Transformasi menuju ekonomi rendah karbon dengan bantuan teknologi hijau (cleantech) bisa memicu revolusi industri yang tak kalah dahsyatnya dibanding revolusi industri yang pertama.
Transformasi itu kini terus berlangsung dan perusahaan global semakin menyadari dampak perkembangan teknologi ramah alam terhadap industri mereka dan mengembangkan rencana strategis untuk mengadopsi perubahan itu.
Survei global Ernst & Young pada 2010 atas perusahaan dengan pemasukan hingga US$1 miliar menemukan, inisiatif penerapan teknologi ramah lingkungan itu kini sudah menjadi kebijakan organisasi di 89% perusahaan yang disurvei.
Sebanyak 33% perusahan mengalokasikan 3% atau lebih dari pemasukan total mereka ke teknologi ramah alam dan sebanyak 75% menargetkan investasi di teknologi hijau ini akan naik dalam lima tahun mendatang.
Pemerintah juga melirik teknologi hijau ini sebagai sarana strategis untuk menciptakan lapangan kerja, memacu inovasi dan mengembangkan industri lokal.
Menurut laporan Bloomberg New Energy Finance, investasi di teknologi hijau naik 30% ke US$243 miliar pada 2010 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini naik dua kali lipat dibanding nilai investasi pada 2006 dan hampir lima kali lipat dibanding angka tahun 2004.
Namun semua pertumbuhan itu belum cukup. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana menuju ekonomi rendah karbon masih sangat besar.
Permintaan energi primer diperkirakan meningkat 36% di seluruh dunia antara 2019 dan 2035, dengan permintaan energi baru terbesar datang dari negara berkembang.
Menurut laporan World Energy Outlook 2010 yang disusun oleh Agensi Energi Internasional (IEA), hingga 2035, kebutuhan energi di China saja akan meningkat hingga 75%.
Pada beberapa tahun mendatang, isu naiknya permintaan, harga energi, keamanan energi serta kelangkaan sumber daya akan memacu pemerintah dan perusahaan bekerja lebih keras lagi mendiversifikasi portofolio energi mereka dan melanjutkan investasi pada pengembangan, penerapan dan pengadopsian teknologi hijau.
Langkah menuju ekonomi rendah karbon, ekonomi yang menggunakan sumber daya secara efisien tak lagi bisa dihindari.
Tren ini juga bisa menjadi peluang – tidak hanya bagi pemerintah namun juga bagi inovator, investor dan perusahaan swasta – untuk menjadi yang terdepan dan meraih posisi kompetitif yang strategis.
Ke depannya kita akan melihat beberapa potensi perubahan penting.
Walau secara umum, energi terbarukan masih mahal sehingga membatasi potensi pemakaiannya, namun saat proyek tenaga angin, matahari dan energi terbarukan lain tumbuh, harga energi terbarukan akan terus turun.
IEA memprediksi produksi energi terbarukan akan naik tiga kali lipat antara 2010 dan 2035. Bahan bakar fossil seperti minyak dan batu bara akan kehilangan pangsa pasar seiring masuknya gas alam dan energi nuklir guna membantu diversifikasi energi.
Saat ini pembangunan reaktor nuklir di seluruh dunia terus meningkat. Gas alam, bahan bakar fosil yang lebih bersih, akan semakin penting perannya sebagai jembatan menuju ekonomi berbasis energi terbarukan.
Ditambah lagi semakin banyak negara yang secara agresif mengadopsi kebijakan energi hijau dengan menetapkan standar emisi dan memberikan insentif bagi investasi di bidang ini.
China, Jerman, India dan Brazil menjadi yang terdepan dalam pemanfaatan energi surya, angin dan biofuel. Dan Amerika Serikat tetap menjadi yang terdepan dalam inovasi teknologi hijau karena budaya kewirausahaan mereka dan kemudahan pendanaan dari venture capital.
Para pembuat kebijakan juga berharap, invetasi di energi hijau bisa menciptakan manfaat lain seperti menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi berbasis inovasi.
Investasi swasta biasanya akan masuk ke negara yang memiliki kebijakan energi jangka panjang yang jelas dan komprehensif yaitu negara yang memberikan insentif penggunaan energi terbarukan, mempromosikan efisiensi dan pengurangan emisi karbon.
Dan semakin banyak perusahaan – karena mencium peluang komersial – yang mengadopsi teknologi hijau ini dalam strategi pertumbuhan mereka. Bahkan banyak yang kemudian “menghijaukan” produk mereka guna merespon tuntutan konsumen yang semakin besar.
Sementara perusahaan lain mencoba peruntungan di wilayah pertumbuhan baru di luar lini bisnis tradisional mereka. Hal itu dilakukan dengan harapan mereka akan meraih keuntungan sebagai yang pertama mengadopsi teknologi hijau saat tren mulai bergulir. Contoh,raksasa Google dan Cisco telah mengadopsi sistem manajemen energi di perusahaan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, aktifitas korporasi di bidang teknologi hijau meningkat secara signifikan melalui investasi langsung, kerja sama dan akuisisi perusahaan-perusahaan teknologi hijau baru.
Bahan baku menjadi aset yang strategis, terutama saat sumber daya semakin langka. Untuk mengamankan pasokan, beberapa negara berinvestasi ke luar, seperti China yang kini banyak menanamkan investasinya di Afrika.
Sementara itu perusahaan juga berusaha mengatur kembali jaringan pasokan mereka untuk mengatasi efek kelangkaan bahan baku, tingginya harga komoditas dan naik-turunnya harga.
Bahkan guna mengamankan jaringan pasokan, beberapa perusahaan telah mengakuisisi perusahaan pemasok bahan baku. Produsen baja, misalnya, baru-baru ini mereka mengakuisisi sejumlah tambang bijih besi dan batu bara di berbagai negara.
Tren lain, saat sumber daya semakin langka, termasuk sumber energi dan air, perusahaan semakin dituntut oleh stakeholders mereka guna membuktikan bahwa bisnis mereka ramah alam.
Semakin banyak perusahaan yang kini mengumumkan dampak dari bisnis mereka terhadap masyarakat dan lingkungan. Walau saat ini laporan itu masih bersifat suka rela.
Lebih dari 3.000 perusahaan di seluruh dunia sudah mengeluarkan laporan dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dengan menggunakan format dari AA1000 AccountAbility Principles Standard dan Global Reporting Initiative Reporting Framework.
Tindakan suka rela ini dalam waktu yang tak lama akan menjadi kewajiban.
Catatan Redaksi:
Laporan ini diadaptasi dari laporan Erns & Young mengenai enam tren global yang akan mengubah dunia bisnis.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment