Oleh: Adipatra Kenaro Wicaksana
Ketika membicarakan perubahan iklim dan isu lingkungan, kita sering kali terbayang tentang kemarau panjang yang merusak hasil panen, banjir bandang yang merendam pemukiman, atau polusi udara yang membuat kita sulit bernapas. Semua ini adalah tanda nyata bahwa bumi semakin terancam oleh ulah manusia. Namun, di tengah berbagai upaya mitigasi dan adaptasi, pernahkah kita berpikir tentang siapa yang sebenarnya memegang kendali dalam kebijakan lingkungan?
Faktanya, pengambilan keputusan di sektor lingkungan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan, yang justru sering menjadi kelompok paling terdampak oleh krisis ini, masih kerap terpinggirkan dari diskusi dan kebijakan strategis.
Padahal, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih berorientasi pada keberlanjutan.
Dengan perubahan iklim yang semakin mengancam, dunia tidak bisa lagi mengabaikan potensi perempuan dalam memimpin solusi lingkungan.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma yang ada, memberikan ruang lebih luas bagi perempuan dalam kepemimpinan lingkungan. Ini bukan hanya soal kesetaraan gender, tetapi juga tentang menciptakan masa depan yang lebih lestari dan adil bagi semua.
Ketika perempuan dilibatkan dalam kebijakan lingkungan, mereka membawa perspektif yang lebih holistik dan memperhitungkan aspek jangka panjang, mulai dari keberlanjutan sumber daya hingga kesejahteraan generasi mendatang. Oleh karenanya, dunia harus memastikan bahwa perempuan tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga aktor utama dalam merancang dan menjalankan solusi bagi krisis lingkungan global.
Seperti Tak Diakui
Studi dari UN Women menunjukkan bahwa perempuan di negara berkembang menyumbang hingga 50–80% tenaga kerja dalam produksi pangan. Namun, ironisnya, mereka hampir tidak memiliki hak atas tanah yang mereka garap. Kondisi ini mencerminkan ketimpangan dalam pengambilan keputusan. Di tingkat komunitas, perempuan memahami dampak nyata perubahan iklim, kekeringan, gagal panen, hingga bencana ekologis.
Tapi di tingkat kebijakan, suara mereka masih terpinggirkan. Data dari Women’s Environment & Development Organization (WEDO) mencatat bahwa hanya 34% perempuan yang terlibat dalam delegasi partai di COP28, jumlah yang stagnan selama satu dekade terakhir. Bahkan, organisasi lingkungan berbasis Islam seperti Green Islamic yang dipimpin oleh perempuan hanya mencakup 24% dari keseluruhan organisasi lingkungan.
Minimnya partisipasi perempuan dalam kebijakan lingkungan bukan hanya soal representasi, tetapi juga menyangkut efektivitas. Studi dari United Nations Development Programme (UNDP) menemukan bahwa negara dengan lebih banyak perempuan di parlemen cenderung mengadopsi kebijakan lingkungan yang lebih ambisius.
Sebagai contoh, Islandia, yang memiliki salah satu persentase pemimpin perempuan tertinggi di dunia, telah berhasil mengimplementasikan kebijakan energi hijau berbasis energi panas bumi dan hidroelektrik yang berkelanjutan.
Di Kosta Rika, peran perempuan dalam parlemen telah mendorong kebijakan perlindungan biodiversitas dan konversi energi yang lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Amerika Latin. Sebaliknya, di negara-negara di mana perempuan kurang memiliki akses ke posisi strategis, kebijakan lingkungan sering kali kurang berpihak pada kelompok rentan.
Misalnya, dalam banyak proyek infrastruktur yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, dampak terhadap masyarakat adat dan perempuan jarang diperhitungkan, meskipun mereka adalah kelompok yang paling terdampak.
Saatnya Perempuan Menjadi Pemimpin Perubahan
Perempuan bukan hanya korban dari perubahan iklim, tetapi juga sebagai agen perubahan. Memberikan akses lebih besar bagi perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga kebutuhan strategis.
Dunia tidak bisa terus mengandalkan pendekatan yang bias gender dalam menangani krisis lingkungan. Tanpa kepemimpinan perempuan, banyak kebijakan lingkungan yang cenderung kurang memperhitungkan kebutuhan komunitas akar rumput.
Misalnya, banyak program mitigasi perubahan iklim yang hanya berfokus pada inovasi teknologi tinggi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok perempuan di daerah pedesaan yang bergantung pada sumber daya alam.
Kebijakan yang terlalu teknokratik dan bias gender sering kali gagal memberikan dampak nyata karena mengabaikan pengalaman perempuan yang secara langsung menghadapi tantangan lingkungan sehari-hari. Oleh karena itu, integrasi perspektif perempuan dalam kebijakan iklim dapat memastikan bahwa solusi yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.
Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah, sektor swasta, dan organisasi internasional harus mengambil langkah-langkah konkret. Pertama, meningkatkan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan di tingkat nasional dan global. Ini bisa dilakukan dengan memberikan kuota kepemimpinan perempuan dalam badan-badan lingkungan.
Lalu menciptakan program mentoring bagi perempuan di sektor tersebut, serta mendorong perempuan untuk aktif dalam advokasi kebijakan iklim. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam kebijakan iklim, dan Indonesia bisa mengikuti langkah serupa.
Selain itu, dukungan finansial dan pendidikan bagi perempuan dalam sektor lingkungan juga harus ditingkatkan. Akses terhadap modal usaha, pelatihan keterampilan dalam ekonomi sirkular, serta beasiswa untuk studi lingkungan harus lebih banyak tersedia bagi perempuan, terutama di komunitas yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Dengan membekali perempuan dengan sumber daya yang cukup, mereka dapat lebih aktif dalam menciptakan inovasi berkelanjutan, baik dalam skala lokal maupun global.
Terakhir, membangun jaringan advokasi perempuan dalam isu lingkungan hal tersebut nantinya akan menjadi langkah penting untuk memastikan keberlanjutan gerakan ini. Organisasi perempuan yang bergerak di bidang lingkungan harus diperkuat dan diberikan platform yang lebih luas untuk memengaruhi kebijakan.
Melalui aliansi lintas sektor dan lintas negara, perempuan dapat lebih efektif dalam mengadvokasi kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan lingkungan. Karena tanpa perempuan di meja pengambilan keputusan, upaya menyelamatkan bumi hanya akan setengah jalan.
–##–
Kontributor Foto: Aisyah Hamilaturrizqi & Laras Eka Agustina
Leave A Comment