Jakarta, 27 September 2021 – Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis awal bulan Agustus 2021, yaitu ‘Climate Change 2021: The Physical Science Basis’ membawa pesan yang jelas tentang ancaman bencana dari perubahan iklim. Bahkan Sekjen PBB, Antonio Guterres, menyebutnya sebagai ‘tanda bahaya untuk kemanusiaan (code red for humanity)’. Laporan tersebut menyatakan bahwa trajektori temperatur global akan lebih tinggi sekitar 2,7 – 3,1°C dibandingkan temperatur masa pra-industrialisasi dengan kebijakan pembangunan saat ini. Dengan demikian, target untuk menjaga kenaikan temperatur bumi di bawah 2°C yang ditetapkan pada saat Paris Agreement 2015 terancam tidak tercapai.

Di dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa Indonesia yang masuk ke dalam kawasan Asia Tenggara juga terancam akan bahaya perubahan iklim. Yaitu bencana hidrometerologi atau bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi seperti kenaikan permukaan air laut, gelombang panas, kekeringan, dan serangan hujan yang lebih intens. Khususnya untuk seluruh wilayah kepulauan yang ada. Oleh karena itu, negara-negara dunia, termasuk Indonesia, perlu beralih kepada pola pembangunan yang lebih berkelanjutan untuk menghindari dampak berbahaya tersebut.

Sebagai respons, Bappenas telah mengakomodasi isu perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 melalui Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). PRK dan PBI sendiri merupakan salah satu Program Prioritas pada Agenda Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Upaya ini sejalan dengan mandat Artikel 3.4. UNFCCC yang menyatakan bahwa kebijakan dan langkah-langkah untuk melindungi sistem iklim “harus sesuai dengan kondisi spesifik setiap Pihak dan harus terintegrasi dengan program pembangunan nasional, dengan mempertimbangkan pembangunan ekonomi sebagai unsur penting untuk mengadopsi langkah-langkah mengatasi perubahan iklim.”

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam (KSDA) Kementerian PPN/Bappenas Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, menegaskan: “Kita terus mempersiapkan dan mendorong strategi transformasi ekonomi yang mengurangi dampak lingkungan seminimal mungkin dengan ekonomi hijau – di dalamnya perlu dilakukan perubahan paradigma, tidak bisa lagi dilakukan business as usual.”

“Pembangunan Rendah Karbon dan Pembangunan Berketahanan Iklim harus menjadi tulang punggung dari transformasi ekonomi hijau dimaksud.”

Lebih lanjut, Chairperson, Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Farhan Helmy menyatakan: “Jika kita merujuk pada Paris Agreement, kita hanya memiliki waktu 9 tahun yang tersisa untuk memenuhi target menurunkan emisi di 2030, sementara komitmen banyak negara masih akan dibahas di Glasgow di bulan November nanti dan belum tentu disepakati mekanismenya.”

“Sementara secara agregat kenaikan suhu rata-rata di muka bumi, masih di atas 3°C, maka jika negara-negara tersebut tidak mau menaikkan ambisi penurunan emisinya, maka target penurunan suhu bumi di rentang 2°C, bahkan di bawah 1,5°C akan sangat sulit dicapai – di sinilah diperlukan komitmen yang kuat.”

Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR, Mercy Chriesty Barens juga mendukung upaya yang tengah dilakukan pemerintah: “Saat ini, kami di DPR sedang mematangkan empat RUU Hijau (Green Bill), yaitu RUU di bidang Energi Baru Terbarukan (EBT); RUU Konversi Kelautan; RUU Kebencanaan – di dalamnya memuat tentang bencana iklim; RUU Perpajakan – di dalamnya terdapat pajak karbon dan perdagangan karbon, kesemuanya diharapkan dapat mendukung terlaksanya ekonomi hijau.”

Dalam arah pembangunan jangka panjang, PRK berfokus kepada transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau. Untuk mencapai ekonomi hijau, dibutuhkan upaya-upaya dekarbonasi di sektor-sektor strategis, dengan tujuan paling ambisius berupa tercapainya net-zero emission. Tentu upaya mencapai ekonomi hijau di Indonesia akan mengalami berbagai tantangan, terlebih dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang masih bersifat intensif emisi yang menandakan bahwa aktivitas ekonomi belum dilakukan secara berkelanjutan. Dengan demikian, penanganan perubahan iklim di Indonesia harus dilakukan melalui perencanaan yang bertahap untuk memastikan proses penanganan perubahan iklim terjadi secara mulus dan tidak memberikan dampak/guncangan terhadap sektor-sektor lain, seperti ekonomi dan kesejahteraan sosial.

-selesai-

Narahubung:

Andie Wibianto – Sekretariat LCDI

Email: andie@lcdi-indonesia.id

HP: 08567653939