Bermunculannya kota-kota hijau dunia menjadi pilar terciptanya ekonomi rendah karbon, ekonomi yang ramah lingkungan.
Lebih dari 50% populasi dunia saat ini tinggal di wilayah perkotaan. Penduduk kota mengonsumsi 60-80% energi dan bertanggung jawab terhadap 75% emisi karbon dunia.
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat ini menimbulkan masalah kesehatan, air bersih dan sampah, yang berujung pada kerusakan infrastruktur, lingkungan dan melonjaknya biaya kesehatan.
Namun, dibalik semua masalah tersebut, muncul peluang untuk menciptakan kota hijau, kota yang lebih produktif dan efisien dalam penggunaan energi, yang bisa mengurangi sampah dan emisi di gedung-gedung perkotaan.
Peluang lain yang muncul adalah untuk memerkenalkan sistem transportasi inovatif rendah karbon yang bisa menghemat biaya dan meningkatkan produktifitas.
Kota ramah lingkungan atau kota hijau biasanya memiliki populasi yang “padat”. Kota hijau berusaha menggabungkan fasilitas perumahan, perkantoran, pertokoan dan fasilitas hiburan guna memermudah mobilitas penduduk, mengurangi polusi dan kemacetan.
Kota hijau didesain menampung 100 hingga 1.000 orang per hektar (bahkan hingga 3.000 orang per hektar tergantung kondisi geografis dan budaya masyarakatnya) dengan tujuan agar penduduk kota bisa menggunakan transportasi publik secara lebih efektif. Pembenahan transportasi publik adalah prasyarat utama terciptanya kota yang ramah alam.
Dengan melipatgandakan kepadatan di ruang kerja – tanpa mengorbankan kondisi kerja yang layak – produktifitas akan naik hingga 6%.
Sebuah penelitian terbaru di Kota Tianjin, China, menyimpulkan, penghematan biaya pembangunan infrastruktur – seperti jalan, rel kereta api, air bersih, fasilitas pembuangan sampah dll – bisa mencapai 55% di lingkungan yang lebih padat.
Dua isu penting lain yang harus dipertimbangkan dalam menciptakan kota hijau adalah kondisi sosial dan masalah kesehatan masyarakat.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dan komitmen politik yang kuat – seringkali dalam skala nasional – untuk mewujudkan kota yang ramah lingkungan.
Contoh komitmen ini bisa dilihat di dua negara, yaitu India dan China, yang populasinya kini mencapai separuh dari populasi dunia.
Di India, populasi penduduk perkotaan tumbuh dari 290 juta di 2001 menjadi 340 juta pada 2008 dan diperkirakan akan naik menjadi 590 juta pada 2030.
India harus membangun ruang komersial dan hunian seluas 700-900 juta m2 setiap tahun guna mengakomodasi pertumbuhan penduduk.
Guna membantu mobilitas penduduk, India juga akan membangun jalan raya sepanjang 25.000 kilometer dan jaringan kereta bawah tanah sepanjang 350-400 kilometer dengan investasi sebesar US$1,2 trilyun.
Sementara jumlah penduduk perkotaan di China diperkirakan meningkat dari 636 juta pada 2010 menjadi 905 juta pada 2030.
Pada 2050, Negeri Tirai Bambu ini akan membutuhkan investasi sebesar RMB 800-900 milliar (US$127-143 milliar) guna memperbaiki infrastruktur perkotaan. Jumlah itu setara dengan sepersepuluh Produk Domestik Bruto (PDB) China pada 2001.
Semua investasi itu akan menentukan wujud kota hijau yang akan dinikmati oleh generasi China dan India mendatang. Bagaimana dengan Indonesia?
Catatan Redaksi:
Artikel ini diolah dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication – A Synthesis for Policy Makers.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment