Mengurangi jam kerja tak berarti mengurangi produktivitas. Laporan terbaru mengungkapkan, aksi ini juga bisa menjadi solusi perubahan iklim. Laporan yang berjudul “Reduced Work Hours as a Means of Slowing Climate Change” yang dirilis Senin (4/2) ini disusun oleh David Rosnick dari Center for Economic and Policy Research (CEPR), lembaga penelitian yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat .
Laporan ini mengaji model kerja di Eropa dimana masyarakatnya lebih banyak mengambil waktu libur untuk bersantai dan berwisata bersama keluarga dan teman-teman, yang ternyata bisa memerlambat efek perubahan iklim.
Tim peneliti menemukan, setiap derajat kenaikan suhu bumi bisa diperlambat 8-22% hingga 2100 dengan mengurangi jam kerja 0,5% per tahun. Dengan asumsi 40-60% pemanasan global sudah diramalkan akan terjadi (locked-in), sekitar seperempat hingga separuh peluang pemanasan global yang masih terbuka bisa dipangkas melalui pengurangan jam kerja.
“Saat produktivitas meningkat terutama di negara berpendapatan tinggi, ada dua manfaat sosial yang bisa diambil, pertama adalah mengurangi jam kerja atau meningkatkan produktivitas,” ujar David Rosnick, ahli ekonomi yang menyusun laporan ini.
“Selama bertahun-tahun penduduk Eropa telah memilih yang pertama yaitu mengurangi jam kerja – termasuk lebih sering berlibur, berwisata dan bersantai – sementara penduduk Amerika Serikat memilih untuk meningkatkan produksi.
“Hasilnya jelas, kalkulasi sederhana menunjukkan: saat produktivitas sama-sama meningkat, mengurangi jam kerja berarti lebih sedikit emisi karbon yang dihasilkan, sehingga membantu memerlambat dampak pemanasan global.”
Dan masyarakat Eropa lebih bisa menikmati hidup dengan lebih banyak berwisata, berlibur dan bersantai. Kualitas hidup mereka meningkat, lebih tinggi dibanding negara lain. Laporan ini menghitung dampak emisi dengan empat skenario perubahan iklim yang berbeda, menggunakan model penghitungan yang dikembangkan oleh University Corporation for Atmospheric Research.
Namun laporan ini juga mencatat, pengurangan jam kerja, akan sulit diterapkan di negara dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi atau tengah meningkat.
Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, dua per tiga (lebih dari 30%) pendapatan pada periode 1973–2007 masuk ke kantong 1% orang terkaya di sana.
Dalam tipe ekonomi seperti ini, menurut David Rosnick, para pekerja akan lebih memilih untuk menurunkan standar kualitas hidup mereka agar bisa bekerja lebih ringan. Artinya, pekerja akan lebih memilih untuk tidak berlibur agar tidak dibebani pekerjaan yang menumpuk. Dan hanya mereka yang sangat kaya yang bisa menikmati liburan, bersantai, lebih lama.
Namun nuansa optimistis tetap ada dalam laporan ini. David menyatakan, pemerataan kesejahteraan akan lebih tinggi pada masa datang.
“Meningkatnya produktivitas tidak berarti harus meningkatnya emisi karbon dan memerparah perubahan iklim,” ujar Mark Weisbrot, Direktur CEPR. “Peningkatan produktivitas seharusnya memberikan kesempatan kepada pekerja dan keluarganya untuk menghabiskan waktu bersama teman dan komunitas mereka. Hal itu akan berdampak positif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekaligus bisa menyelamatkan bumi.”
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment