Oleh: Wahyu Eka Styawan*
Krisis iklim semakin besar dampaknya bagi kehidupan jutaan rakyat Indonesia, tak terkecuali buruh. Beberapa laporan sudah menyebutkan betapa krisis iklim sangat berpengaruh pada kehidupan buruh. Hasil studi dari ILO pada tahun 2019 menyebutkan jika perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu udara dapat meningkat stres. Dampaknya produktivitas buruh akan menurun, sekitar 2,2% dari total jam kerja dapat hilang karena cuaca panas ekstrem akhir-akhir ini. Selain peningkatan stres, pada laporan ILO tahun 2018 yang ditujukan untuk pertemuan G20 mengungkapkan jika perubahan iklim meningkatkan risiko kesehatan pekerja, terutama mereka yang bekerja di luar ruangan.
Krisis iklim juga menyebabkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas air. Karena pada dasarnya perubahan iklim berdampak pada siklus air dengan mempengaruhi kapan, di mana, dan seberapa banyak curah hujan turun. Ini juga menyebabkan peristiwa cuaca yang lebih parah dari waktu ke waktu. Peningkatan suhu global menyebabkan air menguap dalam jumlah lebih besar, yang akan menyebabkan tingkat uap air atmosfer lebih tinggi dan hujan yang lebih lebat dan intens di tahun-tahun mendatang. Terganggunya pola cuaca, menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem, ketersediaan air yang tidak dapat diprediksi, memperburuk kelangkaan air dan mencemari persediaan air.
Buruknya kualitas air yang disebabkan pencemaran sungai, contoh kasus di Jawa, di mana KLHK mengungkapkan bahwa 59% sungai tercemar berat. Kondisi ini diperparah dengan krisis iklim yang mana menyebabkan beberapa daerah mengalami kekeringan, sementara sungai menjadi salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan. Jika sungai tercemar maka pasokan air bersih untuk rakyat khususnya mereka yang bekerja sebagai buruh juga turut terancam.
Persoalan air memang cukup mengkhawatirkan, di Pulau Jawa hanya memiliki ketersediaan air kurang lebih 10% dari total jumlah air nasional. Bahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah memperkirakan bahwa permukaan air di Jawa akan turun menjadi 476 meter kubik per orang per tahun pada tahun 2040. Ini dikategorikan sebagai “kelangkaan total” dan jauh di bawah tingkat tahunan saat ini 1169 meter kubik per kapita. Lebih lanjut PUPR mengatakan jumlah air per kapita yang ideal adalah 1600 meter kubik per tahun.
Penjabaran di atas paling tidak sudah mempengaruhi kehidupan rakyat, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KRuHA dkk (2022) yang ter-publish dalam sebuah artikel berjudul Gerakan Buruh dan Hak Atas Air akses terhadap air bersih bagi para buruh sangat terbatas, mereka yang tinggal di wilayah Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Bandung harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mendapatkan akses tersebut, yang artinya semakin menambah beban pengeluaran buruh, di mana biaya pengeluaran air harian buruh belum masuk dalam penghitungan kebutuhan hidup layak. Belum lagi buruh informal yang tanpa jaminan, berdasarkan catatan dari Zaky Yamani seorang buruh informal yang bergaji Rp750.000 perbulan harus menyisihkan sekitar Rp150.000 per bulan untuk mendapatkan air bersih.
Selain persoalan air, krisis iklim juga mendorong semakin rentannya kondisi kesehatan pekerja, terutama mereka yang bekerja di luar ruangan, seperti buruh konstruksi. Krisis iklim mendorong terjadinya cuaca ekstrem, tak jarang kondisi tersebut menjadi faktor tingginya resiko kecelakaan kerja. Selain itu, krisis iklim juga semakin meningkatkan resiko kesehatan, seperti perpaduan polusi udara dengan peningkatan suhu dapat memicu munculnya penyakit. Tidak hanya itu krisis iklim juga menyebabkan tumbuh suburnya aneka patogen, bukan tidak mungkin pasca Covid 19 ini akan muncul wabah baru. Paling tidak kondisi ini akan memicu peningkatan kerentanan pada buruh.
Kondisi di atas paling tidak menjadi sekelumit catatan mengenai betapa krisis iklim sangat berpengaruh pada kerentanan kehidupan buruh. Apalagi paska UU Cipta Kerja disahkan selain klaster ketenagakerjaan yang mendorong kerentanan pada buruh, ternyata klaster lingkungan juga akan turut merentankan kehidupan buruh, pasalnya ke depan dengan berubahnya kata perizinan menjadi persetujuan, lalu terbatasnya partisipasi rakyat dalam mengawasi maupun mengontrol suatu usaha, turut mendorong akan semakin masifnya degradasi lingkungan.
Ke depan akan banyak hak hidup buruh dan rakyat pada umumnya yang akan tercerabut, seperti hak untuk hidup dan keamanan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk subsisten, hak untuk sehat, akan tercerabut. Karena krisis iklim mendorong degradasi lingkungan, erosi pangan dan semakin tingginya resiko kesehatan. ILO sudah mengatakan bahwa hilangnya hak buruh karena krisis iklim sangat besar dan kini mulai terbukti. Sehingga mereka mendesak harus ada perubahan pada kebijakan global yang sejalan dengan kesepakatan di Paris Agreement untuk berkomitmen mengurangi suhu global agar tidak lebih dari 1.5 derajat Celcius.
Sebagai penutup, pada momentum hari buruh internasional ini, buruh di Indonesia untuk mulai menyuarakan dan menggalang gerakan bersama mengenai betapa bahayanya krisis iklim bagi keberlanjutan kehidupan. Selain itu, mulai mengambil langkah yang pasti untuk mendesak secara bersama-sama kepada pemerintah untuk serius dalam menangani krisis iklim ini, dengan membuat kebijakan dan regulasi yang mempunyai komitmen terhadap upaya melawan krisis iklim. Paling tidak membatalkan UU Cipta Kerja dan aneka UU yang tidak pro terhadap rakyat dan lingkungan, karena menjadi gerbang bagi eksploitasi sumber daya alam.
Kita harus mulai memikirkan masa depan generasi yang akan datang, apakah mau kita warisi dengan krisis air, polusi udara dan semakin banyaknya penyakit. Tentu tidak, kita semua ingin mewarisi anak cucu kita kelak dengan ketersediaan air bersih yang cukup, udara yang bersih, nutrisi makanan yang terjaga dan tidak ada bencana seperti banjir dan kekeringan.
–##–
* Wahyu Eka Styawan adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur
[…] post Hari Buruh dan Pentingnya Gerakan Melawan Krisis Iklim appeared first on Situs Hijau […]