Perimbangan keuangan antara daerah yang kaya fungsi ekologi dan daerah yang minim fungsi ekologi, masih banyak terdapat persoalan. Sistem transfer fiskal yang ada saat ini, belum memberikan ruang yang besar bagi pemerintah daerah dalam mengelola fungsi ekologi dengan baik.
Hal tersebut terjadi karena minimnya pendapatan bagi daerah yang kaya fungsi ekologi dibanding daerah yang melakukan eksploitasi terhadap fungsi ekologinya. Padahal, beban daerah yang mampu menjaga fungsi ekologi lebih besar dibanding daerah yang melakukan eksploitasi ekologi. Dalam hal ini, prinsip keadilan belum terjadi dalam kebijakan transfer fiskal terkait dengan isu ekologi (Mumbunan, Ring & Lenk, 2012; Pradiptyo, Saputra et al, 2020).
Oleh karena itu, mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini harus terus diperbaiki. Undang-undang (UU) yang ada saat ini, UU Nomor 33 Tahun 2003 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus perlu direvisi. Salah satunya adalah memasukan aspek ekologi dalam mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pokok-pokok pikiran ini disampaikan secara sistematis oleh Wiko Saputra dan Joko Tri Haryanto dalam kertas kebijakan terbaru berjudul Urgensi Memasukkan Isu Ekologi dalam Pokok-pokok Pikiran Rancangan Undang-undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Menurut tim penyusun kertas kebijakan ini, ada tujuh alasan mendasar selain alasan pokok yang disampaikan di atas mengapa aspek ekologi (aspek hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi alam sekitarnya, red.) harus masuk dalam revisi RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Alasan pertama, dampak perubahan iklim menjadi tantangan besar dalam pembangunan Indonesia ke depan. Menurut tim penulis, Indonesia negara kepulauan yang beriklim tropis dan dilewati jalur gempa, risiko terjadinya bencana alam begitu tinggi.
“Indonesia juga diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang perlu dimanfaatkan dengan baik bagi keberlanjutan pembangunan. Tata kelola pembangunan harus berorientasi pada mitigasi terhadap dampak perubahan iklim dan keberlanjutan pembangunan,” tegas mereka.
Dampak perubahan iklim juga akan mengancam penghidupan masyarakat. Salah satunya adalah meningkatnya risiko penyakit (Wirawan, 2010; Kurane, 2010; Mirski, Bartoszcze & Drozd, 2012; Smith et al. 2014).
“Kita baru menyadari bahwa kesalahan dalam tata kelola pembangunan global telah mengakibatkan terjadi pandemi COVID-19,” tulis tim penyusun. Dan ini tentunya bukan satu satunya ancaman penyakit akibat perubahan iklim (Manzanedo & Manning, 2020; Fuentes et al, 2020). Masih banyak sumber-sumber penyakit lain yang juga akan menimbulkan dampak besar bagi kesehatan masyarakat, seperti ebola, SARS, MERS, demam berdarah dan sebagainya. “Munculnya berbagai penyakit ini berakibat buruk terhadap pembagunan global,” tegas tim penulis.
Untuk itu Indonesia perlu mengantisipasi semua risiko tersebut. “Perlu dukungan program dan pembiayaan yang berkelanjutan untuk aspek ekologi. Dukungan program dan anggaran tersebut bisa didesain dalam bentuk mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,” tulis mereka.
Alasan kedua, pandemi COVID-19 telah membuat perubahan yang signifikan dalam tata kelola kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal di Indonesia. Tekanan pembiayaan penanganan COVID-19 dan PEN berdampak pada alokasi dana transfer ke daerah. Jika sebelum pandemic COVID-19 pertumbuhan dana transfer ke daerah bisa mencapai 4,6% per tahun. Pada 2020, mengalami penurunan, yaitu -6,0%.
Pemerintah merestrukturisasi kebijakan fiskal dengan focus pada program penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Arah kebijakan penggunaan transfer ke daerah juga difokuskan untuk penanganan COVID-19 dan PEN (Kementerian Keuangan, 2020)
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran mencapai Rp695,20 triliun di 2020 untuk kedua program tersebut. Fokus kebijakan fiskal tersebut adalah program kesehatan dalam penanganan COVID-19 yang alokasinya mencapai Rp97,9 triliun dan program perlindungan sosial dengan alokasi anggaran mencapai Rp233,69 triliun (Kementerian Keuangan, 2020).
Pada 2021, pemerintah kembali mendesain anggaran untuk penanganan COVID-19 dan PEN. Khusus untuk PEN, di dalam APBN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp356,5 triliun.
“Belajar dari pandemi COVID-19 tersebut, perencanaan penganggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu harmonisasi. Begitu banyak tumpang tindih penganggaran yang terjadi dalam penanganan COVID-19 dan PEN antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini semakin memperkuat argumentasi bahwa model hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diperbaiki,” tegas kertas kebijakan ini.
Alasan ketiga, belajar dari semua kesulitan yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, banyak pihak yang mendorong pemerintah agar memfokuskan rancangan strategi pemulihan ekonominya dengan berorientasi pada pertumbuhan hijau (green growth) paska pandemi COVID-19.
Apalagi hal ini sangat sesuai dengan skenario Low Carbon Development Initiative (LCDI) yang disampaikan oleh Bappenas tahun 2019. Bappenas memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai rata-rata 5,6% sampai tahun 2024 jika menerapkan pola pertumbuhan hijau, pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Untuk itu, perlu penataan ulang strategi pemulihan ekonomi paska pandemic COVID-19 dengan mempertimbangkan strategi pembangunan rendah karbon dan pemanfaatan energi terbarukan. “Strategi pemulihan ekonomi yang tepat harus berkontribusi pada target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang telah menjadi komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC),” tulis tim penyusun.
