Oleh: Ari Mochamad *

Pada 4 Maret 2025, wilayah Jabodetabek diterjang oleh banjir besar yang mengakibatkan penderitaan bagi ribuan warga. Hujan deras yang terus-menerus menyebabkan meluapnya sejumlah sungai dan genangan air di berbagai kawasan permukiman. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa banjir ini merupakan fenomena “banjir kiriman,” yang dipicu oleh intensitas hujan ekstrem di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Namun, yang memperparah situasi adalah kondisi infrastruktur yang tidak memadai, seperti tanggul yang jebol, drainase yang buruk, serta ruang resapan air yang terbatas. Selain itu, penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya, seperti perumahan yang dibangun di sempadan sungai, berkontribusi pada bencana ini.

Melihat kondisi ini, ke depan, masyarakat perlu belajar untuk hidup berdamai dengan banjir—konsep living in harmony with disaster. Hal ini memerlukan perilaku yang lebih menghormati lingkungan, pembangunan infrastruktur yang mempertimbangkan potensi risiko bencana, serta peningkatan literasi pengelolaan risiko bencana. Masyarakat perlu menyadari bahwa perubahan iklim yang semakin tak terduga, seperti hujan ekstrem yang sering terjadi, membutuhkan pendekatan baru dalam merespons ancaman bencana.

Banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada awal tahun 2020 menyebabkan kerugian yang signifikan pada sektor ritel, mencapai Rp 960 miliar. Kerugian tersebut belum mencakup kerusakan fisik rumah, dampak kesehatan, serta kehilangan mata pencaharian bagi pekerja harian. Sementara itu, pada banjir Jakarta awal 2025, kerugian di sektor perumahan dan perdagangan diperkirakan mencapai Rp 4,2 triliun. Hal ini menjadi gambaran nyata bahwa bencana banjir menimbulkan kerugian luar biasa bagi perekonomian.

Sebagai respons, Pemerintah Provinsi Jakarta telah menganggarkan dana yang cukup besar untuk penanggulangan banjir, seperti pada tahun 2021 sebesar Rp 1,8 triliun, yang meningkat menjadi Rp 2,4 triliun pada 2022, dan Rp 3,6 triliun di tahun 2023. Pada 2024, anggaran ini sedikit menurun menjadi Rp 2,84 triliun, namun pada 2025 mengalami lonjakan tajam menjadi Rp 5,6 triliun. Meski demikian, total kerugian akibat bencana secara nasional masih sangat besar. BNPB mencatatkan kerugian akibat bencana, termasuk bencana hidrometeorologi, mencapai Rp 40 triliun, belum termasuk kerugian di sektor perikanan, pertanian, dan perkebunan.

Pentingnya Pendekatan Berbasis Masyarakat dalam Meningkatkan Ketangguhan

Meskipun pemerintah telah menyiapkan kebijakan dan rencana aksi untuk menangani bencana banjir, baik yang bersifat struktural maupun non-struktural, serta memperkuat kelembagaan, pendekatan berbasis masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Padahal, pendekatan berbasis masyarakat sangat penting untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Hal ini tidak hanya bergantung pada intervensi fisik, tetapi juga pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi dan beradaptasi dengan ancaman bencana.

Penting untuk membangun kesadaran dan kapasitas masyarakat dalam mengelola risiko bencana, termasuk mengenali potensi bahaya dan bagaimana cara mengurangi dampaknya. Ketangguhan berbasis masyarakat bisa terbentuk apabila ada pemahaman yang mendalam mengenai pengelolaan ruang dan sumber daya alam, serta adanya kesepakatan bersama untuk menjalankan upaya-upaya mitigasi bencana. Salah satu kunci utama dalam pendekatan ini adalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat yang berkembang melalui partisipasi aktif mereka.

Dalam konteks ini, masyarakat bukan hanya sebagai objek yang menerima bantuan, tetapi juga sebagai aktor utama yang berperan dalam penanggulangan bencana. Masyarakat perlu diberdayakan untuk mengelola wilayah mereka secara berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor-faktor risiko bencana. Kepercayaan dan rasa kepemilikan terhadap wilayah tempat tinggal sangat memengaruhi keberhasilan implementasi pendekatan berbasis masyarakat ini.

Menghadapi ancaman banjir, masyarakat harus dipersiapkan untuk berperilaku lebih responsif dan adaptif. Salah satunya adalah dengan memasang alat early warning system (EWS) di lingkungan sekitar. Sebagai contoh, di beberapa kompleks perumahan, alat EWS telah dipasang untuk memantau ketinggian air. Ketika air mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, alat tersebut memberikan tanda suara, yang memungkinkan warga untuk mengambil langkah-langkah antisipasi, seperti memindahkan kendaraan ke tempat yang lebih tinggi atau menaikkan barang-barang ke lantai dua rumah. Meskipun banjir mungkin tidak terjadi, kesiapsiagaan ini tetap memberikan rasa aman bagi masyarakat.

Namun, selain pemasangan alat EWS, masyarakat juga harus diberdayakan dengan literasi kebencanaan. Di beberapa wilayah, seperti di RT atau RW, pengelolaan alat EWS harus disertai dengan pemahaman tentang siapa yang bertanggung jawab untuk merawat dan menjaga alat tersebut. Selain itu, sikap proaktif masyarakat dalam menjaga lingkungan, seperti membersihkan saluran drainase dan menjaga ruang resapan air, perlu ditekankan, terutama saat memasuki musim hujan.

Pemerintah Daerah Harus Serius Menaati dan Menjalankan Kebijakan Tata Ruang

Selain pendekatan berbasis masyarakat, pemerintah daerah Kota/Kabupaten harus lebih serius dalam menaati dan menjalankan kebijakan tata ruang secara konsisten. Kebijakan ini tidak hanya penting untuk merencanakan dan mengatur penggunaan lahan, tetapi juga untuk memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun telah mempertimbangkan perubahan lahan dan perubahan iklim, khususnya terkait frekuensi dan intensitas hujan yang semakin meningkat. Ketidaksesuaian antara pembangunan infrastruktur dan tata ruang dapat memperburuk dampak bencana, seperti yang terlihat dalam banjir-banjir sebelumnya yang disebabkan oleh pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, seperti pembangunan perumahan di sempadan sungai atau daerah resapan air.

Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim harus menjadi prioritas pemerintah daerah. Selain itu, mereka harus memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun, seperti tanggul, drainase, dan ruang terbuka hijau, memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatasi potensi bencana di masa depan. Ini akan memastikan bahwa wilayah-wilayah perkotaan dan permukiman dapat lebih tangguh dalam menghadapi bencana banjir yang semakin sering terjadi.

Untuk menciptakan ketangguhan yang lebih efektif dalam menghadapi bencana banjir, kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah menjadi hal yang sangat penting. Pemerintah perlu terus mendorong masyarakat untuk aktif dalam upaya mitigasi bencana, seperti melalui pendidikan kebencanaan dan penyediaan fasilitas yang memadai untuk sistem peringatan dini. Di sisi lain, masyarakat harus memiliki kesadaran dan keterampilan dalam menjaga dan merawat infrastruktur yang ada, serta mampu bekerja sama dalam menghadapi risiko bencana.

Saat ini dan ke depan, bukan hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana, tetapi masyarakat juga perlu berperan aktif. Dengan membangun ketangguhan berbasis masyarakat dan konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan tata ruang yang berkelanjutan, diharapkan kita dapat mengurangi dampak buruk dari bencana banjir dan memastikan bahwa kita bisa hidup berdamai dengan bencana, menyongsong masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

–##–

* Ari Mochamad adalah pPraktisi Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim, berdomisili di Kota Bekasi.