Polusi plastik di lautan dan badan air lainnya akan berlipat ganda atau naik lebih dari dua kali lipat di 2030. Hal ini terungkap dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul “From Pollution to Solution: a global assessment of marine litter and plastic pollution” yang dirilis Kamis, 21 Oktober 2021.
Laporan ini menyoroti dampak mengerikan dari polusi plastik bagi kesehatan, ekonomi, keanekaragaman hayati dan iklim. Polusi plastik perlu dikurangi secara drastis untuk mengatasi krisis polusi global.
Transisi yang lebih cepat dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, penghapusan subsidi, dan pergeseran ke pendekatan sirkular penting untuk mengurangi ancaman polusi plastik di semua ekosistem, mulai dari sumbernya hingga ke laut. Laporan ini dirilis 10 hari sebelum dimulainya Konferensi Iklim PBB, COP26 di Glasgow, Inggris.
Polusi plastik juga memperparah krisis iklim. Pada tahun 2015, emisi gas rumah kaca dari plastik setara dengan 1,7 Gt (Gigaton) CO2; pada tahun 2050, emisi GRK dari plastik diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 6,5 Gt CO2. Angka itu menyumbang 15% dari jatah emisi karbon global untuk tetap menjaga agar pemanasan global sejalan dengan target Persetujuan Paris.
Bahan alternatif plastik yang ada saat ini, seperti plastik yang bisa terurai atau biodegradable, menurut UNEP juga menimbulkan masalah yang serupa dengan plastik konvensional.
Laporan UNEP menyebutkan, solusi tersedia untuk membalikkan krisis plastik ini. Kuncinya ada di kemauan politik negara-negara dunia untuk bisa mengambil tindakan sesegera mungkin.
Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar yang kritis, seperti rendahnya harga bahan baku plastik dibandingkan dengan bahan daur ulang, upaya yang tidak sinergis antara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah plastik informal maupun formal, dan belum ada konsensus global terkait solusi polusi plastik.
Produksi dan konsumsi plastik juga harus dikurangi sesegera mungkin dengan mendorong transformasi di seluruh rantai nilai.
Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen, mengatakan, polusi plastik seperti mikroplastik dan bahan-bahan kimia di dalamnya, tidak hanya beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia, juga bagi tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya.
Saat ini, plastik menyumbang 85% sampah di laut. Pada tahun 2040, jumlah polusi plastik di lautan akan naik hampir tiga kali lipat, menambah 23-37 juta ton sampah plastik di laut per tahun. Jumlah ini sama dengan 50 kg plastik per meter garis pantai.
Akibatnya, semua biota laut, mulai dari plankton dan kerang; burung, kura-kura dan mamalia; menghadapi risiko besar keracunan, gangguan perilaku, kelaparan dan kematian. Manusia juga tidak terlepas dari ancaman ini. Tubuh manusia sangat rentan saat menelan plastik melalui makanan laut, minuman, hingga bahkan garam yang digunakan dalam masakan. Plastik mikro juga bisa menembus kulit dan terhirup saat melayang di udara. Pencemaran plastik di sumber air, juga memicu perubahan hormonal, gangguan perkembangan tubuh, kelainan reproduksi, hingga kanker.
Dampak polusi plastik terhadap perekonomian global juga tidak bisa diremehkan. Kerugian yang diderita oleh industri pariwisata, perikanan air laut dan air tawar, termasuk biaya untuk membersihkan sampah plastik mencapai $6-19 miliar per tahun pada 2018.
Pada tahun 2040, perusahaan juga berisiko menanggung biaya $100 miliar per tahun jika pemerintah mengharuskan mereka untuk menutupi biaya pengelolaan limbah. Hal ini berpotensi meningkatkan pembuangan limbah domestik dan internasional ilegal di seluruh dunia. Laporan ini menggarisbawahi pentingnya kerja sama global yang lebih erat untuk mengatasi krisis plastik dan krisis iklim.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment