material yang digunakan hingga aktivisme lingkungan yang blak-blakan, dan 1% ‘pajak bumi’ dari nilai penjualan—bukan keuntungan!—yang diprakarsainya. Program Worn Wear mereka, yang mendorong perbaikan dan penjualan kembali pakaian bekas, adalah contoh brilian dari pemikiran Reimagined yang menantang model konsumsi sekali pakai. Aktivisme dan pendanaan mereka untuk isu-isu lingkungan mencerminkan tujuan Transformational yang melampaui operasi bisnis mereka sendiri.

Contoh kuat lainnya adalah Ørsted, perusahaan energi Denmark. Transformasinya dari DONG Energy (Danish Oil and Natural Gas) menjadi pemimpin global dalam energi angin lepas pantai adalah salah satu contoh paling dramatis dari perubahan yang Strategic dan Transformational dalam beberapa dekade terakhir yang bisa saya ingat. Mereka tidak hanya melakukan divestasi dari bisnis bahan bakar fosil inti mereka tetapi juga secara Ambitious menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun kapasitas energi terbarukan global, yang secara fundamental me-Reimagine model bisnis energi.  Kalau perusahaan-perusahaan migas global sekarang menarik diri dari komitmen transisi energi, mereka sebetulnya hanya menunjukkan tak punya komitmen sebesar Ørsted saja—bukan menunjukkan kemusykilan transisi.

Interface, produsen karpet modular global, telah lama menjadi pelopor keberlanjutan. Dimulai dengan Mission Zero pada tahun 1994—sebuah tujuan yang sangat Ambitious pada masanya untuk menghilangkan dampak lingkungan negatif pada tahun 2020—mereka menunjukkan pemikiran Mission-oriented. Perjalanan mereka melibatkan inovasi radikal dalam desain produk (j dan proses manufaktur (banyak yang terinspirasi oleh biomimikri), jelas merupakan pendekatan Reimagined. Tujuan mereka selanjutnya, Climate Take Back, yang bertujuan menjalankan bisnis dengan cara yang membalikkan pemanasan global, mendorong batas ambisi lebih jauh lagi, selain menunjukkan komitmen Transformational pada industrinya sekaligus menginspirasi industri-industri lainnya.

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, pergeseran menuju kerangka SMART yang baru lebih dari sekadar evolusi metodologis apalagi semantik belaka; ini mungkin adalah keniscayaan eksistensial. Ini adalah pengakuan bahwa bisnis mustahil berkembang dalam jangka panjang di planet yang terbakar dan di masyarakat yang semakin retak. SMART yang lama berfokus pada peningkatan yang dapat dikelola, melayani tujuan bisnis di masa lalu. Namun, masa depan menuntut keberanian, imajinasi, dan komitmen terhadap perubahan yang jauh lebih mendasar. Contoh-contoh dari Patagonia, Ørsted, dan Interface menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih ambisius dan terintegrasi ini tidak hanya mungkin, tetapi juga dapat mendorong kesuksesan bisnis.

Oleh karena itu, panggilan berikut ini saya tujukan kepada para pemimpin bisnis, dewan direksi, investor, praktisi keberlanjutan di perusahaan, dan generasi muda yang berambisi menjadi pemimpin di perusahaan: mari kita tinggalkan batasan nyaman dari Achievable ketika sains sesungguhnya menuntut perusahaan untuk Ambitious. Mari kita perluas definisi Relevant untuk mencakup kesehatan Bumi dan kesejahteraan semua pemangku kepentingan bahkan masyarakat luas, menjadikan perusahaan benar-benar Strategic dan Mission-oriented dalam makna tertingginya. Mari kita tantang diri kita sendiri untuk tidak hanya mengukur kemajuan tetapi juga untuk secara fundamental me-Reimagine bagaimana kita benar-benar menciptakan—bukan sekadar memungut apalagi menghancurkan—nilai. Dan, mari kita tetapkan pandangan kita tidak hanya pada perbaikan terbatas tetapi pada kontribusi Transformational untuk masa depan yang lebih baik.

–##–