Oleh: Jalal

Overshoot: How the World Surrendered to Climate Breakdown adalah karya yang tanpa kompromi menganalisis kegagalan upaya mitigasi perubahan iklim dengan mengungkap akar penyebabnya: sistem Kapitalisme global. Buku ini bukan sekadar paparan data iklim yang makin mengkhawatirkan, melainkan juga kritik tajam terhadap ideologi, politik, dan ekonomi yang melanggengkan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menyebabkan krisis iklim.  Andreas Malm dan Wim Carton, keduanya akademisi dari Swedia, menggali sejarah, sains, dan dinamika kekuasaan yang membentuk respons dunia terhadap krisis iklim, dan mereka tidak ragu untuk mengungkap kepalsuan dan kontradiksi di balik retorika hijau industri bahan bakar fosil.  Buku ini sedemikian komprehensif, runut, dan berani, sehingga di akhir 2024 lalu saya menyatakannya sebagai salah satu buku keberlanjutan terbaik yang terbit di tahun itu.  Dan, lantaran dalam beberapa bulan terakhir semakin banyak perusahaan migas global yang makin terbuka menunjukkan pengabaian pada tujuan pengendalian krisis iklim, saya merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk menuliskan resensinya.

Tiga tahun pertama dekade 2020-an jelas menunjukkan ketidakmampuan dunia dalam mengendalikan emisi gas rumah kaca. Pandemi COVID-19 pada 2020 menyebabkan penurunan emisi karbon secara signifikan akibat lockdown global, tetapi ini bukanlah hasil dari kebijakan iklim. Setelah pandemi mereda, emisi melonjak kembali, bahkan melebihi tingkat sebelumnya, menunjukkan kembalinya aktivitas ekonomi berbasis bahan bakar fosil. Alih-alih memanfaatkan momentum untuk transisi energi, banyak negara justru memercepat eksploitasi sumberdaya fosil. Laporan-laporan dari IPCC dan berbagai konferensi iklim (COP) memeringatkan konsekuensi krisis iklim yang semakin memburuk, tetapi konsumsi energi fosil malah meningkat.  Bab pertama buku ini menyoroti kesenjangan besar antara retorika kebijakan iklim dan tindakan nyata, serta bagaimana kepentingan ekonomi dan politik terus mendikte arah transisi energi global. Peristiwa iklim ekstrem, seperti banjir besar di Jakarta, Bangladesh, dan Pakistan, serta kebakaran hutan di Pantanal, semakin memertegas dampak perubahan iklim yang nyata.

Buku ini lantas mengeksplorasi pertanyaan kritis: kapan batas waktu untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim? Malm dan Carton mengkaji berbagai skenario dan perdebatan tentang apakah dunia masih bisa membatasi pemanasan di bawah 1,5°C atau bahkan 2°C. Banyak negara dan institusi diam-diam menerima kemungkinan gagal mencapai target ini dan malah mengandalkan solusi teknologi di masa depan, seperti geoengineering dan penyerapan karbon, yang belum terbukti efektif. Wacana tentang “terlambat atau tidak” sering digunakan untuk menghindari tindakan radikal yang diperlukan saat ini. Konsep overshoot juga dibahas, yaitu situasi di mana dunia melampaui batas aman 1,5°C dan kemudian mencoba kembali ke batas tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa beberapa titik kritis, seperti hancurnya terumbu karang dan mencairnya lapisan es, akan terlewati jika suhu global melebihi 1,5°C. Dampak perubahan iklim juga tidak merata, dengan kelompok paling rentan merasakan dampak terburuk.

Kedua penulis kemudian membahas kemunculan ideologi overshoot, yaitu gagasan bahwa melampaui batas aman pemanasan global adalah hal yang tak terhindarkan, namun akan dapat diperbaiki di masa depan. Konsep ini berasal dari model komputer seperti Integrated Assessment Models (IAMs), yang sering memasukkan skenario overshoot sebelum stabilisasi iklim terjadi. Malm dan Carton menegaskan bahwa model ini sesungguhnya menciptakan rasa aman palsu, di mana masyarakat percaya bahwa teknologi masa depan akan mampu membalikkan dampak overshoot. Padahal, efek overshoot sangat bisa bersifat permanen dan menyebabkan bencana ekologis yang tidak dapat dipulihkan. Ideologi overshoot juga mengabaikan keadilan iklim, memberi kesempatan pada negara-negara kaya untuk menunda aksi mitigasi. Negosiasi iklim global, seperti COP15 di Kopenhagen, menunjukkan bagaimana negara-negara maju menghindari tanggung jawab mengurangi emisi. Sementara, model Contraction and Convergence yang diusulkan sebagai solusi adil untuk pembagian beban pengurangan emisi, justru ditolak.

Isu berikut yang dikupas adalah risiko asset stranding, yaitu kondisi di mana aset-aset bahan bakar fosil kehilangan nilai karena pergeseran kebijakan dan regulasi iklim. Jika dunia serius mengadopsi target emisi nol bersih, banyak aset fosil akan menjadi tidak berharga. Namun, perusahaan energi terus mempertahankan profitabilitas dengan mengeksploitasi sumberdaya baru dan menghambat transisi energi. Mereka menggunakan strategi politik dan ekonomi untuk menunda kebijakan yang membatasi ekstraksi bahan bakar fosil. Lembaga keuangan juga berperan dalam memertahankan investasi di sektor fosil, meskipun ada peringatan tentang risiko keuangan jika transisi energi tidak dilakukan dengan cepat. Konsep asset stranding dipandang sebagai ancaman bagi industri fosil, yang berusaha melindungi investasi mereka. Karena itu, perlawanan terhadapnya muncul dari berbagai pihak, termasuk perusahaan dan media massa, yang menganggap asset stranding sebagai hambatan bagi pertumbuhan modal fosil dan ekonomi secara kseluruhan.

Malm dan Carton menggunakan konsep spectre atau hantu untuk menggambarkan pengaruh besar industri bahan bakar fosil dalam kebijakan ekonomi dan politik. Meskipun energi terbarukan semakin kompetitif, perusahaan minyak dan gas terus mencari cara untuk memertahankan relevansinya, termasuk dengan mengembangkan teknologi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS). Namun, teknologi ini malahan digunakan untuk memerpanjang umur produksi bahan bakar fosil, bukan untuk mengurangi emisi.  Karenanya, mereka mengusulkan kebijakan tegas yang tidak hanya mengurangi ketergantungan pada minyak dan gas, tetapi juga mengubah struktur ekonomi yang menopang industri ini. Untuk menghilangkan hantu bahan bakar fosil memang diperlukan perubahan sistemik yang radikal.

Selanjutnya, buku ini mengeksplorasi bagaimana sistem Kapitalisme global membentuk respons terhadap krisis iklim. Penulis mengkritik bagaimana nilai ekonomi sering diutamakan dibandingkan keberlanjutan lingkungan, menyebabkan ketidakseimbangan dalam kebijakan mitigasi. Kebijakan iklim sering dikendalikan oleh kepentingan perusahaan dan pasar keuangan, bukan kepentingan publik. Sistem keuangan global menciptakan insentif yang mendorong eksploitasi bahan bakar fosil, sekaligus menghambat investasi dalam energi terbarukan. Selama sistem nilai ekonomi tetap berorientasi pada profit jangka pendek, kata Malm dan Carton, transisi menuju ekonomi rendah karbon akan sulit terjadi. Karenanya, mereka menyatakan perlunya perubahan paradigma dalam sistem ekonomi global untuk mencapai keberlanjutan yang sejati.

Malm dan Carton kemudian mengajukan sepuluh tesis tentang bagaimana dunia telah memasuki fase overshoot.  Mereka berpendapat bahwa kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakmampuan politik, tetapi juga oleh dinamika Kapitalisme yang terus mendorong konsumsi bahan bakar fosil. Kebijakan iklim yang makin sering berfokus pada adaptasi ketimbang mitigasi, mencerminkan keputusasaan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Penulis mengajak pembaca memertimbangkan pendekatan yang lebih radikal, termasuk perubahan struktural dalam ekonomi global. Dalam rekomendasi itu, mereka juga mengingatkan bahwa energi terbarukan akan secara otomatis mengakhiri krisis iklim sesungguhnya belum tentu benar, jika energi terbarukan juga tunduk pada logika Kapitalisme yang mengejar pertumbuhan dan keuntungan tanpa batas.

