Oleh: Jalal
Minggu pagi tanggal 7 Juli 2024 saya menonton dokumenter Breaking Together: A Film about Collapse yang diluncurkan sebuah jaringan TV Belanda sehari sebelumnya. Jem Bendell, tokoh sentral di dalam film dokumenter itu, adalah profesor kepemimpinan keberlanjutan yang saya kenal lebih dari 2 dekade lampau melalui buku suntingannya tentang kerjasama bisnis dan organisasi masyarakat sipil untuk mencapai keberlanjutan, Terms of Endearment: Business, NGOs and Sustainable Development. Bunga rampai itu banjir pujian, dan saya yang pada saat itu relatif baru belajar tentang keberlanjutan bisnis sangatlah tertarik untuk membacanya.
Buku tersebut diikuti oleh beberapa karyanya yang lain, kebanyakan dalam tema yang sama, setidaknya hingga persis satu dekade lampau. Setelah banyak menuliskan artikel di jurnal, buku berikutnya, The Corporate Responsibility Movement Five Years of Global Corporate Responsibility Analysis from Lifeworth, 2001-2005, terbit di tahun 2009. Hanya berselang setahun, Bendell kemudian mengeluarkan kitab Evolving Partnerships A Guide to Working with Business for Greater Social Change. Saya membaca kedua buku tersebut dengan pengetahuan yang sudah lebih banyak dan beragam soal ini, sehingga bisa mengapresiasi dengan lebih baik kompleksitas yang digambarkan oleh Bendell.
Bendell memang bukan ‘sekadar’ akademisi. Ia memang belajar di Universitas Cambridge di bidang geografi lalu meneruskan hingga meraih gelar doktor di Universitas Bristol. Ia mengajar di beberapa universitas, termasuk di program tanggung jawab sosial perusahaan di Universitas Nottingham, mengajar manajemen di Universitas Griffith, hingga dikukuhkan menjadi profesor dalam bidang kepemimpinan keberlanjutan itu di Universitas Cumbria, selain menjadi pendiri Institute for Leadership and Sustainability (IFLAS). Kini, status Bendell adalah profesor emiritus di universitas tersebut, dalam usia yang masih relatif muda.
Tetapi, Bendell juga adalah seorang aktivis. Setelah lulus sarjana dari Universitas Cambridge, dia bergabung dengan WWF. Di organisasi tersebut dia sangat instrumental dalam membangun Forest Stewardship Council (FSC) dan Marine Stewardship Council (MSC). Perhatiannya pada kerjasama bisnis dan gerakan sosial memang membuatnya sangat cocok membangun kedua inisiatif yang sangat terkenal itu. Di sana juga Bendell menulis laporan yang sangat terkenal di tahun 2007, Deeper Luxury: Quality and Style When the World Matters. Laporan itulah, dan liputan media massa yang sangat luas atasnya, yang membuat masalah sosial dan lingkungan dari merk-merk mewah menjadi perhatian publik.
Walaupun Bendell adalah penganjur kerjasama antara perusahaan dan LSM, sejak awal pandangannya selalu kritis. Pada artikelnya yang terbit di tahun 2005, In Whose Name? The Accountability of Corporate Social Responsibility, Bendell menggugat kenyataan bahwa akuntabilitas program-program CSR terhadap kelompok sasarannya—terutama di negara-negara Selatan—sangat jarang yang memuaskan. Namun, kritik paling keras Bendell atas seluruh praktik ‘keberlanjutan perusahaan’ baru dia lancarkan melalui bukunya yang ia tulis bersama Ian Doyle dan terbit tepat satu dekade lampau, Healing Capitalism: Five Years in the Life of Business, Finance and Corporate Responsibility.
Buku setebal 480 halaman itu menjelaskan bahwa Kapitalisme itu sedang sakit, dan untuk menyembuhkannya Bendell dan Doyle bilang caranya adalah dengan menegakkan Capital Accountability terhadap mereka yang terkena dampak keputusan dan operasi perusahaan. Analisis dan resep ini sebetulnya tidaklah langka. Tetapi buku ini memuat banyak sekali bukti yang dibeberkan tanpa tedeng aling-aling. Mengomentari kejujuran brutal buku ini, Jonathon Porritt bilang “… when it comes to capitalism, there is no healing without a lot of pain.”
Setelahnya, saya melihat refleksi Bendell atas kondisi dunia semakin kritis. Di tahun 2018 ia mengguncang dunia gegara publikasinya yang menyatakan bahwa agaknya dunia sudah pasti akan mengalami kolaps lantaran krisis iklim. Dia tak bilang bahwa sudah tak perlu lagi mengerem kerusakan, tetapi dia bilang bahwa Deep Adaptation, begitu pemikiran yang juga judul makalahnya, itu perlu mendapatkan perhatian yang jauh lebih serius. Makalah itu, beserta versi perbaikannya yang diterbitkan di tahun 2020, kini telah diunduh lebih dari sejuta kali dan menjadi sumber debat yang sangat panas, terutama lantaran keyakinan Bendell bahwa kolaps itu tak lagi bisa terhindarkan.
Bendell bersama Rupert Read kemudian menerbitkan bunga rampai Deep Adaptation: Navigating the Realities of Climate Chaos di tahun 2021. Pakar perubahan iklim dan batas-batas planetari terkemuka, Profesor Will Steffen, mengomentari buku ini sebagai berikut: “Collapse followed by transformation is a common way that complex systems evolve. Perhaps collapse of our high consumption, climate-destabilising society can lead to transformation towards a brighter human future. The Deep Adaptation framework outlined in this book is a helpful way to seek that transformation.” Tetapi, pakar perubahan iklim terkemuka lainnya, Michael Mann, menyatakan bahwa kesimpulan Bendell itu “wrong on the science and impacts: There is no credible evidence that we face ‘inevitable near-term collapse.‘” Buat Mann, kesimpulan Bendell bisa membahayakan perjuangan untuk memitigasi gas rumah kaca.
Menanggapi kritik dari Michael Mann dan yang lain, Bendell menyatakan dalam wawancara berjudul The Darkest Timeline yang dimuat The New York Times, “My own conclusion that it is too late to prevent a breakdown in modern civilization in most countries within our lifetimes is not purely based on an assessment of climate science. It’s based on my view of society, politics, economics from having worked on probably 25 countries across five continents, worked in the intergovernmental sector of the U.N., been part of the World Economic Forum, working in senior management in environmental groups, being on boards of investment funds.”
Saya sendiri sangat setuju bahwa “Adaptasi Mendalam” sangatlah diperlukan, terlepas dari apakah kolaps itu memang tak terhindarkan, atau apakah ini akan dialami oleh generasi kita yang hidup sekarang. Formula 4R yang dia ajukan, yaitu “Resilience: what do we most value that we want to keep, and how? Relinquishment: what do we need to let go of so as not to make matters worse? Restoration: what could we bring back to help us with these difficult times? Reconciliation: with what and whom shall we make peace as we awaken to our mutual mortality?” menurut saya, bisa menjadi pemandu siapapun yang ingin beradaptasi dengan kondisi krisis iklim yang tengah dan akan terus kita hadapi.
Bulan Mei lalu, The Guardian melakukan survei terhadap 380 ilmuwan iklim terkait dugaan terkuat mereka akan seperti apa kenaikan suhu di akhir abad ini, dan 77% di antara mereka menyatakan setidaknya akan terjadi kenaikan suhu 2,5 derajat Celsius alias 1 derajat di atas ambang aman yang disarankan oleh IPCC. Baru kemarin, lembaga Copernicus Climate Change Service menunjukkan bahwa secara konsisten 12 bulan terakhir kita sudah melampaui ambang itu. Tentu, informasi ini membuat pemikiran Bendell menjadi semakin relevan. Yang mengagetkan saya, setelah itu ternyata Bendell memutuskan pindah ke Ubud dan memilih menjadi aktivis dalam pertanian regeneratif di sana sejak tahun 2020. Dia hidup seperti yang dia resepkan di dalam karya itu.
Tahun lalu, dia menerbitkan buku Breaking Together: A Freedom-Loving Response to Collapse yang dia gratiskan versi elektronik epub-nya melalui website pribadinya. Film yang saya sebutkan di bagian awal sedikit banyak membeberkan isi buku tersebut dan memberi latar belakang mengapa Bendell ‘berakhir’ di Ubud. Tetapi, tentu saja, akan jauh lebih baik buat kita semua untuk juga bisa membaca seluruh argumentasi Bendell dengan lengkap, sehingga akan bisa mengapresiasi—atau tidak—pendiriannya dengan memadai. Sangat mungkin saya akan menuliskan timbangan saya secara khusus atas buku tersebut pada kesempatan di masa mendatang yang semoga tidak begitu lama.
Di bagian akhir buku tersebut Bendell menuliskan ringkasan atas apa yang dia percayai sebagai berikut, “We certainly know what’s happening already; scientists aren’t trained to integrate from outside their specialisms; technology cannot fix multisystem collapse; protesting teenagers often evolve into salespersons for green business; whereas our passions are unleashed by recognising the full destructiveness of elites; blaming realists for being right is obviously moronic; voluntary self-governance will be better than constant manipulation and control; because our faith in humanity and the divine means we trust our freedom to care for each other and nature once freed from the cowardly and narcissistic officers of Imperial Modernity.” Kesimpulan itu membuat saya berefleksi, dan saya sangat yakin bahwa siapapun yang membaca buku ini akan merasa diundang untuk melakukannya.
Saya bukanlah seorang ilmuwan, namun menikmati mengintegrasikan berbagai pandangan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan sebisa mungkin, sehingga merasa terbebas dari kesimpulan soal itu. Namun, saya adalah demonstran sejak bocah, dan kini menjadi proponen bisnis berkelanjutan. Lebih ‘buruk’ daripada sekadar menjadi salah satu salespersons-nya, saya duduk bersama para pengambil keputusan di banyak perusahaan sejak dua dekade lampau hingga sekarang. Dari posisi itu saya bisa melihat dan membuat perubahan-perubahan antara yang inkremental hingga yang fundamental. Namun, dalam beberapa kasus saya juga menemukan diri ditipu oleh para petinggi perusahaan, investor, dan bank yang tadinya saya percaya akan membuat perubahan. Dengan begitu, apakah alih-alih mengupayakan perubahan dengan cara membujuk, mendorong, memfasilitasi perusahaan untuk berubah lebih baik saya memfokuskan diri bekerja dengan masyarakat di aras tapak untuk menguatkan resiliensi dan regenerasi saja?
Secara kebetulan (?) Breaking Together terbit separuh abad setelah karya E. F. Schumacher, Small is Beautiful, dengan gaung pendirian yang serupa. Hal itu membuat dorongan refleksi semakin menguat di dalam diri saya. Mungkin ada baiknya suatu saat nanti saya bisa berdialog langsung dengan Bendell yang sekarang aktivitas utamanya berjarak beberapa jam saja dari tempat saya tinggal, dan dalam setahun biasanya saya beberapa kali berkunjung ke sana. Ketika pertemuan itu benar-benar terjadi, saya akan menuliskan juga hasilnya.
–##–
Leave A Comment