Alasan keempat, belum teralokasikannya program pemulihan ekonomi yang nyata dalam
mekanisme PEN tahun 2021. “Hal ini perlu perhatian serius mengingat program PEN ditargetkan akan selesai di 2023,” tulis tim penyusun. Jika tidak teralokasikan dengan baik, program PEN hanya akan jadi program menghabis-habiskan anggaran tahunan bagi kementerian/lembaga (K/L) seperti yang biasa terjadi alias bussines as ussual.
Alasan kelima, Indonesia masih menghadapi persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan dalam pembangunan di Indonesia. Meskipun Bahkan, Indonesia di 2020 telah masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) dengan pendapatan perkapita sebesar $4.005, laporan Oxfam menyebutkan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara 100 juta masyarakat termiskin di Indonesia.
Dan faktanya, ada sekitar 10 juta penduduk miskin berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. “Akses mereka terhadap sumber daya ekonomi minim, karena sebagian besar lahannya sudah diokupasi oleh perusahaan ekstraktif, seperti perkebunan sawit, kehutanan, dan pertambangan,” tulis tim peneliti.
Selain itu, masyarakat di sekitar kawasan hutan juga dilarang melakukan aktivitas ekonomi di dalam kawasan hutan. Akibatnya, ruang penghidupan mereka semakin terbatas, menyebabkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencaharian tetap. Degradasi lahan akibat eksploitasi juga menyebabkan sebagian sumber mata pencaharian mereka berkurang (Soehartono & Mardiastuti, 2013).
“Untuk mengatasi kemiskinan tersebut dibutuhkan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Transfer fiskal berbasis ekologi bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengembangkan program-program tersebut, terutama dalam mendukung pembiayaan program,” tulis tim penyusun.
Alasan keenam, Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum terimplementasi secara maksimal karena masih diperlukan perangkat peraturan pendukung. Misalnya instrumen “green tax” yang memerlukan dukungan regulasi perpajakan dan mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah. “Terutama bila nanti menyangkut instrumen pajak daerah atau dana bagi hasil dari penerimaan pajak,” tulis tim penyusun.
Hal tersebut di atas yang menjadi alasan mengapa IELH menjadi penting diintegrasikan dengan mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “IELH tidak hanya didesain sebagai instrumen kebijakan di level pemerintah pusat. Tapi, juga menyangkut kebijakan-kebijakan IELH di level pemerintah daerah. Karena prinsip desentralisasi menjadikan harmonisasi program dan pembiayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat penting dilakukan,” tulis tim penyusun.
RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan juga mampu mendorong pengembangan inovasi pembiayaan hijau di daerah.
Alasan ketujuh, transfer fiskal berbasis ekologi dapat memperkuat mekanisme dan tata laksana dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki instrumen Dana Insentif Daerah (DID) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, sejak 2015, pemerintah menyalurkan transfer ke daerah dalam bentuk Dana Desa. “Ketiga instrumen ini potensi untuk dikembangkan menjadi transfer fiskal berbasis ekologi,” tulis tim penyusun.
Instrumen tersebut bisa mendorong perbaikan dalam orientasi dari target pembangunan nasional yang dikerjakan oleh pemerintah daerah. Misalnya, dengan adanya DID yang mengunakan indikator ekologi, pemerintah pusat dapat melakukan penilaian kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan dan mengimplementasikan pembangunan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan di daerah. “Sehingga, setiap tahun, capaian-capaiannya bisa diukur di setiap daerah,” tulis tim penyusun.
Menurut tim penyusun Indonesia kaya dengan fungsi ekologi. Oleh karena itu, beberapa indikator ekologi bisa dikembangkan dalam menyusun reformulasi transfer fiskal berbasis ekologi, seperti indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH), luas kawasan konservasi dan hutan lindung serta luas tutupan hutan alam. “Indikator ekologi lainnya juga bisa digunakan sebagai indikator dalam reformulasi,” tulis tim peneliti.
Indonesia juga bisa belajar dari beberapa negara lain yang sudah lama mengimplementasikan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi. Brasil misalnya, pada awalnya Brasil hanya menggunakan satu indikator ekologi, yaitu luas kawasan konservasi dan hutan lindung. “Saat ini mereka telah menggunakan berbagai indikator ekologi lain untuk menyusun formulasi transfer fiskal berbasis ekologi,” tulis tim penyusun.
Indikator-indikator tersebut mencakup pengelolaan sampah, tanah adat, rencana pembangunan berkelanjutan, pendidikan lingkungan hidup, pengurangan deforestasi, pengurangan kebakaran hutan, perlindungan DAS dan lainnya. “Semakin banyak indikator ekologi yang digunakan semakin optimal untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan transfer fiskal berbasis ekologi,” ujar tim penyusun.
Untuk itu, tim penyusun mewanti-wanti pentingnya membangun sistem dan tata laksana kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi yang baik agar dalam implementasinya bisa lebih kredibel, efektif, akuntabel dan tepat sasaran.
“Sistem desentralisasi fiskal yang dibangun secara cepat akibat dari proses reformasi tata kelola pemerintahan pada 1999 masih memiliki beberapa kelemahan. Kebijakan fiskal kita ternyata belum menyasar pada aspek kelestarian ekologi. Sistem dan tata laksana kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi kita perlukan agar kekayaan ekologi yang menjadi modal pembangunan pembangunan bisa berkontribusi lebih baik dan berkelanjutan,” tegas kertas kebijakan ini. Indonesia, tunggu apa lagi?
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment