Apa itu keadilan iklim (climate justice)? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menelusuri sejarah ekonomi dunia dalam 250 tahun terakhir.
Negara-negara yang saat ini masuk dalam kelompok negara maju dengan berbagai cara telah mengeruk sumber daya alam dan memicu kerusakan lingkungan.
Proses industri dan aktifitas ekonomi negara maju telah dan terus mengeluarkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat besar. Peningkatan jumlah gas rumah kaca di udara ini terbukti secara ilmiah menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporan terbarunya menyebutkan, emisi gas rumah kaca terus naik dan telah mencapai rekor tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Emisi gas rumah kaca mencegah radiasi keluar dari atmosfer bumi sehingga bumi makin panas. WMO menyebutnya sebagai peningkatan “efek radiatif” (radiative forcing).
Saat bumi semakin panas, anomali cuaca dan perubahan iklim terjadi, memicu bencana alam seperti topan, banjir dan kekeringan yang berkepanjangan, menyebabkan gagal panen, kelaparan, wabah penyakit bahkan ketidakstabilan politik.
Praktik eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan oleh negara-negara maju selama beratus tahun terakhir inilah yang memunculkan konsep keadilan iklim.
Negara maju memiliki tanggung jawab sejarah (historical responsibility) terhadap bencana akibat pemanasan global dan perubahan iklim di negara-negara berkembang dan miskin. Negara-negara berkembang dan miskin, selain menjadi korban peningkatan emisi, juga telah menjadi korban kolonialisme – dalam berbagai bentuk – dari sejumlah negara maju.
Ketidakadilan ini harus diluruskan. Hutang sosial dan ekologis negara maju kepada negara yang menjadi korban perubahan iklim harus dibayar.
Hal inilah yang menjadi landasan pemikiran konferensi perubahan iklim di Durban, Afrika Selatan.
Sejumlah negara maju saat ini bahkan berusaha “melarikan diri” – atau paling tidak mengurangi – tanggung jawab mereka atas kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Mereka enggan menandatangani dan meratifikasi perjanjian pengurangan emisi dan pencegahan suhu bumi yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum.
Mereka juga berupaya mengurangi dana bantuan perubahan iklim (green climate fund) yang mereka janjikan sendiri – berjumlah US$100 miliar per tahun mulai 2020 – dengan mempertanyakan efektifitasnya.
Namun proses perundingan masih terus berlangsung. Indonesia dan negara lain terus menuntut perpanjangan komitmen dari Protokol Kyoto. Menurut Rachmat Witoelar, yang memimpin delegasi Indonesia di Durban, tanpa adanya perpanjangan komitmen dari Protokol Kyoto, sistem yang dibangun di UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) akan runtuh.
Negara maju seperti AS dan Kanada telah menolak dan gagal memenuhi target pengurangan emisi berdasarkan Protokol Kyoto ini. AS – yang seharusnya menjadi panutan dalam upaya pengurangan emisi – bahkan belum maratifikasi Protokol Kyoto. Sehingga wajar bila Jepang menuntut komitmen baru dimana semua negara bisa turut serta dalam upaya mengurangi emisi dan menekan suhu bumi.
Masa berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 semakin dekat. Dunia memerlukan perpanjangan komitmen atau komitmen baru untuk mengurangi emisi dan menekan kenaikan suhu bumi yang tegas dan mengikat.
Negara-negara Afrika kemarin telah bersumpah tidak akan membiarkan tanah Afrika menjadi kuburan bagi Protokol Kyoto. Semoga niatan mereka menjadi kenyataan. Semua demi keadilan iklim. Demi bumi.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment