Transformasi radikal cara pertanian berinteraksi dengan alam bisa meningkatkan produksi pertanian sekaligus melestarikan lingkungan – dua target yang seringkali sulit untuk dicapai bersama.

Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan Senin lalu (22/8) dalam acara World Water Week di Stockholm. Namun para peneliti dalam laporan ini juga memperingatkan, dunia perlu bertindak cepat jika ingin menyelamatkan wilayah-wilayah penghasil pangan dunia yang – akibat terbatasnya sumber daya alam – bisa menghancurkan pasokan air dan merusak sistem pertanian dunia.

Analisis baru hasil kerja sama International Water Management Institute (IWMI) dan United Nations Environment Programme (UNEP) ini menggarisbawahi perlunya dipikirkan kembali strategi intensifikasi pertanian yang ada saat ini. Saat ini, di berbagai wilayah di dunia, 70-90% produksi pangan telah dipisahkan dari sistem pengelolaan air.

Laporan yang berjudul “An Ecosystem Services Approach to Water and Food Security” menyebutkan, di beberapa wilayah penghasil pangan termasuk di dataran China bagian utara, dataran Punjab di India dan wilayah bagian utara Amerika Serikat, sumber air semakin terbatas. Pada saat yang sama 1,6 miliar orang kini hidup dalam kondisi kekeringan.

Laporan ini juga memperingatkan, jumlah penduduk yang terkena dampak kekeringan akan meningkat dalam waktu dekat menjadi 2 miliar. Situasi terkini di wilayah Tanduk Afrika adalah bukti nyata adanya ancaman kekurangan pangan di sejumlah wilayah.

“Pertanian menjadi penyebab sekaligus korban dari kerusakan ekosistem,” ujar Eline Boelee dari IWMI, yang memimpin penelitian ini. “Dan belum jelas apakah kita bisa meningkatkan produksi pangan dengan praktik-praktik yang ada sekarang. Intensifikasi pertanian yang berkelanjutan menjadi prioritas bagi keamanan pangan pada masa datang, namun kita perlu mengambil pendekatan yang lebih luas dan holistik.”

Sementara itu laporan lain dari IWMI berjudul “Wetlands, Agriculture and Poverty Reduction” memberikan peringatan bahwa upaya melindungi lahan basah (wetland) dengan melarang penggunaan lahan basah ini untuk pertanian hanya akan mengabaikan potensi terciptanya “pertanian lahan basah” yang bisa meningkatkan produksi pangan dan mengurangi kemiskinan.

“Larangan bercocok tanam (di lahan basah) tidak selalu bisa mencegah kerusakan ekosistem namun malah bisa membuat kerusakan ekosistem yang lebih parah,” ujar Matthew McCartney dari IWMI, yang ikut menyusun laporan tersebut.

“Contoh, lahan rumput basah di Afrika sub-Sahara yang dikenal dengan nama ‘dambo’ seringkali menjadi lahan pertanian penting bagi masyarakat miskin. Pelarangan bertani di wilayah ini malah memperparah kerusakan lingkungan bukan menguranginya.

“Pelarangan itu walau bisa mencegah penggundulan hutan namun mendorong masyarakat berpindah dari menjadi petani ke pencari rumput (grazing) di lahan-lahan basah sehingga berdampak (negatif) sangat besar. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan yaitu praktik pertanian yang tepat yang bisa menyokong produksi pangan dan pada saat yang sama melindungi ekosistem.”

Dua laporan itu berupaya mencari cara baru untuk menggapai keamanan pangan sekaligus melestarikan lingkungan. Para peneliti berupaya mengubah praktik dan kebijakan secara radikal sehingga tercipta konsep pertanian baru dalam skala yang lebih luas yaitu “agroecosystems”. “Agroecosystems” adalah konsep pertanian yang bisa melindungi keanekaragaman hayati sekaligus mampu menjamin ketersediaan air dan udara bersih.

