Peningkatan tiga gas yang memerangkap panas, pemicu cuaca ekstrem, perubahan iklim dan pemanasan global ini, tercatat dalam sampel udara yang dikumpulkan oleh Global Monitoring Laboratory (GML) NOAA pada tahun 2023.

“Pengambilan sampel udara jangka panjang NOAA sangat penting untuk melacak penyebab perubahan iklim,” ujar Direktur GML Vanda Grubišić.  “Masih banyak pekerjaan guna mencapai kemajuan yang berarti dalam mengurangi jumlah gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer.”

Konsentrasi CO2 rata-rata di permukaan bumi, dalam 12 bulan di tahun 2023 mencapai 419,3 PPM (parts per million) atau (ppm) atau naik 2,8 ppm dibanding tahun lalu.

Tren peningkatan emisi tahun 2023 ini adalah yang terbesar ketiga dalam satu dekade terakhir. Pemicunya adalah peningkatan emisi CO2 bahan bakar fosil yang terus berlanjut, plus peningkatan emisi kebakaran yang mungkin disebabkan oleh transisi dari La Nina ke El Nino,” kata Xin Lan, seorang ilmuwan CIRES. Xin Lan memimpin upaya GML untuk mensintesis data dari Jaringan Referensi Gas Rumah Kaca Global NOAA untuk melacak tren gas rumah kaca global.

Jumlah metana di atmosfer, gas rumah kaca yang jumlahnya lebih sedikit dari CO2, namun lebih kuat dalam memerangkap panas di atmosfer, meningkat rata-rata 1.922,6 PPB (parts per billion) di 2023 atau naik sebesar 10,9 PPB dari tahun sebelumnya. Konsentrasi metana di atmosfer kini 160% lebih tinggi dibandingkan tingkat pra-industri.

Sementara gas rumah kaca terbesar ketiga yang dipicu oleh aktivitas manusia yaitu dinitrogen oksida meningkat sebesar 1 PPB menjadi 336,7 PPB.

Peningkatan oksida nitrat di atmosfer selama beberapa dekade terakhir dipicu terutama oleh penggunaan pupuk nitrogen dan pupuk kandang akibat perluasan dan intensifikasi pertanian. Menurut NOAA, konsentrasi nitro oksida saat ini sudah 25% lebih tinggi dibandingkan tingkat pra-industri yang sebesar 270 PPB.

Laboratorium Pemantauan Global NOAA mengumpulkan lebih dari 15.000 sampel udara dari stasiun pemantauan di seluruh dunia pada tahun 2023 dan menganalisisnya di laboratorium canggihnya di Boulder, Colorado.

Setiap musim semi, para ilmuwan NOAA merilis perhitungan awal tingkat rata-rata global dari tiga gas rumah kaca utama yang berumur panjang yang diamati selama tahun sebelumnya untuk melacak kelimpahannya, menentukan konsentrasi emisi dan penyerapannya, serta memahami umpan balik dalam siklus karbon.

Emisi karbon dioksida (CO2) masih menjadi masalah terbesar yang sejauh ini menjadi penyumbang terbesar terhadap perubahan iklim. Sebagian besar sumber CO2 dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.  Polusi CO2 yang disebabkan oleh aktivitas manusia naik dari 10,9 miliar ton per tahun pada tahun 1960-an – saat pengukuran di Observatorium Mauna Loa di Hawaii dimulai – menjadi sekitar 36,6 miliar ton per tahun pada tahun 2023.

Konsentrasi emisi CO2 di atmosfer saat ini sebanding dengan kondisi di 4,3 juta tahun yang lalu pada pertengahan zaman Pliosen, ketika permukaan laut lebih tinggi 22,86 meter dibandingkan saat ini, dan suhu rata-rata 3.88 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan pada masa pra-industri. Mengubah hutan besar yang dulu menempati wilayah Arktika menjadi tundra.

Sekitar separuh emisi CO2 dari bahan bakar fosil hingga saat ini masih diserap di permukaan bumi, oleh ekosistem lautan dan daratan, termasuk padang rumput dan hutan.

CO2 yang diserap oleh lautan berkontribusi terhadap pengasaman laut, yang menyebabkan perubahan mendasar pada kimia lautan, yang berdampak pada kehidupan laut dan orang-orang yang bergantung padanya.  Lautan juga telah menyerap sekitar 90% kelebihan panas yang terperangkap di atmosfer akibat gas rumah kaca.

Bagaikan lingkaran setan para ilmuwan NOAA saat ini sedang menyelidiki kemungkinan perubahan iklim menyebabkan lahan basah meningkatkan pelepasan emisi metana. Tanpa ada aksi ambisius untuk memutus lingkaran setan ini, dengan memangkas emisi gas rumah kaca, kerusakan yang sudah ada di depan mata, akan terus berlanjut. Manusia yang serakah terus merusak rumah mereka sendiri.

Redaksi Hijauku.com