Properti ramah lingkungan, yang pembangunannya marak dalam setahun terakhir, akan menjadi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat.

Indonesia memang kerap kali mengikuti apa yang terjadi di negara lain, tak terkecuali dalam mengadopsi tema ramah lingkungan atau yang lebih dikenal dengan tema go green.

Tema ini mencuat di dunia dalam dua dekade terakhir, kemudian kembali ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir.

Saat isu go green berkembang ke semua sektor, misalnya ke green mining (pertambangan ramah lingkungan) serta green banking (perbankan ramah lingkungan), Indonesia juga mengikuti.

Kini konsep ramah lingkungan merambah ke sektor properti dengan munculnya green building dan green architecture yang terangkum dalam apa yang disebut sebagai eco-property.

Istilah-istilah itu digunakan untuk menyebut konsep properti yang ramah lingkungan, yang tidak hanya mencakup konsep ruang terbuka hijau, namun juga penerapannya dalam arsitektur perumahan, bangunan, serta pemilihan bahan bangunan.

Saat ini, proyek properti, mulai dari gedung perkantoran, apartemen, hingga perumahan, bahkan kawasan industri yang mengusung konsep ramah lingkungan banyak ditemui.

Sebut saja Grand Indonesia di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, untuk kategori gedung perkantoran; The Pakubuwono Residences di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk kategori apartemen; dan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang Selatan untuk kawasan perumahan.

Namun sejatinya, sebelum mengaku sebagai properti yang ramah lingkungan, bangunan-bangunan ini harus lulus uji sertifikasi yang diselenggarakan oleh Green Building Council of Indonesia (GBCI), organisasi resmi yang peduli terhadap persoalan eco-property.

Tahun 2012 ini, lembaga tersebut sudah merampungkan standarisasi green building khusus untuk perumahan, melengkapi standar-standar untuk gedung dan perkantoran yang sudah disusun sebelumnya.

Menurut GBCI, pada awal tahun ini, sudah ada 70 bangunan yang sudah mendaftar untuk disertifikasi sebagai Bangunan Ramah Lingkungan.

Ketua Umum GBCI, Naning SA Adiwoso menyatakan, pihaknya juga akan menyusun peringkat untuk kawasan hijau yang diharapkan bisa terbit pertengahan tahun ini.

Sebelumnya, pada akhir 2011 lalu, GBCI baru saja meluncurkan dua sertifikasi baru sebagai bagian dari Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan yakni Greenship Home dan Greenship Interior Space.

Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dalam upaya ini, desain bangunan menerapkan penghematan energi karena menggunakan sumber daya energi alternatif yang terbarukan dan penggunaan produk-produk ramah lingkungan.

Menurut Naning, sertifikasi bangunan ramah lingkungan mempunyai keuntungan jangka panjang, yaitu pengurangan biaya.

Dia mencontohkan beberapa bangunan yang sudah dalam proses sertifikasi, seperti Gedung Kementerian Pekerjaan Umum, mampu menghemat energi hingga 38 persen.

Meski demikian, menurut pengamat, pengembang (developer) yang mengaku sudah menerapkan konsep green building harus dikaji secara mendalam. Pasalnya, ketentuan properti ramah lingkungan akan meningkatkan biaya produksi.

Menurut B. Irwan Wipranata, pengamat properti dari Universitas Tarumanegara, meski secara kuantitas sudah banyak pengembang yang berusaha memenuhi kriteria eco-property, yang mereka lakukan saat ini masih di tahap perintis, dalam artian belum semua aspek dipenuhi.

“Pengembang didorong oleh keperluan bisnis. Mereka ingin cepat dalam menjual properti sekaligus kembali modal,” kata Irwan.

Namun, bukan berarti pembangunan proyek properti ramah lingkungan akan kehilangan peminat dan program green building akan mati suri.

GBCI sendiri mengakui, penerapan konsep hijau pada bangunan dan kawasan perumahan memang mahal. Namun, anggaran yang mahal ini justru akan menjadi investasi masa depan, karena dalam jangka waktu tertentu, nilai yang ditanamkan akan kembali.

“Investasinya relatif mahal karena pasarnya belum kuat. Namun, ke depan, industrinya akan bergerak ke sana, sehingga pasarnya juga akan terbentuk dan akan lebih murah untuk bangunan hijau,” papar Dina Hartadi dari GBCI.

Pengamat properti Ruslan Prijadi menyatakan, tren pertumbuhan properti ramah lingkungan di Indonesia, saat ini memang masih digerakkan oleh permintaan masyarakat.

Sehingga, menurut dosen Real Estate Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, cara terbaik untuk menumbuhkan penggunaan konsep ramah lingkungan di sektor properti adalah dengan membiarkan saja pasar yang akan menentukan. “Biarkan kebutuhan dan pasar yang menentukan pertumbuhan tersebut. Tidak perlu drive khusus dari pemerintah,” kata Ruslan.

Redaksi Hijauku.com