Petani kecil Indonesia memerlukan bantuan untuk masuk ke pasar modern sekaligus menghadapi pasar bebas.

Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Small-scale farmers’ decisions in globalised markets: Changes in India, Indonesia and China” yang diterbitkan Kamis (29/11).

Laporan yang disusun oleh International Institute for Environment and Development (IIED), HIVOS dan Mainumby Ñakurutú ini menyatakan, peran dan potensi petani kecil di Asia dalam memasok pangan sangat besar.

Sebanyak 56% hasil pertanian dunia berasal dari Asia. Kontributor utama dari hasil pertanian ini adalah para petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 2 hektar.

Asia adalah rumah bagi 87% petani kecil dunia (435 juta petani). Di China, jumlah petani dengan lahan di bawah 2 hektar mencapai 193 juta. Di India jumlahnya mencapai 93 juta. Sebanyak 10 juta di Vietnam, 17 juta di Bangladesh dan 17 juta di Indonesia.

Namun jumlah petani kecil di Asia tidak mencerminkan posisi mereka di pasar global.

Khusus di Indonesia, tiga penelitian yang dilakukan oleh Ronnie Natawidjaja, dari Learning Network menemukan bahwa posisi petani kecil di Indonesia masih terpinggirkan.

Petani kecil kesulitan untuk masuk dan memasok produk segar ke pasar modern. Produk segar – seperti sayuran dan buah-buahan – menyumbang 15–40% dari seluruh produk yang dijual di jaringan supermarket di Indonesia.

Pada saat yang sama, jaringan pasar modern, juga kesulitan mendapatkan pasokan sayuran dan buah-buahan segar dari produsen-produsen kecil di Tanah Air.

Sebanyak 40–45% produk segar di Tanah Air adalah produk impor dan mayoritas sisanya (55-60%) dipasok oleh petani dan pedagang besar. Hanya sebagian kecil yang dipasok oleh petani kecil dan pasar.

Kegagalan ini akhirnya menciptakan mekanisme informal karena keputusan jaringan supermarket untuk menerima produk segar dari petani, menurut Learning Network, sangat tergantung pada faktor kualitas, harga dan kelangsungan pasokan.

Ketiga faktor ini akhirnya membawa para petani kecil berhadapan dengan para pemasok besar baik pemasok lokal maupun asing. Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah manajer perusahaan ritel besar, Learning Network menemukan, para petani kecil biasanya tidak familier dan tidak bisa bersaing di ketiga faktor ini.

Akibatnya, posisi petani kecil semakin rentan ketika harus masuk ke pasar bebas. Jika tidak ada upaya untuk membantu petani meningkatkan daya saing produk mereka, terutama produk segar lokal, para peritel dan pasar modern akan dengan mudah mendatangkan kebutuhan mereka dari negara-negara yang lebih maju – seperti Thailand dan China – dibanding harus membangun jaringan pasokan domestik.

Di Pulau Jawa, yang menjadi pusat holtikultura nasional, petani kecil sangat memerlukan bantuan intermediasi ketika berhadapan dengan peritel-peritel besar. Pemerintah berpeluang untuk menjembatani petani kecil masuk ke pasar modern – yang selama ini belum banyak dilakukan.

Hal ini terbukti dari data jumlah petani yang memiliki hubungan dengan jaringan ritel modern, yang menurut Learning Network, masih di bawah 15%. Semoga semua data di atas semakin menguatkan tekad untuk lebih membantu petani meningkatkan daya saing mereka di pasar bebas.

Redaksi Hijauku.com