Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai masih gelap, inefficient dan diduga penuh permainan, di mana Kementerian ESDM dan Pertamina lebih suka mempertahankan harga tinggi dalam memproduksi dan mendistribusikan BBM yang berkualitas rendah termasuk di kala harga crudes oil rendah (di bawah $30/barel).

Hal ini disampaikan oleh Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) di Jakarta hari ini, 18 Juni 2020. Pria yang akrab dipanggil Puput ini menduga, ada praktik untuk melanggengkan impor BBM kotor guna mengambil rente ekonomi dari harga BBM dengan cara men-down grade kualitas BBM yang didistribusikan kepada masyarakat yang penetapan harganya mengacu pada patokan harga international (MOPS).

“Selama ini, pemerintah menugaskan Pertamina untuk mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah RI dengan patokan harga internasional: MOPS (Mean Oil Platt Singapore). Namun sayangnya Pertamina hanya menggunakan referensi harga MOPS sebagai patokan harga atas pendistribusian BBM yang kualitasnya tidak setara dengan BBM (MOPS) yang dijadikan patokan dalam penetapan harga tersebut,” tuturnya.

Sejak 2005, Indonesia mewajibkan standar kendaraan bermotor yang mengacu pada Euro2/II Standard. Yaitu standar kendaraan bermotor rendah emisi dengan safety level yang lebih baik.  Penerapan standar ini mengharuskan prasyarat tersedianya BBM yang antara lain bensin dengan RON 92 (min), sulfur 500 ppm (max) dan lead 0,013 gr/L (max); dan Solar dengan Cetane Number/CN 51 (min), sulfur 500 ppm (max).

Kemudian pada Oktober 2018, pemerintah memperketat standar emisi kendaraan dengan  mewajibkan Euro 4/IV Standard yang mengharuskan ketersediaan bensin dengan RON 92 (min), sulfur 50 ppm max) dan lead 0,005 gr/L (max); dan Solar dengan CN 51 (min), sulfur 50 ppm (max). Dengan demikian Premium88, Pertalite90, Solar48 dan Solar Dexlite adalah BBM yang tidak  memenuhi syarat untuk digunakan kendaraan bermotor sejak 2005.

Saat ini BBM yang  memenuhi syarat adalah bensin yang setara dengan Pertamax dan Pertamax Turbo; sementara  untuk solar adalah Solar Perta-Dex dan Perta-Dex HQ (High Quality).  “Untuk itu, biarpun sangat terlambat, kini saatnya menghapus keempat jenis BBM kotor di atas (Premium88, Pertalite90, Solar48 dan Solar Dexlite),” tegas Puput.

Menurut Puput, selama ini selalu beredar mitos harga BBM dan daya beli masyarakat. “Upaya untuk memberlakukan BBM berkualitas lebih baik selalu dipertentangkan dengan daya beli  masyarakat,” ujarnya. Namun fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa harga eceran BBM (harga SPBU) sangat tergantung pada HPP (harga pokok penjualan) BBM tersebut. BBM yang dijual di berbagai negara  memiliki kualitas lebih baik, dengan HPP yang lebih rendah dari HPP BBM Indonesia.

Menggunakan data rata-rata triwulan per 27 April 2020, menurut Puput masyarakat dapat mengetahui fakta sebagai berikut:

Malaysia mampu memproduksi dan memasarkan Bensin dengan kualitas yang setara Pertamax Turbo  dengan harga SPBU Rp 5.495/L dan solar dengan kualitas yang lebih baik dari Perta-Dex dengan harga Rp4.965/L; di mana HPP (harga sebelum ditambah handling/distribution cost dan tax/excise) kedua jenis BBM ini masing-masing adalah Rp2.293/L dan Rp3.161/L. Kedua jenis BBM Malaysia ini  memenuhi syarat untuk digunakan kendaraan berstandar Euro 4/IV.

Di Australia, harga SPBU Bensin RON 95 sulfur content 10 ppm adalah Rp 8.376/L dan Solar CN 53 sulfur content 10 ppm adalah Rp9.444/L; dengan HPP masing-masing adalah Rp1.529/L dan Rp2.277/L. Kedua jenis BBM Australia ini memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 6/VI.

Di Amerika Serikat, harga SPBU Bensin RON 95 sulfur content 10 ppm adalah Rp7.168/L dan Solar CN 53 sulfur content max 10 ppm adalah Rp9.869/L; dengan HPP masing-masing adalah Rp2.580/L dan Rp3.947/L. Sama dengan di Australia, kedua jenis BBM ini memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 6/VI.

Di Indonesia, harga SPBU Bensin RON 98 sulfur content max 50 ppm (Pertamax Turbo) adalah Rp9.850/L dengan HPP Rp7.387/L. Bensin ini memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 4/IV seperti yang dipasarkan di Malaysia. Solar CN 53 S max 300 ppm atau yang dikenal dengan nama branding Perta-Dex dipatok harga SPBU sebesar 10.200/L dengan HPP Rp7.650/L; memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 3/III.

