Revolusi Hijau memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengelola sektor pertanian dengan lebih ramah lingkungan.

Indonesia pertama kali menerapkan Revolusi Hijau pada 1968, saat Presiden Suharto meluncurkan program BIMAS atau Bimbingan Masyarakat untuk menggenjot produksi pertanian di Tanah Air.

Situasi ekonomi dan politik saat itu sangat berperan mempengaruhi terciptanya keputusan ini. Tren Revolusi Hijau regional ditambah dukungan negara barat dalam bentuk kucuran dana dan bantuan teknis, membantu program nasional ini bergulir.

Setahun setelah program BIMAS diluncurkan, Departemen Pertanian “memandu” petani menerapkan program ini untuk menggenjot produksi beras di Tanah Air. Upaya tersebut melibatkan sejumlah lembaga penelitian termasuk International Rice Research Institute (IRRI).

Teknik-teknik baru Revolusi Hijau pun secara resmi digunakan. Petani “dianjurkan” menanam beras varietas baru hasil pengembangan IRRI. Para petani juga menerima bantuan dana dari pemerintah (yang berasal dari pinjaman donor internasional) guna menerapkan sistem yang revolusioner ini.

Masih ingat dengan IR 36 dan IR 64? Kedua jenis padi hasil pengembangan IRRI inilah yang ditanam oleh petani. Padi ini diklaim sebagai padi varietas unggul tahan wereng. Pemerintah juga mendorong petani menggunakan pupuk kimia seperti Urea, TSP, NPK dan KCL.

Untuk mengontrol hama, petani diperkenalkan dengan pestisida dan dianjurkan menggunakan herbisida untuk mengontrol gulma. Mereka juga diperkenalkan dengan peralatan pertanian mekanis menggantikan alat pertanian tradisional seperti ani-ani.

Memasuki era 1980-an, program BIMAS semakin digalakkan melalui program INSUS dan SUPRA INSUS. Melalui program INSUS, pemerintah menargetkan 2-3 kali masa panen di hamparan atau lahan pertanian padi yang sudah mendapatkan fasilitas irigasi. Sementara dalam program SUPRA INSUS, petani diharuskan menggunakan hormon pertumbuhan khusus untuk menggenjot hasil produksi padi.

Hasilnya menakjubkan. Setelah menerapkan kedua program tersebut, produktifitas lahan pertanian Indonesia, khususnya lahan padi, melonjak hingga mencapai rekor 7000 kg per hektar. Dan pada 1984, pemerintah menyatakan, Indonesia berhasil meraih status swasembada pangan.

Sayang kesuksesan itu tak berlangsung lama. Pada tahun yang sama, bencana pertanian terjadi. Hama wereng (brown plant hopper) merajalela. Jutaan hektar lahan padi hancur diserang oleh hama ini – walau petani telah menanam padi varietas unggul tahan wereng hasil pengembangan IRRI.

Para petani di sentra-sentra penghasil padi, terutama di Pulau Jawa, mengalami kerugian besar. Mereka menderita gagal panen tiga kali berturut-turut yang memicu kelaparan dan kemiskinan di wilayah ini. Setahun kemudian, Indonesia kembali menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. (Bersambung)

Redaksi Hijauku.com