Momentum Emas untuk Penyelamatan Habitat Orangutan Indonesia
Oleh: Jalal
Sir David Attenborough sang narator ulung tayangan tentang alam, tahun lalu kembali menghipnotis penonton global melalui film dokumenternya yang indah dan mendalam, Secret Lives of Orangutans. Bagi saya, tak ada satu pun film dokumenternya yang bisa dinyatakan sekadar tontonan biasa. Mereka semua adalah sebuah jendela yang dibuka lebar-lebar menuju kehidupan intim dan kompleks di lokasi-lokasi terpencil yang selalu memukau, dan kali ini tentang salah satu kerabat terdekat manusia, ‘manusia hutan’ yang hidup di rimba raya Indonesia.
Keberhasilan film ini dalam menggabungkan segala komponennya menjadi tontonan yang memukau membuatnya diganjar tiga penghargaan bergengsi di ajang Emmy Awards pada tanggal 18 Oktober 2025 lalu. Seharusnya, ini menjadi momentum emas buat kita yang berada di Indonesia untuk melancarkan seruan lantang untuk meningkatkan kesadaran akan urgensi pelestarian orangutan dan habitatnya.
Rahasia kehidupan orangutan di bawah kanopi hutan yang dinarasikan dengan suara khas dan penuh pesona milik Attenborough, membawa kita jauh ke dalam hutan rawa gambut Suaq Balimbing, Aceh, Sumatera, Indonesia. Area ini terkenal sebagai tempat penelitian di mana orangutan menunjukkan kepadatan populasi yang tinggi, sekitar 200 yang terdeteksi, dan perilaku sosial yang luar biasa, termasuk penggunaan alat yang rutin dan terperinci—sebuah bukti kecerdasan primata yang memukau.
Attenborough memfokuskan kisahnya pada kehidupan sebuah keluarga orangutan lintas-generasi, menyoroti tantangan dan kemenangan sehari-hari mereka di kanopi hutan yang lebat. Salah satu karakter sentralnya adalah Eden, seekor orangutan betina berusia delapan tahun, yang berada di ambang momen paling menantang dalam hidupnya, yaitu belajar untuk mandiri. Secara intim kamera dan narasi merekam momen-momen saat Eden harus menghadapi perpisahan dari ibunya, Ellie, yang kini mengalihkan fokus pada adik bayi yang baru lahir, memaksanya untuk memecahkan masalah, mencari makan, serta membuat sarang tidurnya sendiri dengan kecerdasan yang mengharukan. Suara Attenborough yang menenangkan saya sejak masa kanak-kanak sedemikian merasuk, membuat keharuan bagi siapapun yang menyaksikan adegan demi adegan itu.
Film dokumenter ini juga menyajikan perilaku-perilaku orangutan yang jarang terekspose, seperti cara mereka membuat sarang tidur yang berlapis daun yang unik setiap malam, terkadang lengkap dengan ‘bantal’ ala kadarnya. Atau, bagaimana pejantan dengan pipinya yang besar melolong di hutan, mengumumkan kehadiran dan memberi tahu rencana perjalanannya. Juga, bagaimana Friska, nenek Eden yang berusia 60 tahun menggunakan bermacam alat untuk membantu memenuhi kebutuhannya.
Kita juga disuguhi pemandangan tentang bagaimana mereka memanen madu, meramu tumbuhan obat untuk menyembuhkan luka (seperti yang dilakukan oleh pejantan bernama Rakus), dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain secara sosial—sebuah keunikan di Suaq karena orangutan selama ini dikenal sebagai satwa yang soliter. Melalui bidikan sinematik yang luar biasa, pemirsa dapat melihat detail kecil yang begitu intim—genggaman jemari bayi pada rambut ibunya, atau ekspresi wajah mereka yang tetiba berubah saat mencium bahaya—menegaskan ikatan kekeluargaan dan budaya unik yang telah mereka kembangkan di hutan tersebut.
Substansi film ini, dalam interpretasi saya, adalah pengakuan yang tulus terhadap kecerdasan, ketahanan, dan kedalaman emosional orangutan. Ia mengajarkan kita bahwa kerabat terdekat kita ini bukan hanya sekadar satwa, melainkan individu dengan kehidupan yang kaya, penuh strategi, dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini mungkin adalah penghormatan tertinggi pada primata cerdas di antara banyak dokumenter alam yang selama ini saya coba ikuti dengan lekat.
Kekuatan utama film ini jelas terletak pada narasi Attenborough yang menyentuh dan kualitas sinematografi yang tak tertandingi. Ada memang kritikus yang menyatakan bahwa produksi Netflix yang lain, Our Planet II, dan produksi BBC Planet Earth III, adalah karya dengan kedahsyatan sinematografis yang lebih tinggi—keduanya juga dinarasikan oleh Attenborough—tetapi saya pikir kesan tersebut datang dari keberagaman habitat yang ditampilkan saja, sehingga para penontonnya bisa mendapatkan pesta pemandangan yang lebih kaya.
Secara lebih detail, beberapa hal yang saya catat paling berkesan adalah sebagai berikut:
Pertama, kedekatan bahkan keintiman yang berhasil ditampilkan. Film ini berhasil menangkap momen-momen yang sangat pribadi dan langka, sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui kerja keras kru film selama dua tahun dan kolaborasi erat dengan para ilmuwan di lokasi. Kedekatan ini memecah tembok antara penonton dan subjek, memungkinkan kita semua untuk berempati secara mendalam dengan perjuangan Eden dan keluarganya. Film ini tidak menyajikan drama yang berlebihan, melainkan pesona atas keindahan, ketenangan, dan kompleksitas bertahan hidup di alam liar—yang seakan bisa terbaca dalam guratan wajah dan bening mata mereka.
Kedua, peran Attenborough. Di usianya yang hampir menyentuh tapal batas seabad, Attenborough tidak hanya menyumbangkan suaranya, tetapi juga bobot sejarah, integritas, dan kredibilitas sainsnya. Suaranya yang tenang, penuh pengetahuan, dan hangat, membuat setiap penemuan ilmiah terasa personal dan penting. Narasinya yang brilian ini adalah kunci untuk mengubah rekaman alam menjadi sebuah kisah yang menyentuh. Tetapi, buat saya pribadi, suaranya melemparkan saya beberapa dekade, mengingatkan kembali mengapa saya memulai perjalanan mengabdikan diri pada keberlanjutan.
Ketiga, fokus pada solusi dan harapan. Meskipun film ini mengakui adanya ancaman deforestasi dan perburuan, ia memilih untuk fokus pada bagaimana kehidupan orangutan seharusnya terjadi ketika mereka berada di area yang dilindungi. Penonton disajikan model ekosistem yang sehat, di mana orangutan dapat berkembang biak, bersosialisasi, dan menua dengan damai seperti dalam wujud Friska. Fokus ini memberikan secercah harapan, sekaligus secara implisit mendesak kita untuk memertahankan, bahkan lebih baik lagi, meluaskan kembali surga natural yang tersisa.
Kemenangan Secret Lives of Orangutans di Daytime Emmy Awards—termasuk secara spesifik kepada Attenborough sebagai outstanding personality—jelas lebih daripada sekadar pengakuan keunggulan dalam seni terkait pembuatan film dan hasilnya. Ini adalah publisitas global yang tak ternilai harganya bagi konservasi orangutan di Indonesia. Itu adalah bentuk hadiah tak ternilai yang kita peroleh di tengah berbagai tantangan atas upaya konservasi, restorasi, dan regenerasi yang kita lakukan.
Film ini juga memenangkan penghargaan untuk tim penyutradaraan dan musik, menegaskan keunggulan artistik yang menarik perhatian dunia. Tetapi, bagi saya, keunggulan artistik tertinggi tentu ada pada orangutan dan habitatnya yang lestari. Dan oleh karenanya kemenangan ini harus dimanfaatkan sebagai megafon global untuk berbagai hal positif.
Pertama, menarik perhatian dunia pada ancaman nyata yang kita hadapi. Pengakuan Emmy memastikan film ini bakal disaksikan lagi oleh tambahan jutaan penonton baru di seluruh dunia, termasuk para pembuat kebijakan dan media massa, lewat layar Netflix. Kita perlu memanfaatkan sorotan ini untuk menempatkan isu pelestarian orangutan kembali ke garis depan wacana global.
Urgensi pelestarian orangutan dan habitatnya di Indonesia adalah masalah hidup dan mati. Orangutan (terdiri dari tiga spesies: Sumatera, Kalimantan, dan Tapanuli) menghadapi ancaman eksistensial, terutama akibat kehilangan habitat—dengan perkiraan hilangnya 80% habitat mereka dalam 20 tahun terakhir—yang didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, dan kebakaran hutan. Orangutan Sumatera dan Tapanuli diklasifikasikan sebagai Sangat Terancam Punah (Critically Endangered), sementara Orangutan Kalimantan sebagai Terancam Punah (Endangered). Film dokumenter ini bisa menjadi alat ampuh untuk mengerek kesadaran semua orang.
Kedua, menegaskan peran sentral orangutan dalam pelestarian hutan. Orangutan adalah spesies kunci (keystone species) dan penyebar biji (seed dispersers) paling efektif di ekosistem hutan hujan. Dengan memakan lebih dari 400 jenis buah-buahan dan menyebarkan biji-bijian melalui kotoran mereka, mereka bertindak sebagai ‘tukang kebun’ alami hutan. Jika orangutan punah, hutan-hutan kita pun terancam runtuh karena kehilangan satu penghuninya yang secara efektif, sepanjang hidup, membantu regenerasi alami.
Lebih jauh, melindungi habitat orangutan—termasuk hutan rawa gambut seperti Suaq—berarti melindungi hutan primer yang menyimpan karbon dalam jumlah masif, memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Dengan menyelamatkan orangutan, kita juga melindungi ratusan spesies flora dan fauna lain yang berbagi rumah dengan mereka, serta menjaga sumberdaya alam dan air bagi masyarakat lokal. Ini adalah masalah kesejahteraan lingkungan dan kemanusiaan yang tidak dapat, dan tidak patut, ditawar.
Ketiga, mendorong tanggung jawab kolektif. Kisah Eden dalam film ini sesungguhnya adalah metafora bagi seluruh kehidupan. Ia harus berjuang untuk mandiri di tengah dunia yang berubah. Kemenangan Emmy harus mendorong setiap individu, pemerintah, dan korporasi untuk mengakui peran mereka dalam krisis ini, secara langsung maupun tidak. Setelah itu, kita semua perlu meneguhkan tekad menjadi bagian dari solusi.
Gegara kedahsyatan film Attenborough ini saya disadarkan bahwa kita tidak hanya menonton sebuah film. Di hadapan film ini, kita menjadi saksi masa lalu yang begitu permai, masa sekarang yang menantang, dan masa depan Indonesia yang terancam. Dengan kesadaran ini, penghargaan Emmy yang didapatnya bukanlah semata simbol keunggulan sinematik, tetapi adalah penanda waktu yang berdetak kencang. Waktu dan ruang bagi orangutan untuk hidup bebas semakin sempit, dan kita sesungguhnya adalah satu-satunya harapan mereka, harapan makhluk-makhluk lain, sekaligus harapan bagi kita sendiri. Attenborough membuat film dokumenter soal orangutan, tapi dia mengajari kita soal hakikat antroposene.
Mungkin pesan terpenting dari kemenangan film ini adalah ajakan bagi kita semua untuk menjaga rumah orangutan, karena rumah mereka adalah sumber jasa alam bagi dunia, dan betapa nasib mereka berkelindan erat dengan nasib kita. Dan karenanya, setiap keputusan pembelian oleh konsumen, setiap dukungan aktivis pada gerakan konservasi dan regenerasi, juga setiap suara di ruang-ruang direksi yang menentang deforestasi, adalah sebuah janji untuk memastikan bahwa generasi mendatang di Indonesia masih dapat melihat betapa majestiknya orangutan ini. Bukan hanya di gambar-gambar bergerak yang memenangkan penghargaan, tetapi di keindahan abadi rimba raya Nusantara.
–##–
Leave A Comment