Setengah jalan menuju batas waktu pencapaian TPB/SDGs, dunia sangat tertinggal dan keluar jalur pencapaian TPB di 2030. Ilmu pengetahuan menjadi solusi guna mengejar ketertinggalan dan memicu perbaikan tidak hanya bagi manusia namun juga bumi. Laporan United in Science 2023 yang diterbitkan pada 12 September menggarisbawahi fakta ini.
Ilmu pengetahuan terkait cuaca, iklim, dan air bisa membantu menciptakan ketahanan pangan dan air, energi bersih. Ilmu pengetahuan juga bisa membantu mewujudkan kesehatan masyarakat yang lebih baik, kota yang lebih tangguh dan lautan yang lebih sehat dan lestari.
Bumi saat ini terus didera oleh berbagai bencana alam dan bencana iklim. Korupsi dan tata kelola Pembangunan dan sumber daya alam yang buruk memperparah dampak dari bencana ini. Bencana banjir dahsyat yang terjadi di Libya yang terjadi baru-baru ini misalnya diperkirakan telah mencabut 11.000 nyawa.
World Meteorological Organization mencatat, antara tahun 1970 dan 2021, terjadi hampir 12.000 bencana dipicu oleh kondisi cuaca, iklim, dan air yang ekstrem. Bencana tersebut telah mencabut lebih dari 2 juta nyawa dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$4,3 triliun.
Lebih dari 90% kematian yang dilaporkan dan 60% kerugian ekonomi akibat bencana di atas terjadi di negara-negara berkembang, merusak hasil pembangunan berkelanjutan.
Meningkatnya suhu bumi telah membuat cuaca semakin ekstrem. Dalam satu hingga lima tahun ke depan, peluang kenaikan suhu rata-rata tahunan permukaan bumi melebihi 1,5 ° C di atas level pra-industri mencapai 66%. Peluang ini terus meningkat seiring waktu.
Sejauh ini, upaya mengurangi gap emisi untuk tahun 2030 – kesenjangan antara pengurangan emisi yang dijanjikan oleh negara-negara dan pengurangan emisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan suhu Perjanjian Paris – masih jauh tertinggal.
Alih-alih berkurang, emisi CO2 bahan bakar fosil justru naik 1% secara global pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2021 dan perkiraan awal dari Januari-Juni 2023 terus naik sebesar 0,3%.
Guna mencapai tujuan Persetujuan Paris membatasi kenaikan suhu bumi jauh di bawah 2 °C, atau jika memungkinkan 1,5 °C, emisi gas rumah kaca global harus dikurangi masing-masing sebesar 30% dan 45%, pada tahun 2030. Sementara emisi karbon dioksida (CO2) harus mendekati nol bersih (net-zero emission) pada tahun 2050. Aksi ini akan membutuhkan transformasi dalam skala besar, cepat dan sistemik.
Ada sejumlah kondisi akibat perubahan iklim di masa datang yang tidak dapat dihindari, dan berpotensi tidak dapat diubah. Namun pengurangan suhu bumi sekian derajat dan pengurangan emisi setiap ton CO2 sangat penting untuk membatasi pemanasan global dan mencapai SDGs.
Kemungkinan salah satu dari lima tahun ke depan akan menjadi tahun terpanas dalam Sejarah pencatatan mencapai 98%. IPCC bahkan memproyeksikan bahwa pemanasan dalam jangka panjang (rata-rata lebih dari 20 tahun) bisa menembus level kenaikan suhu dalam Persetujuan Paris yaitu 1,5 °C pada awal 2030-an.
Aksi mitigasi saat ini – yang tercatat dalam Nationally Determined Contributions – masih akan memicu pemanasan global sekitar 2.8 ° C di akhir abad ini dibandingkan dengan level pra-industri. Diperlukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesegera mungkin dengan level komitmen yang ditingkatkan tidak seperti komitmen sebelumnya.
Krisis iklim sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperkirakan hampir 670 juta orang akan mengalami kelaparan pada tahun 2030. Peristiwa cuaca yang lebih ekstrem akan mengganggu setiap pilar ketahanan pangan (akses, ketersediaan, pemanfaatan, dan stabilitas pangan).
Dunia perlu berinvestasi dalam ilmu pengetahuan dan layanan terkait cuaca, iklim, dan air di semua lini pangan dan pertanian untuk membantu petani membuat keputusan yang mampu meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat.
“Ilmu pengetahuan menjadi bukti bahwa kita jauh tertinggal dalam menurunkan emisi dan memenuhi tujuan Persetujuan Paris – ketika dunia bersiap untuk melakukan inventarisasi emisi gas rumah kaca global yang pertama di COP28. Kita harus meningkatkan ambisi dan aksi kita, melakukan aksi nyata untuk mengubah ekonomi melalui transisi yang adil menuju masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan bumi, ” ujar Inger Andersen, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB dalam rilis WMO.
Redaksi Hijauku.com
thanks a lot of information