Budaya dan gaya hidup – walau masih sering dilupakan – memiliki peran penting untuk mengatasi masalah lingkungan.
Laporan Program Lingkungan PBB (Unep) menyebutkan, setidaknya ada tiga komponen dalam budaya masyarakat dunia yang memiliki dampak penting pada masyarakat dan lingkungan.
Ketiga komponen itu adalah mobilitas penduduk, kebiasaan masyarakat di rumah dan pola konsumsi makanan.
Pada komponen pertama, mobilitas penduduk, alat transportasi umum dan pribadi saat ini mengonsumsi 20% pasokan energi dunia dan sebanyak 80% diantaranya menggunakan energi berbahan bakar fosil.
Jumlah kendaraan di dunia akan melonjak tiga kali lipat pada 2050, dari jumlah saat ini yang 700 juta kendaraan. Sebanyak 90% pertumbuhan kendaraan ini datang dari negara-negara di luar anggota OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan).
Di rumah, kebiasaan kita menggunakan alat pendingin/pemanas ruangan serta penerangan, juga menyedot energi dan memroduksi gas rumah kaca dalam jumlah besar.
Pola konsumsi generasi muda perkotaan di negara berkembang juga menambah kebutuhan pangan dan beban lingkungan yang selama ini telah tereksploitasi oleh penduduk di 34 negara OECD.
Dan saat kota-kota dunia mulai mencari solusi yang ramah alam atas masalah-masalah di perkotaan, mereka dianjurkan untuk menengok kembali pada budaya dan kearifan lokal yang banyak ditemui di wilayah-wilayah pedesaan.
Masyarakat di pedesaan tetap bisa beraktifitas tanpa membutuhkan banyak energi. Mereka juga bisa mengelola lahan dan sumber daya alam, mengurangi sampah dan menjaga kelestarian lingkungan.
Budaya dan gaya hidup masyarakat juga bisa menciptakan lapangan kerja baru terutama bagi penduduk yang tidak mampu.
Menurut laporan Unesco yang diterbitkan tahun lalu, nilai industri budaya ini mencapai 7% dari Produk Domestik Bruto Global.
Di Mali, misalnya, industri budaya berhasil menyumbang 5,8% lapangan kerja pada 2004 dan 2,38% PDB negara itu pada 2006. Jika ditambah dengan sektor informal, sumbangan dua sektor tersebut ke PDB nasional mencapai 57%.
Mali memperoleh pendapatan dari kunjungan wisata ke berbagai situs budaya yang masuk dalam kategori situs warisan dunia Unesco (world heritage sites).
Hal yang sama juga terjadi di banyak wilayah lain seperti di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Indonesia. Penduduk memeroleh pemasukan dari penjualan kerajinan tangan, pentas musik dan budaya yang menjadi sumber lapangan kerja bagi komunitas lokal.
Museum dan lembaga-lembaga budaya lain juga bisa membawa manfaat ekonomi. Untuk itu semua pihak perlu menjaga warisan budaya dan berinvestasi untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
Semua uraian di atas membuktikan, aset budaya bisa memicu berkembangnya industri kreatif yang akan menjadi sumber lapangan kerja yang ramah alam.
Dengan bantuan dana dan pelatihan, para perancang dan perajin bisa mengembangkan usaha yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan bahan baku dan energi yang ramah alam.
Perkembangan ini bisa semakin dipercepat dengan menyediakan infrastruktur informasi dan teknologi yang akan membantu industri kreatif berbasis budaya ini menemukan pasar lokal maupun global.
Redaksi Hijauku.com
Industri Kreatif seperti yang banyak difahami saat ini, misalnya tourism, produk budaya, dll, hanya menyumbang sekitar kurang 2% dari GDP Indonesia. Ini bukannya tidak bisa ditingkatkan. Tetapi energi untuk meningkatkannya terlampau besar, dan justru mungkin tidak akan membuat sustainable.
Industri Kreatif pelu difahami lebih luas dari itu. “Kreatif” bukan hanya di seni dan budaya. Bila pemahamannya meluas hingga ke kreatifitas dalam metoda, dalam produk development, dalam sistem, sehingga kontribusinya terhadap GDP akan lebih nyata dan bermakna.
Mengabil contoh Mali adalah tidak tepat. Mali ‘terpaksa’ bergantung (57% GDP) karena tidak ada yang bisa dikembangkan di negeri yang banyak keterbatasannya itu.
Kreatifitas dalam sistem misalnya. Sistem pendidikan. Kita harus berani mempertanyakan, apakah pendidikan anak-anak kita itu membutuhkan sekolah? bisakah anak-anak kita terdidik tanpa sekolah? pendidikan yang bagaimana yang mencapai tujuan kita untuk mendapat ilmu yang bermanfaat? benar-benar bermanfaat bagi kemajuan peradaban. Untuk mencerdaskan bangsa, apakah tergantung pada bangunan sekolah? tergantung pegawai yang dijuluki guru? atau kita sejatinya butuh guru?
Apakah untuk menyelesaikan kerja kita perlu mobilitas? masihkan kita harus berangkat ke kantor tiap pagi untuk sekadar mencari nafkah? bisakah pekerjaan itu kita selesaikan dari pinggir sungai dekat rumah kita?
Kreatifitas bukankah harus mencabar kemapanan? Dan peluang untuk membuat lompatan kuantum peradaban terbuka luas untuk yang berani dan kreatif.
Menarik untuk membahas arti dari budaya itu sendiri Pak Agus. Budaya bisa diartikan sebagai hasil pola pikir manusia. Budaya juga bisa diartikan sebagai adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju) atau sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah.
Mali hanya salah satu contoh negara yang berhasil mengelola aset budayanya. Sebenarnya masih banyak negara lain seperti Thailand, Mesir, India, juga Indonesia yang berpotensi mendapatkan lebih banyak pemasukan dari budaya mereka.
Budaya bisa menjadi sesuatu yang tetap, biasanya merujuk pada aset-aset budaya, juga bisa merujuk pada sesuatu yang dinamis yaitu ilmu pengetahuan. Dari pengetahuan inilah konsep kreatifitas bertemu.
Kami setuju dengan Anda konsep kreatifitas ini yang harus dikembangkan dan seringkali kreatifitas memang harus menembus batas-batas budaya lokal. Belajar dan mengambil yang terbaik dari budaya dunia adalah kuncinya. Terima kasih.