Belajar dari filosofi ketupat, mari kita mulai babak baru kesederhanaan dan kemandirian bangsa.

Di hari raya, umat muslim diharamkan untuk berpuasa. Hari raya di Tanah Air tidak lengkap tanpa kehadiran hidangan lebaran. Ketupat adalah makanan tradisional yang biasa kita temui saat hari raya di seluruh wilayah Asia Tenggara.

Berbahan dasar beras, dibungkus oleh jalinan daun kelapa, ketupat sesungguhnya adalah cerminan kesederhanaan dan kemandirian bangsa.

Ketupat bisa dinikmati dengan tahu, dengan opor, dengan coto, sayur mayur, lotek dan gado-gado. Semua berasal dari bahan-bahan makanan lokal, sayur-sayuran tradisional.

Dalam gado-gado, ketupat berpadu dengan tempe, kecambah, kangkung dan kacang-kacangan. Dalam opor, ketupat berpadu dengan santan kelapa dan rempah khas Asia Tenggara. Semua bahan baku ada di ladang dan halaman kita.

Namun perubahan iklim dan pemanasan global telah menggerogoti keamanan pangan, memicu bencana kemanusiaan, tak terkecuali di Indonesia.

Penyebabnya adalah bertambahnya emisi gas rumah kaca yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Penyebabnya adalah eksploitasi sumber daya alam, penggundulan hutan, gaya hidup, pola industri dan pertambangan yang mencemari lingkungan.

Semua ini harus berubah. Bangsa ini harus bisa kembali mandiri dengan mengelola sumber daya alam secara bijaksana. Negeri ini harus mampu kembali berswasembada pangan. Bangsa ini juga harus bisa beralih ke energi yang lebih bersih, baru dan terbarukan.

Seiring raya, mari kita mulai babak baru kesederhanaan dan kemandirian bangsa. Karena, semua itulah yang diajarkan kepada kita selama berpuasa.

Kita diajarkan untuk menahan diri, untuk tidak menuruti hawa nafsu. Menahan diri dari sifat serakah, tamak dalam mengekspolitasi sumber daya alam. Mengurangi konsumsi dan sikap hidup yang berlebihan. Menuju efisiensi dan gaya hidup yang berkelanjutan.

Seluruh tim Hijauku.com – Hijauku Media Lestari mengucapkan:

“Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1433 Hijriah, Mohon Maaf Lahir Batin.”

Redaksi Hijauku.com