“Kami melihat tren kerja sama baru antara kelompok pelestari lingkungan tradisional dan mereka yang peduli terhadap pertanian ,” ujar David Molden, Deputi Direktur Jenderal untuk Bidang Riset di IWMI. UNEP adalah perwakilan dari PBB untuk masalah lingkungan sementara IWMI menjadi bagian dari konsorsium peneliti lingkungan terbesar di dunia, Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR).

“Contohnya ,” lanjut Molden, “UNEP sudah menempatkan keamanan pangan sebagai salah satu masalah penting baru. Dan IWMI beserta mitranya di CGIAR tengah mengembangkan program penelitian bernilai jutaan dollar yang akan memasukkan isu air dalam analisis ekosistem guna membantu menangani masalah kekeringan dan kerusakan lingkungan. IWMI baru-baru ini juga menjadi pembicara utama dalam Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah dengan topik hubungan antara lahan basah dan pertanian.”

“Kerjasama politik, riset dan komunitas kini bermunculan. Semuanya sepakat bahwa kita tidak bisa hanya berfokus pada isu keamanan pangan tanpa memerhatikan pelestarian lingkungan hidup ,” tambahnya.

UNEP, IWMI dan beberapa pihak lain telah melihat peluang untuk menanam pohon di perkebunan kering guna meningkatkan jumlah produksi makanan per hektar lahan sambil terus memperbaiki ekosistem di sekitarnya. Mereka mencatat dengan memadukan pohon dan tanaman pagar (hedgerows), para petani bisa mencegah kerusakan dan erosi tanah dan bisa menyimpan air lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman mereka.

Contoh pemikiran innovatif lain adalah keberhasilan manajemen air dan lahan di sistem yang mengandalkan air hujan di sub-sahara Afrika. Inovasi ini terbukti mampu membalik siklus kerusakan lahan pada saat yang sama meningkatkan hasil panen hingga dua atau tiga kali lipat.

Secara keseluruhan, para peneliti dalam laporan ini menyatakan, tiba saatnya bagi para pengambil keputusan di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk mengadopsi pendekatan “agroecosystem” ini pada produksi pangan.

Perubahan ini termasuk upaya memberikan lebih banyak insentif ke petani guna mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan ini melalui pola ‘pembayaran untuk layanan lingkungan’ (payments for environmental services, PES).

Satu contoh keberhasilan adalah “Challenge Program on Water and Food” (CPWF) dari CGIAR di wilayah bantaran sungai di Peru, Ecuador dan Colombia. Masyarakat hulu sungai di ketiga negara itu menggunakan sungai untuk pengairan, ekoturisme dan sebagai penghubung spiritual dengan ekosistem. Sementara itu perusahan butuh arus yang stabil untuk memroduksi listrik bagi masyarakat yang terus tumbuh di hilir. Dan pertanian skala besar dan agro-industri juga terus memerlukan pasokan air.

“Lahan pertanian semakin banyak yang perlu ‘dihijaukan secara ekonomi’,” ujar Alain Vidal dari CPWF. “Kita harus menghargai praktik pertanian yang melindungi sumber air kita seperti kita menghargai manajemen hutan yang juga membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Semua itu karena sumber-sumber daya alam ini adalah penyokong utama mereka yang hidup berkekurangan.”

Dalam laporan “An Ecosystem Services Approach to Water and Food Security”, para ahli dari UNEP, IWMI and 19 organisasi lain sadar bahwa kendala terbesar untuk mengadopsi pendekatan produksi pangan yang lebih berkelanjutan ini adalah koordinasi.

Perlu kerja sama dan koordinasi yang lebih padu antar pejabat dan organisasi yang mengurusi pertanian, isu-isu lingkungan, pengelolaan air, kehutanan, perikanan dan pengelolaan alam liar – mereka yang selama ini telah terbiasa bekerja sendiri.

“Masyarakat modern butuh pendekatan dan cara berinteraksi baru terkait hubungan air dan ekosistem,” ujar David Molden. “Mengelola sumber daya air untuk pangan dan ekosistem akan membawa manfaat yang besar, namun hal itu harus dilakukan segera. Kita tengah menuju kehancuran jika tidak mengubah praktik yang kita jalankan selama ini.”

Redaksi Hijauku.com