Tinjauan atas Survival of the Greenest: Economic Transformation in a Climate-conscious World karya Amir Lebdioui (2024)
Oleh: Jalal
Akhir minggu lalu seorang sahabat bertanya apakah saya sudah membaca sebuah kitab berjudul sangat menarik: Survival of the Greenest. Saya ingat sudah mengunduh karya open access itu, tapi entah mengapa saya belum juga sempat membacanya. Gegara pertanyaan itulah saya kemudian mulai melihatnya lagi, juga menyempatkan diri untuk melongok profil penulisnya, Amir Lebdioui, profesor ekonomi politik pembangunan di Universitas Oxford, yang berkebangsaan Aljazair.
Ketika mulai membuka lembar demi lembar digitalnya, saya mendapati bahwa nama-nama masyhur Ha-Joon Chang, Dani Rodrik, Achim Steiner dan Mariana Mazzucato adalah di antara yang memuji karya ini. Mazzucato bilang: “This book is a must-read for policymakers, economists, and anyone invested in shaping a world where the false dichotomy between economic prosperity and environmental sustainability no longer persists.”
Sebagai bagian dari ‘anyone’ dalam kategori Mazzucato, saya mulai membacanya, dan di penghujung pembacaan saya mustahil tidak mengamini pernyataan Mazzucato itu. Untuk menjelaskannya, saya menuliskan tinjauan berikut.
Urgensi Menjadi Hijau
Krisis iklim telah mengubah logika dasar pembangunan ekonomi dunia. Jika pada abad ke-20 kekuatan industri ditentukan oleh kemampuan mengekstraksi sumberdaya dan memroduksi sebanyak mungkin, maka abad ke-21 menuntut kemampuan beradaptasi pada batas ekologis planet. Kitab Survival of the Greenest menegaskan bahwa keberlanjutan bukanlah pilihan moral atau salah satu di antara sekian banyak mode kebijakan yang bisa dipilih, melainkan keniscayaan bagi siapapun yang ingin selamat.
Negara yang gagal beradaptasi pada ekonomi rendah karbon akan tersingkir dari rantai nilai internasional, sementara yang mampu bertransformasi akan memeroleh green dividends berupa pekerjaan, investasi, dan inovasi. Dalam konteks bisnis, gagasan Lebdioui merefleksikan bahwa keunggulan kompetitif masa depan bukan lagi pada cost efficiency, tetapi pada carbon efficiency. Dengan gaya argumentatif yang kuat dan kasus lintas-negara, karya ini menegaskan bahwa bertahan hidup di abad ini bukanlah tentang menjadi terbesar atau terkaya, melainkan menjadi yang paling cepat beradaptasi terhadap tuntutan Bumi yang berubah.
Darwinian Hijau dalam Tujuh Babak
Lebdioui memulai bukunya dengan mengadopsi logika Darwinian: yang bertahan bukan yang terkuat, tetapi yang paling adaptif (survival of the fittest). Ia mengaitkan prinsip evolusi ini dengan ekonomi global yang kini dituntut menyesuaikan diri terhadap krisis iklim. Pembangunan berbasis industri padat karbon yang dahulu membawa kemakmuran kini menjadi ancaman eksistensial. Melalui enam bab utama, buku ini menjelaskan dinamika ketimpangan, peluang, serta instrumen kebijakan yang dapat memungkinkan transformasi hijau yang inklusif.
Bab pertama memetakan perubahan paradigma pembangunan. Model grow now, clean up later—logika klasik pembangunan yang menunda agenda lingkungan hingga kemakmuran tercapai—dinilainya telah usang dan berbahaya. Penundaan transisi bukan hanya memerparah kerusakan ekologis, tetapi juga menimbulkan risiko ekonomi berupa asset stranding dan kehilangan daya saing akibat kebijakan perdagangan hijau seperti Carbon Border Adjustment Mechanism Uni Eropa. Sebaliknya, industrialisasi hijau membuka green windows of opportunity: peluang baru bagi negara berkembang untuk memanfaatkan teknologi rendah karbon, ekonomi sirkular, dan efisiensi sumberdaya sebagai sumber pertumbuhan baru.
Bab kedua membahas konsep ketahanan (resilience) terhadap risiko iklim dan transisi. Negara berkembang paling rentan karena ekonominya bertumpu pada ekspor komoditas yang peka terhadap iklim — pertanian, pertambangan, dan energi fosil. Lebdioui menunjukkan bagaimana ketergantungan semacam ini memerburuk kesenjangan finansial: negara rentan iklim menghadapi bunga pinjaman internasional yang jauh lebih tinggi karena peringkat kreditnya menurun akibat risiko lingkungan. Ia kemudian mengusulkan diversifikasi produktif sebagai jantung ketahanan iklim: membangun struktur ekonomi yang lebih beragam, bernilai tambah tinggi, dan rendah karbon.
Bab ketiga menyoroti ketimpangan geografi industri hijau global. Sebagian besar pekerjaan, inovasi, dan ekspor dari teknologi rendah karbon terkonsentrasi di segelintir negara industri: Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan sedikit lainnya. Sementara Afrika dan sebagian besar Amerika Latin tertinggal jauh. Data menunjukkan 42 persen lapangan kerja energi terbarukan berada di Tiongkok, sedangkan seluruh Afrika hanya menyerap sekitar 2,4 persen. Dalam hal inovasi, tiga perempat paten energi terbarukan juga berasal dari empat negara yang sama. Situasi ini memerlihatkan reproduksi struktur ketergantungan lama di bawah label ekonomi hijau, di mana negara maju menikmati keuntungan teknologi dan pasar, sedangkan negara berkembang tetap terjebak dalam peran pemasok bahan mentah.
Bab keempat mengulas politik ekonomi kebijakan industri hijau. Lebdioui meminjam metafora “pemerintah sebagai wasit dan pelatih kepala”, di mana negara perlu menegakkan aturan yang adil, tetapi juga membimbing para pemain—sektor swasta—agar mengembangkan kapabilitas hijau mereka. Lebdioui jelas menolak pandangan laissez-faire maupun determinisme pasar. Sebaliknya, negara harus berani menantang keunggulan komparatif tradisional untuk menciptakan keunggulan baru melalui investasi, insentif fiskal, dan penguatan kelembagaan. Di sisi lain, ia juga memeringatkan bahaya isomorphic mimicry: meniru kebijakan negara lain tanpa menyesuaikan dengan konteks lokal. Banyak negara mencoba meniru keberhasilan Tiongkok dalam industri panel surya dengan menerapkan local content requirement, tetapi gagal karena tidak memiliki kapasitas industri dan kendali atas tata kelola yang serupa.
Bab kelima memerluas cakupan konsep industrialisasi hijau di luar manufaktur. Tidak semua negara dapat atau perlu menjadi produsen teknologi hijau, tegas Lebdioui. Ada berbagai jalur transformasi yang bisa diambil seperti pertanian cerdas iklim, jasa lingkungan, diversifikasi energi, hingga inovasi sederhana seperti produk guna ulang, hingga pertanian organik. Pendekatan ini menolak pandangan sempit bahwa ekonomi hijau identik dengan pabrik turbin angin atau baterai litium saja. Sebaliknya, setiap negara dapat menemukan bentuk industrialisasi hijau yang sesuai dengan sumberdaya dan ekosistemnya.
Bab keenam membahas rintangan eksternal berupa proteksionisme hijau, standar ganda perdagangan, dan kegagalan pembiayaan iklim global. Negara maju, tulis Lebdioui, tengah menendang tangga hijau sebagaimana mereka dulu menendang tangga industrialisasi dari negara berkembang. Komitmen pendanaan iklim US$100 miliar per tahun yang dijanjikan di COP tak kunjung terealisasi, sementara mekanisme perdagangan seperti CBAM justru membebani pengekspor dari negeri-negeri miskin. Menyikapi situasi ini, ia menyerukan rekonstruksi tata kelola global yang lebih adil agar transisi hijau tidak memerdalam ketimpangan global.
Akhirnya, dalam bab kesimpulan, Lebdioui menegaskan bahwa ekonomi pembangunan harus berevolusi. Tantangan masa depan tidak hanya tentang pertumbuhan, tetapi juga transformasi struktural menuju ketahanan ekologis dan sosial. Industrialisasi hijau, bila dikelola dengan kebijakan publik yang cerdas dan kontekstual, dapat menjadi jalur baru keluar dari kemiskinan sekaligus jalan menuju stabilitas planet. Lebdioui menutup bukunya dengan refleksi bahwa ekonomi pembangunan abad ke-21 harus menjadi ilmu tentang bagaimana bertahan hidup manusia di bawah batas-batas planetari.
Menimbang Lebdioui
Kekuatan utama karya ini, bagi saya, terletak pada kemampuannya menyatukan dua ranah yang biasanya berjalan terpisah: teori pembangunan dan ekonomi hijau. Lebdioui menulis dengan ketajaman akademik yang diimbangi dengan kekuatan komunikatif. Ia berhasil menjembatani literatur neo-Schumpeterian, strukturalis, dan kebijakan industri modern dalam satu narasi yang konsisten. Ia menolak dogma, baik dari kubu yang menentang industrialisasi maupun dari kubu Neoliberal yang memuja pasar bebas. Argumennya bahwa negara tetaplah harus menjadi aktor sentral dalam mengorkestrasi transisi hijau terasa segar dan empiris, ditopang oleh bukti lintas wilayah — dari Brasil dan Malaysia hingga Norwegia dan Tiongkok.
Namun demikian, jelas ruang perbaikan tetap ada. Pertama, saya merasa analisisnya lebih kuat pada diagnosis ketimpangan global daripada pada resep implementatif. Ia menyerukan perlunya kebijakan industri hijau adaptif, tetapi tidak membahas secara rinci bagaimana negara berkapasitas rendah dapat benar-benar bisa melakukannya dengan menghindari jebakan kelembagaan seperti korupsi atau ketergantungan politik terhadap elite bisnis. Kedua, bahasan mengenai dimensi sosial—misalnya ketimpangan gender, ketidakadilan terhadap masyarakat miskin, dan dampak pekerja informal—dalam transisi hijau masih terasa selintasan. Dalam konteks negara-negara Selatan, transisi hijau yang tidak sensitif terhadap dimensi sosial dapat memunculkan green inequality. Ketiga, meskipun kritik terhadap proteksionisme hijau sangat tajam, Lebdioui belum menawarkan mekanisme global konkret yang bisa menyeimbangkan hak pembangunan dengan komitmen iklim.
Secara metodologis, buku ini cenderung bersifat konseptual dan sintesis, bukan studi empiris berbasis data primer yang kaya. Ini menjadikannya sangat bermanfaat sebagai panduan pemikiran strategis, tetapi mungkin kurang memberi panduan praktis bagi pembuat kebijakan di tingkat operasional. Meski demikian, sebagai karya akademik, keunggulannya justru pada kemampuannya menggugah cara berpikir baru tentang hubungan antara pembangunan, kebijakan industri, dan ekologi global.
*****
Bagi saya Survival of the Greenest bukan sekadar bacaan ilmiah dengan judul sangat menarik, tetapi juga bisa menjadi manifesto intelektual bagi para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan akademisi untuk menata ulang arah pembangunan.
Lebdioui mengingatkan kepada kita semua bahwa keberlanjutan tidak akan lahir dari serangkaian projek hijau seremonial dan simbolis, melainkan hanya dari transformasi struktural yang menempatkan keadilan dan produktivitas ekologis sebagai fondasi ekonomi baru. Kitab ini mengajak kita menyadari bahwa masa depan bisnis dan bangsa ditentukan oleh seberapa cepat kita beradaptasi terhadap ekologi yang berubah. Ia menutup perdebatan antara ekonomi dan lingkungan dengan satu pesan sederhana: bahwa di abad ini, yang bakal selamat adalah yang paling hijau.
–##–
Jakarta, 16 Oktober 2025 07:07
Leave A Comment