Oleh: Firdaus Cahyadi *
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP tersebut memberikan hak kepada koperasi dan organisasi masyarakat (Ormas) untuk mengelola wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara hingga seluas 2.500 hektar. PP ini berpotensi besar merusak lingkungan hidup dan memperparah krisis ekologi di Indonesia.
Pemerintah menggunakan narasi pemerataan ekonomi dan mendorong pengusaha lokal, agar publik menormalisasi kebijakan yang merusak alam ini. Sektor pertambangan, terlepas dari siapa pengelolanya, adalah sektor dengan risiko lingkungan tertinggi. Luas wilayah IUP sebesar 2.500 hektar bukanlah skala “kecil” dalam konteks ekologi. Luasan itu cukup untuk menyebabkan degradasi hutan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara masif.
Ada tiga kekhawatiran utama dari perspektif lingkungan. Pertama, kapasitas pengelolaan lingkungan yang diragukan. Mengelola area tambang seluas 2.500 hektare membutuhkan keahlian teknis dan modal finansial yang sangat besar untuk reklamasi pasca-tambang, mitigasi polusi air asam tambang, serta pengelolaan limbah B3.
Koperasi dan UMKM umumnya belum memiliki rekam jejak, sumber daya, dan struktur tata kelola untuk menjamin kepatuhan terhadap standar lingkungan yang ketat. Risiko kegagalan reklamasi dan pencemaran permanen menjadi sangat tinggi.
Kedua, potensi konflik sosial karena alih fungsi lahan. Pemberian IUP dengan skema prioritas tanpa tender murni berisiko membuka wilayah konservasi atau lahan produktif yang sebelumnya dilindungi.Keputusan ini berpotensi memicu konflik agraria dan tumpang tindih lahan yang justru merugikan masyarakat adat dan petani, serta mempercepat laju deforestasi untuk mengejar keuntungan komersial jangka pendek.
Ketiga, regulasi yang kurang ketat, multiplier efek bencana. Ketika banyak entitas kecil diizinkan beroperasi, pengawasan pemerintah menjadi tidak efektif dan terfragmentasi. Hal ini menciptakan celah besar bagi praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab, penambangan ilegal terselubung, dan mengarah pada kerusakan lingkungan kumulatif yang lebih parah dibandingkan dengan operasi perusahaan besar yang setidaknya memiliki kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan publikasi yang lebih ketat.
Pemerintah, tidak boleh menukar kesehatan ekosistem kita dengan janji ekonomi yang rapuh. Lingkungan hidup adalah modal utama dan satu-satunya yang kita miliki. Dengan membuka keran tambang secara masif, pemerintah melakukan bunuh diri ekologi yang berdampak pada bencana bagi generasi mendatang.
–##–
* Firdaus Cahyadi adalah pendiri organisasi lingkungan hidup, Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL).
Leave A Comment