Selama beberapa dekade, penambangan timah ilegal telah menjangkiti dua pulau ini. Di sini pula lah BUMN PT Timah, yang juga merupakan produsen timah terbesar keempat di dunia, beroperasi. “Dulu air di sini jernih. Tapi sekarang semua yang kami tangkap—ikan, udang, kepiting—berbau minyak. Telah terjadi kerusakan besar pada lingkungan,” kata Eko Sanjaya, seorang nelayan berusia 22 tahun.

Bangka Belitung pasok timah dunia

Bangka Belitung menyuplai hampir 20% timah dunia, dan mengalir ke rantai pasok raksasa teknologi seperti Apple dan Samsung. Ponsel pintar, semikonduktor, dan panel surya – semuanya membutuhkan timah. “Berbagai macam produk elektronik yang dihasilkan Apple, Samsung, dan lainnya, yang dimanfaatkan oleh seluruh warga dunia, itu diambil dari aktivitas yang merusak lingkungan,” ujar Ahmad Subhan Hafiz dari Walhi Bangka Belitung.

Namun dia mengatakan masyarakat lokal hanya menjadi pekerja. Hasil dari tambang mereka dihimpun di kolektor-kolektor kemudian dijual ke perusahaan negara PT Timah maupun perusahaan-perusahaan smelter. “Suplai dari hasil penambangan timah ini dijual diekspor ke berbagai negara, mulai dari Singapura, Korea Selatan, Inggris, juga Cina,” tambahnya.

Timah ilegal dalam rantai pasok PT Timah

Investigasi The Gecko Project menunjukkan bahwa timah ilegal kemungkinan besar telah memasuki rantai pasokan PT Timah. Kasus mega korupsi “271 triliun” PT Timah pada 2024 mengungkap selama bertahun-tahun pimpinan PT Timah mengawasi sebuah skema yang rumit untuk membeli timah dari para penambang ilegal di Bangka Belitung – dan menutup-nutupinya.

“Yang penting mereka membawa timah. Kami tidak bertanya dari mana asalnya,” kata Andi, operator skala kecil yang mengumpulkan dan memproses timah dari para penambang di Belitung. Andi memperkirakan sekitar 80 persen penambang di daerahnya—termasuk yang memasok timah kepadanya—beroperasi secara ilegal.

Sementara Yudi Amsoni, nelayan Desa Sukamandi, mengatakan masyarakat setempat tidak mendapatkan apa-apa meski timah sudah ditambang selama puluhan tahun. “Kita cuma dapat kehancuran. Kehancuran pantai, laut, ekologis, mangrove. Mau sampai kapan? Mau sampai tenggelam?” ujarnya. Investigasi ini diterbitkan atas kerja sama The Gecko Project (Inggris) dengan Follow The Money (Belanda), Yle (Finlandia), dan KCIJ Newstapa (Korea Selatan).

Tentang The Gecko Project

Kami adalah media non-profit yang menginvestigasi isu lingkungan yang berkaitan dengan sejumlah tantangan global: krisis iklim, deforestasi, kehancuran keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, hingga hak-hak komunitas yang terpinggirkan.

Kontak

Bagi rekan-rekan yang ingin bertanya lebih jauh, atau ingin menghubungi jurnalis The Gecko Project terkait liputan ini, silakan mengirim email ke rio@thegeckoproject.org atau WA +62 851 1734 4229