Dunia perlu berkoordinasi guna menemukan solusi atas perubahan iklim dan krisis pangan. Hal ini terungkap dalam berita yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Selasa (4/9).

Adalah José Graziano da Silva, Direktur Jenderal FAO, Kanayo F. Nwanze, Presiden International Fund for Agricultural Development dan Ertharin Cousin, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia yang bersama-sama menulis artikel berjudul “Tackling The Root Causes Of High Food Prices and Hunger” guna merespon situasi krisis ini.

Mereka menyatakan, krisis pangan akan berdampak pada puluhan juta penduduk dalam beberapa bulan ke depan, jika dunia tidak berkoordinasi mengatasinya.

Menurut pengamatan mereka, ada dua masalah utama yang perlu diatasi. Yang pertama adalah masalah jangka pendek yaitu melonjaknya harga pangan (jagung, gandum dan kedelai) di pasar dunia. Masalah ini berdampak pada penduduk miskin dan semua negara yang mengandalkan pada impor pangan. Yang kedua adalah masalah jangka panjang yaitu cara dunia memroduksi, memerdagangkan dan mengomsumsi pangan di tengah terus meningkatnya permintaan, populasi dan perubahan iklim.

Kabar baiknya, menurut ketiga penulis, dunia saat ini lebih siap menghadapi krisis pangan dibanding lima tahun yang lalu. PBB telah membentuk Unit Kerja Tingkat Tinggi untuk Keamanan Pangan Dunia (United Nations High-Level Task Force on Global Food Security) sementara organisasi negara-negara maju, G20, membentuk Agricultural Markets Information System (AMIS) guna meningkatkan transparansi di pasar global. Mereka juga memiliki Forum Tanggap Darurat terkait AMIS, guna mengatasi kekacauan pasar dengan melibatkan produsen dan pedagang pangan besar.

Kenaikan harga pangan, di satu sisi bisa menciptakan bencana bagi penduduk miskin, namun di sisi lain merupakan sumber pendapatan bagi petani kecil. Untuk itu, menurut ketiga penulis, dunia harus mampu menerapkan pendekatan ganda yaitu membantu para petani kecil berinvestasi dalam jangka panjang dan memastikan tersedianya jaring pengaman (safety net) bagi konsumen dan produsen pangan kecil yang terancam kehilangan aset mereka (seperti lahan pertanian) karena jebakan kemiskinan.

Banyak negara yang telah memiliki sistem jaring pengaman sosial ini yang bisa membantu petani kecil dan memberikan bantuan nutrisi bagi para ibu dan anak-anak guna memastikan mereka tidak kelaparan. Ketiga ahli ini juga meminta negara untuk tidak panik membeli pangan secara berlebihan (panic buying) serta tidak menciptakan kebijakan yang membatasi ekspor yang akan semakin memersulit krisis pangan.

Kenaikan harga pangan telah terjadi tiga kali dalam lima tahun terakhir. Penyebabnya tidak lain adalah fenomena iklim yaitu kekeringan di satu wilayah dan banjir di wilayah lain yang merusakkan produksi pertanian. Ancaman ini akan terus berlanjut sampai dunia bisa menemukan solusi menghadapi perubahan iklim.

Dalam jangka pendek, kerugian ini tidak hanya diderita oleh mereka yang langsung terkena dampaknya, namun juga diderita oleh komunitas internasional. Menurut perkiraan Program Pangan Dunia (WFP), jika harga pangan naik 10%, dunia internasional harus mencari tambahan dana sebesar US$200 juta per tahun guna menyediakan bantuan pangan.

Redaksi Hijauku.com