Jelas, umat manusia perlu meningkatkan rasa urgensi dalam menghadapi krisis iklim. Dalam hal ini, penulis berargumen bahwa banyak pemerintah dan korporasi telah menormalkan dampak perubahan iklim sebagai sesuatu yang bisa ditangani dengan solusi bertahap, padahal bencana iklim semakin kerap dan parah. Mereka mengusulkan strategi untuk menciptakan ‘kepanikan’ yang dapat menggerakkan perubahan sistemik, termasuk tuntutan transisi yang melampaui batasan Kapitalisme. Strategi ini terinspirasi oleh gagasan Leon Trotsky tentang program transisi, yaitu serangkaian tuntutan yang dirancang untuk mendorong perubahan revolusioner. Terkait transisi a la Trotsky itu, mereka menekankan pentingnya keadilan iklim, termasuk ganti rugi dan tindakan perbaikan untuk negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim.

Di penghujung buku, Malm dan Carton menggambarkan berbagai peristiwa iklim ekstrem dalam satu tahun terakhir sebelum buku diterbitkan dan menunjukkan bahwa respons global memang masih jauh dari memadai. Mereka merangkum bencana-bencana besar, seperti banjir dahsyat dan gelombang panas, sambil mengkritik kebijakan yang melanggengkan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun laporan ilmiah semakin menegaskan perlunya aksi segera, kebijakan yang diterapkan justru sering kali memerburuk situasi. Bab ini berfungsi sebagai peringatan bahwa dunia masih terus bergerak menuju titik tanpa jalan kembali, dan menyerukan tindakan lebih agresif untuk menghadapi krisis iklim.

Buat saya, Overshoot jelas adalah buku yang sangat kuat dalam menantang status quo kebijakan iklim dengan argumen yang tajam dan berbasis bukti. Analisis historis dan politik ekonominya mendalam, dan berhasil menghubungkan berbagai kebijakan iklim dengan dinamika Kapitalisme global. Malm dan Carton dengan gamblang menunjukkan bagaimana dunia telah dengan sadar menyerah pada kehancuran iklim dengan mengadopsi solusi-solusi teknokratis yang sebetulnya tidak efektif. Mereka menunjukkan dengan jelas bagaimana skenario overshoot digunakan sebagai alat politik untuk memertahankan dominasi ekonomi negara-negara industri, sementara negara-negara berkembang harus menanggung beban terbesar akibat perubahan iklim.  Oleh karena itu, mereka menawarkan perspektif yang berani dan tegas tentang perlunya perubahan yang lebih radikal dalam menghadapi krisis ini.

Namun, saya khawatir kecenderungan retorika yang sangat konfrontatif mungkin akan membuat pembaca dari kalangan pembuat kebijakan atau industri sulit menerima pesan mereka. Meskipun pendekatan ini dapat membangkitkan kesadaran dan urgensi di kalangan masyarakat sipil, jelas ada risiko bahwa mereka yang memiliki kekuatan pengambilan keputusan langsung akan menolaknya mentah-mentah. Selain itu, meskipun kritik mereka terhadap Kapitalisme Fosil sangat kuat, mereka kurang menawarkan strategi konkret tentang bagaimana gerakan sosial dapat mencapai perubahan sistemik yang mereka tuntut. Sementara mereka menyerukan aksi yang lebih radikal, buku ini tidak cukup membahas bagaimana kekuatan politik progresif dapat dibangun untuk menantang kekuatan ekonomi dan politik yang mendukung status quo. Pendekatan yang lebih sistematis tentang bagaimana gerakan sosial dapat berkolaborasi dengan aktor lain, termasuk sektor publik dan swasta, mungkin akan membuat buku ini lebih berdampak bagi pembaca yang mencari solusi kolaboratif.  Atau, memang Malm dan Carton tak melihat bahwa peluang itu masih mungkin.

–##–