Oleh: Samudra 43*

Pada akhir November lalu, pegiat alam IMPALA UB (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Brawijaya) melalukan kegiatan penelitian sosial di Desa Ranu pane, Lumajang, Jawa Timur. Bagi pecinta alam atau para pegiat alam bebas, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung yang wajib dikunjungi. Selain merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa, dalam perjalanan menuju puncak Mahameru, para pendaki tidak akan henti-hentinya disuguhi panorama alam yang sangat indah.

Ranu Pane. Siapa sih yang tidak tau dengan Ranu Pane? Desa terakhir yang akan dilalui sebelum melakukan pendakian Semeru dan merupakan salah satu desa tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 2200 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, Desa Ranu Pane terletak di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Jika para pendaki ingin mendaki Gunung Semeru, pendaki akan melewati Desa Ranu Pane karena pos perizinan pendakian Gunung Semeru berada di desa ini.

Di bawah kaki Gunung Semeru terdapat tiga danau, yaitu Danau Ranu Pane, Danau Ranu Renggulo, dan Danau Ranu Kumbolo yang menjadi primadona wisata di Gunung Semeru.

Desa Ranu Pane ini berada di bawah pengelolaan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Desa Ranu Pane semakin tahun semakin ramai dikunjungi karena selain dijadikan sebagai desa wisata, yang menjadi primadona di Jawa Timur, juga karena banyaknya pengunjung yang ingin menjejakkan kaki di atap Pulau Jawa ini.

Kebakaran yang terjadi di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berdampak besar bagi masyarakat sekitar. Dengan ditutupnya jalur pendakian Semeru, pendapatan masyarakat sekitar menurun. Khususnya di Ranu Pane yang menjadi desa penelitian sosial ilmiah IMPALA. Sebagian besar penduduk di Ranu Pane bekerja di sektor ekowisata Semeru dan pendukungnya. Mereka berjualan di warung, menyewakan Jeep, penginapan, menjadi pemandu wisata, ataupun pembawa barang atau porter.

Meskipun sepi oleh kunjungan wisatawan, masayarakat sekitar masih berusaha untuk mencoba peluang baru. Menurut Pak Gito salah satu perangkat desa, Desa Ranu Pane memperoleh dana dari pemerintah untuk mengelola desa. Dana tersebut digunakan masyarakat untuk membangun tempat peribadahan dan juga mengelola kepariwisataan.

Salah satu upaya masyarakat Desa Ranu Pane untuk mengembangkan bidang pariwisata yaitu dengan membangun Rumah Adat. Rumah Adat di Desa Ranu Pane terbagi menjadi dua, yaitu Rumah Adat Atas dan Rumah Adat Bawah. Kondisi Rumah Adat Bawah masih dalam proses pembangunan. Rumah Adat ini menjadi markas paguyuban yang memberdayakan warga sekitar yang menyewakan kuda kepada wisatawan. Anggota  paguyuban merawat kuda, memandikan, memberi makan kuda, dan juga mengelola penyewaan kuda.

Saat jalur pendakian ditutup akibat kebakaran, masyarakat pun mencoba peluang untuk membuka jasa penyewaan kuda tunggang dan juga penyewaan sepeda sebagai sarana transportasi alternatif untuk berkeliling menikmati keindahan alam di Ranu Regulo selain dengan berjalan kaki.

Menurut Bapak Sudeno yang merupakan salah satu warga Desa Ranu Pane yang dekat dengan lokasi Rumah Adat Atas, jasa penyewaan kuda tunggang baru dibuka dalam satu bulan terakhir. Masih banyak warga Desa Ranu Pane yang belum mengetahui jasa ini karena masih dalam masa promosi.

Jasa penyewaan kuda tunggang ini dibuka karena tingginya minat wisatawan berkeliling Ranu Regulo menunggangi kuda. Tarif yang dikenakan adalah Rp50,000 per orang. Usaha ini memiliki sistem bagi untung tersendiri. Misalnya dalam satu hari seorang perawat kuda dapat menghasilkan Rp 100,000, 25 persen akan diserahkan kepada perawat kuda yaitu Rp 25,000 dan 75 persen diberikan kepada Rumah Adat yaitu sebesar Rp 75,000.

Selain terkenal dengan wisatanya, Tradisi Suku Tengger masih cukup kental bahkan pada era modern ini dan masih terus dilestarikan oleh masyarakat Tengger. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian sosial IMPALA dari Desa Ranu Pane. Kearifan lokal dan budaya yang masih dipegang teguh hingga kini berhasil menjaga keasrian dan kelestarian lingkungan di wilayah Tengger.

Trihita ka rana, ajaran hindu dari nenek moyang Suku Tengger – suku yang mendiami TNBTS – hingga kini masih diterapkan untuk menjaga kelestarian alam. Trihita ka rana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam dan lingkungan. Jadi selain hidup rukun dengan sesame manusia, masyarakat juga diajarkan untuk rukun dengan alam.

Tradisi yang masih kental dalam suku ini yaitu unan unan. Unan-unan merupakan salah satu acara adat terbesar di Ranu Pane. Unan-unan adalah salah satu tradisi adat sedekah bumi dan bersih desa yang diselenggarakan di pinggir Danau Ranu Pane. Warga sangat antusias menyelenggarakan acara adat ini karena hanya diselenggarakan setiap delapan tahun sekali, yang waktunya ditentukan oleh pemangku adat setempat. Dalam pentas seni unan unan, terdapat pula tarian adat khas suku tengger, yaitu jaran kepang.

Selain unan-unan terdapat juga hari raya karo yang juga menjadi acara adat terbesar di Desa Ranu Pane. Warga tak kalah antusias dalam merayakannya. Pada saat hari raya karo warga mengadakan kegiatan bersih desa dan selametan sebagai acara puncaknya. Dengan adanya kebudayaan-kebudayaan tersebut warga sudah turut dalam menjaga keasrian dan kelestarian lingkungan sekitar.

Di luar acara-acara adat tersebut, warga desa terus melaksanakan kerja bakti dengan bergotong royong membersihkan desa dalam lingkup RT/RW sesuai kesepakatan bersama. Warga juga bergotong royong dalam hal membangun rumah.

Masyarakat Tengger juga mengenal kearifan lokal yang lain yaitu hutan adat yang dikeramatkan (sakral) oleh warga sekitar. Hutan adat ini juga disebut dengan hutan kutukan. Di dalam hutan adat tersebut terdapat sumber mata air yang disebut dengan banyu pait.

Cerita-cerita pewayangan tentang air yang mematikan ternyata benar adanya. Jika manusia atau hewan meminum air dari sumber mata air tersebut, mereka akan mati karena dalam sumber mata air tersebut terdapat unsur-unsur berbahaya atau beracun. Oleh karena itu, tidak sembarang orang bisa masuk ke hutan adat tersebut. Hanya seizin tetua adat seseorang boleh memasuki hutan tersebut.

Para pendaki juga wajib untuk mengikuti dan menaati arahan-arahan yang diberikan pada saat melakukan perizinan di pos perizinan Gunung Semeru. Karena sebagai pendaki, mereka tidak tahu mana saja yang merupakan batas-batas dari hutan adat tersebut dan tidak sembarangan mengambil sumber air.

Selain banyu pait, terdapat pula sumber mata air yang disebut sumber pitu. Sumber pitu ini merupakan sumber mata air yang nantinya akan disalurkan ke rumah-rumah warga sekitar Ranu Pane sebagai sumber kehidupan.

Pengelolaan sampah di Desa Ranu Pane ini dikelola oleh TNBTS. Tempat pembuangan sampah sementara terletak di bagian atas Desa Ranu Pane. Di sekitar rumah warga juga terdapat tempat sampah, meskipun tidak terlalu banyak. Sampah pendakian langsung dikelola oleh TNBTS. Jika sampah di penampungan sampah sementara sudah penuh, sampah tersebut akan diangkut ke Tumpang menggunakan truk sampah oleh petugas TNBTS dan Perhutani.

Dalam penelitian sosial ilmiah ini, IMPALA UB juga turut serta dalam kegiatan reboisasi wilayah-wilayah yang terkena dampak kebakaran. Kami menanam 80 bibit cemara gunung di wilayah sekitar Ranu Regulo yang menjadi salah satu daerah yang terdampak kebakaran. Semoga upaya kecil yang kami lakukan ini bisa membantu menghijaukan kembali Gunung Semeru, sehingga tetap menjadi lingkungan yang asri. Salam lestari.

–##–

* Artikel ini ditulis bersama oleh anggota Samudra 43. Samudra 43 adalah angkatan baru Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Brawijaya (IMPALA UB), Malang yang terdiri dari 39 anggota yang telah mengikuti proses pendidikan dan latihan lapang IMPALA UB ke-43 dari tanggal 14-17 November 2019.