Pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun 2023, yang jatuh hari ini 9 Agustus 2023, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengusung tema “Indigenous Youth as Agents of Change for Self-Determination” atau “Pemuda Adat sebagai Agen Perubahan untuk Penentuan Nasib Sendiri”.
Tema ini untuk menunjukkan kembali peran yang harus diambil oleh pemuda adat dalam pengambilan keputusan dan upaya dedikasi mereka dalam aksi iklim, pencarian keadilan, dan terciptanya hubungan antar generasi yang menjaga budaya dan tradisi mereka.
Dalam konteks advokasi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia, peran pemuda adat sangat strategis dalam pemetaan wilayah adat, advokasi kebijakan serta penerus pengelolaan wilayah adat berdasarkan budaya dan tradisi kearifan masyarakat adat. Sementara itu, kondisi masyarakat adat masih termarginalisasi di wilayah adatnya karena pengakuan dan perlindungan wilayah adat masih jauh dari harapan masyarakat adat.
“Sampai saat ini, BRWA telah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota,” kata Kepala BRWA, Kasmita Widodo dalam acara press rilis “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia, Rabu 9 Agustus 2023. “Dari 1.336 total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9 %. Masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah”, ucap Kepala BRWA.
Kemarin, KLHK menerbitkan pengakuan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah seluas 68.326 hektar. Sehingga total hutan adat yang sudah mendapat pengakuan sebanyak 123 Hutan Adat dengan luas mencapai 221.648 hektar.
Keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK memang tidak mudah, karena harus diawali dengan pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) oleh pemerintah daerah. Menurut Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 “Pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Disinilah sengkarutnya proses pengembalian hutan adat dari hutan negara. Komitmen kepala daerah dan kapasitas pemerintah daerah masih rendah untuk membentuk Perda pengakuan masyarakat adat. Setelah ada Perda pun, pelaksanaan verifikasi sampai dengan pengukuhan masyarakat adat masih berjalan sangat lambat. Begitu juga dengan KLHK yang masih terbatas dalam melakukan verifikasi usulan hutan adat. Rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat setahun yang dapat diverifikasi lapangan. Selain itu, masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional.
Terkait sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat, Kementerian ATR/BPN belum ada kemajuan yang berarti. Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih menterjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Padahal sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat.
Kebijakan negara menerbitkan HPL diatas wilayah adat justru berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yg telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.
Dari analisis tutupan hutan di 1.336 wilayah adat, BRWA mengidentifikasi ada sekitar 12,9 hektar berupa hutan primer dan 5,37 juta hektar hutan sekunder. Pada areal hutan sekunder sudah cukup banyak dikelola oleh badan usaha yang mendapat Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah, kata Kepala Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya.
Dari berbagai data profil masyarakata adat yang terhimpun di BRWA, masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya. Kekuatan masyarakat adat dalam menjaga hutan berdasar tradisi dan budaya menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim dan penyelamatan keanaragaman hayati.
Pemutusan hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya karena kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan pemerintah kepada badan-badan swasta akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia.
“Dengan capaian yang telah disampaikan di atas, maka perlu kesungguhan pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga Pemerintah untuk menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui Pengesahan RUU Masyarakata Adat dan pengalokasian anggaran yang memadai dalam proses pengakuan masyarakat adat melalui anggaran pemerintah pusat dan daerah,” tegas Kasmita Widodo.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) adalah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat. BRWA dibentuk tahun 2010 atas inisiatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW). Informasi lebih lanjut dapat mengunjungi website BRWA www.brwa.or.id.
Media Kontak:
Ariya Dwi Cahya
Divisi Data dan Informasi
Email: ariyadwicahya1@gmail.com
Leave A Comment