Harga SPBU Bensin RON 88 S max 200 ppm (Premium 88) adalah Rp6.450/L dengan HPP sebesar Rp4.837/L. Bensin jenis ini tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 2/II (RON terlalu rendah, benzene content terlalu tinggi dan olefin content terlalu tinggi). Solar CN 48 sulfur content max 2500 ppm dijual dengan harga SPBU sebesar Rp 5.100/L dan dengan HPP Rp4.825/L (Rp1.000/L sebagai subsidi dari Pemerintah). Solar CN 48 ini tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandar Euro 1/I.

Harga SPBU Bensin RON 90 sulfur content 200 ppm (max) adalah Rp7.650/L dengan HPP Rp5.737/L, di mana bensin dengan nama merek Pertalite 90 ini tidak memenuhi syarat untuk kendaraan Euro 2/II Standard. Sementara harga SPBU Solar CN 51 sulfur content 1200 ppm (max) adalah Rp9.500/L dengan HPP Rp7.125/L. Solar dengan nama merek Dexlite ini tidak memenuhi syarat untuk kendaraan diesel Euro 2/II Standard.

Mengapa Indonesia gagal menyediakan BBM dengan kualitas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku? Mengapa Indonesia gagal memproduksi dan memasarkan BBM dengan harga yang proporsional dengan kualitasnya? Bahkan dikala harga crudes oil jatuh berada pada kisaran $30/barel seperti saat ini, justru HPP-nya menjadi yang termahal, di mana harga di SPBU menjadi lebih tinggi dibandingkan yang berlaku di Malaysia?

Hal ini menurut Puput disebabkan karena tiadanya kemauan politik (political will) dari pemerintah yang diduga sangat dipengaruhi oleh kepentingan oil traders yang mengejar rente ekonomi melalui impor BBM kotor (dirty fuels). Stok BBM kotor ini melimpah di pasar minyak global mengingat BBM kotor ini telah dilarang di banyak negara karena mereka sudah beralih ke BBM yang lebih bersih yang memenuhi syarat bagi kendaraan berstandar Euro 4/IV, Euro 5/V dan Euro 6/VI.

Ketiadaan political will untuk melaksanakan kebijakan dan aksi nyata untuk meng-up-grade ke BBM berkualitas tinggi dengan harga yang lebih murah sebagaimana yang terjadi di Malaysia, Australia dan Amerika Serikat adalah menurut Puput melanggar konstitusi (UUD 1945 Pasal 33), selain pelanggaran pidana terkait UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen; pelanggaran terhadap UU No 32/2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo PP No 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang secara detil diatur pada PERMEN LHK No.P20/2017 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru.

Pelaksanaan mandat peraturan perundangan terkait baku mutu udara ambient mengharuskan prasyarat ketersediaan kualitas BBM dan adopsi teknologi kendaraan bermotor yang memadai (PP No.41/1999 Pasal 8).

Menurut Puput, adopsi teknologi kendaraan Euro 2/II dan Euro 4/IV Standard sebagaimana dijelaskan di atas, mewajibkan pemerintah dan perusahaan penyedia BBM untuk hanya menyediakan BBM dengan kualitas yang sesuai tuntutan teknologi kendaraan sesuai dengan amanat PP No.41/1999 Pasal 31, yaitu keharusan “ketersediaan BBM bebas timah hitam dan solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional dan yang sudah diatur secara nasional”.

Studi kasus yang dilakukan oleh KPBB dalam periode Oktober 2019 – April 2020 menemukan, kebijakan harga BBM yang tidak proporsional terhadap kualitas BBM yang disalurkan telah menyebabkan defisit (kerugian) konsumen BBM di Indonesia sebesar Rp127.696.637.250.303.

Menurut Puput, mengingat ketidakberanian menteri terkait dalam membedah struktur kebijakan harga secara transparan dan menetapkan spesifikasi BBM serta mengawal produksi/pemasaran BBM dengan kualitas yang sesuai dengan peraturan perundangan,  saatnya bagi Presiden Jokowi untuk memimpin langsung usaha ini yang juga memiliki dimensi dalam men-trigger ketahanan energi nasional, selain dimensi perlindungan lingkungan hidup (kualitas udara), meningkatkan daya saing  industri otomotif dan perlindungan konsumen sebagaimana telah dibahas di atas.

“Menghentikan praktik penilapan margin atas disparitas harga dan kualitas BBM adalah peluang meningkatkan kualitas BBM tanpa harus menaikkan harganya sehingga tidak membebani daya beli rakyat,” tutur Puput.

Redaksi Hijauku.com