Negara jangan sampai terjebak dalam akumulasi primitif dan menjadi predator yang memangsa rakyatnya sendiri.

Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Martua Sirait, dalam diskusi bertajuk “Nasib Hutan Indonesia Ada di Tangan Generasi Muda” di Kampus Universitas Nasional Jakarta, Selasa (8/1).

Acara tersebut merupakan kerja sama Yayasan Perspektif Baru (YPB), Kemitraan dan Universitas Nasional sebagai upaya pencerdasan masyarakat terutama generasi muda dalam hal konservasi hutan Indonesia.

Selain Dr. Martua, hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini Dr. Noer Fauzi Rachman, Advisor on Agrarian Reform-Kemitraan/Partnership dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko, akademisi Fakultas Biologi Universitas Nasional. Sedangkan sebagai moderator adalah Nurhidayati dari WALHI.

Menurut Martua, konflik laten di sektor kehutanan dan perkebunan saat ini terus terjadi. Masyarakat adat yang sudah berpuluh tahun mengelola tanah dan wilayah hutan terus menjadi korban dalam kasus ini. Semua atas nama kepentingan bisnis hingga pertumbuhan ekonomi. Pemicunya, menurut Martua adalah ketimpangan atau kesenjangan struktur penguasaan wilayah hutan antara pengusaha dan masyarakat.

Kurang dari 100 pengusaha memeroleh 531 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) – hutan alam, yang dulu dikenal hak pengusahaan hutan (HPH) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), dengan luas mencapai 35,8 juta hektar lahan.

Sementara 33.000 desa di sekitar wilayah hutan hanya memeroleh 57 ijin hutan kemasyarakatan (HKM) dan ijin hutan desa dengan luas wilayah hanya mencapai 0,25 juta hektar. Data ini menurut Martua adalah data terbaru yang diambil dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2014.

Semua fenomena di atas menurut Noer Fauzi, bermula dari pemberian ijin/hak kepada pejabat publik (dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehutanan) untuk mengeksklusi (memisahkan) sekelompok rakyat dari tanah, sumber daya alam dan wilayah yang dikelolanya. “Pola ini merupakan warisan kolonial yang bersumber dari UU Agraria tahun 1870,” tuturnya.

Hal inilah menurut Fauzi yang menjadi sumber konflik agraria yang terus berlangsung hingga kini. Mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria, sebanyak 163 kasus konflik agraria muncul sepanjang tahun 2012.

Salah satu pemicunya adalah pertumbuhan industri kelapa sawit yang sangat pesat dari hanya 2 juta hektar pada 1995 menjadi 8,2 juta hektar hingga pertengahan 2012. Artinya, luas tanaman kelapa sawit meningkat rata-rata 400.000 hektar setiap tahun.

Kendati kehilangan dan kerusakan lahan hutan telah mencapai taraf mengkhawatirkan, namun pertumbuhan lahan sawit di Indonesia dengan alih fungsi hutan masih sulit dihentikan. Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Setiap tahun Indonesia menghasilkan tak kurang dari 28 juta metrik ton kelapa sawit. Dan dari sekitar 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia, sebanyak 59% terlibat konflik lahan dengan masyarakat.

Selain kelapa sawit, masih ada jenis sumber daya alam lain yang berpotensi memicu konflik dengan masyarakat yaitu batu bara, gas, panas bumi, timah, nikel dan bauksit.

Masyarakat yang seharusnya menikmati akses atas tanah, hutan dan kekayaan sumber daya alam seringkali digusur dan terusir dari wilayah mereka, di negerinya sendiri, akibat eksploitasi sumber daya alam ini. Sebagai gantinya, pemodal asing menguasai sumber daya alam dan wilayah hutan Indonesia.

Kran liberalisasi sumber daya alam menurut Fauzi semakin terbuka lebar, terutama sejak awal Orde Baru pada 1967. Derasnya arus liberalisasi ini telah merampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial melakukannya pada masa penjajahan.

Pemberlakukan hukum agraria baru menjadi satu cara agar perusahaan kapitalis – terutama dari Eropa dan Amerika – dapat memeroleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam.

Badan-badan pemerintahan dan perusahaan mulai mengapling-kapling tanah untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan dan mengeluarkan penduduk yang hidup di wilayah konsesi tersebut. Fenomena ini masih kita saksikan hingga sekarang.

Pemberlakukan hukum, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan kekerasan sering digunakan untuk memutuskan keterkaitan masyarakat dengan sumber daya alam yang selama ini mereka kelola dan nikmati.

“Pengaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu,” ujar Fauzi.

Hal inilah yang disebut dengan teori akumulasi primitif (primitive accumulation) dimana negara menjadi predator (pemangsa) bagi rakyatnya sendiri. Negara memisahkan secara paksa atau brutal hubungan antara penguasaan tanah dan segala kekayaan alam yang tadinya menjadi ruang hidup dan digarap oleh para petani ke dalam satu proses dan tata produksi kapitalis.

Upaya penyelesaian kasus agraria ini menurut Fauzi harus dimulai dengan perubahan paradigma dimana negara atau pemerintah yang berkuasa tidak hanya menuntut kewajiban sosial masyarakat tapi juga memberikan hak kepada penduduk terutama atas tanah dan sumber daya alam.

“Diperlukan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh agar kaum birokrat di Era Reformasi ini tidak terus berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, termasuk menjadi pelayan pasar kapitalis,” ujarnya.

Para panelis juga sepakat upaya penundaan sementara izin kehutanan di hutan primer dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit harus terus dilaksanakan.

Pemerintah mengklaim kebijakan moratorium ini berhasil menekan laju deforestasi hingga 500.000 hektar hingga awal tahun ini. Namun, menurut Martua, tujuan moratorium ijin hutan dan lahan gambut selama 2 tahun – yang dideklarasikan pemerintah dalam Inpres 10/2011, 18 Mei 2011 dan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 – belum terwujud.

Dibutuhkan moratorium berbasis capaian, dimana jangka waktu moratorium diakhiri apabila tujuan pembenahan tata kelola hutan telah tercapai. Menteri Kehutanan dan sejumlah organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan WALHI juga sepakat bahwa penguatan dan perpanjangan moratorium sangat diperlukan untuk menyelamatkan masa depan hutan Indonesia.

Kesadaran masyarakat merupakan salah satu langkah awal yang diperlukan untuk mengurai berbagai permasalahan konservasi hutan di Indonesia. Generasi muda memiliki peran penting karena mereka akan mewarisi pengelolaan hutan dan masyarakat di masa depan.

Generasi muda dengan kesadaran lingkungan yang baik diharapkan akan menjadi tokoh-tokoh masyarakat yang pro konservasi hutan di masa depan.

Setelah timbul kesadaran pada generasi muda dan masyarakat umum, diharapkan akan timbul kemauan untuk melakukan perubahan. “Pelestarian hutan beserta isinya hanya dapat dilakukan jika ada kemauan yang sungguh-sungguh dan partisipasi nyata dari publik untuk mengatasi berbagai ancaman yang terus meningkat,” ujar Sri Suci.

Redaksi Hijauku.com