Oleh: Juan Madya Edri dan Mahpud Sujai *

Setelah konsep green economy atau ekonomi hijau semakin mainstream di tataran global, konsep blue economy yang mencakup kelestarian kehidupan di laut dan sector maritim semakin mengemuka. Eksploitasi laut dan maritim secara besar-besaran menyebabkan banyak terjadi kerusakan di wilayah perairan, terutama di wilayah pesisir dan wilayah-wilayah yang kaya akan hasil laut.

Indonesia sebagai negara maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia tentu saja sangat berkepentingan dengan kelestarian alam di wilayah perairan ini. Kerusakan wilayah pesisir, pengrusakan hutan bakau hingga eksploitasi hasil-hasil perikanan dan kerusakan terumbu karang menjadi isu yang utama.

Konsep Blue Economy

Pada awalnya, konsep blue economy hanya mencakup seluruh produk perikanan yang bernilai ekonomis dan memiliki nilai jual, namun saat ini konsep tersebut semakin meluas dan mencakup keberlanjutan ekosistem laut (marine ecosystem sustainability) sebagai salah satu kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di Indonesia. Saat ini, hasil perikanan dan kelautan Indonesia yang bernilai strategis dan ekonomis belum dimanfaatkan secara optimal. Namun, pemanfaatan yang sudah dilakukan pun ternyata masih diliputi oleh berbagai permasalahan terutama permasalahan kelestarian lingkungan laut dan pesisir.

Mengingat pemanfaatan hasil laut dan perikanan yang masih belum sustainable, maka konsep blue economy pun menjadi relevan dengan sektor kelautan dan perikanan kita. Saat in, keberlanjutan dalam konsep blue economy tersebut mengintegrasikan tiga prinsip dasar yang utama (triple bottom line)  dari pengembangan kelautan yang berkelanjutan, yaitu keseimbangan antara faktor environment, social, dan governance (ESG).

Alokasi Anggaran

Implementasi konsep blue economy di Indonesia saat ini sudah mulai dilakukan dan terus mengalami perbaikan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari mulai dialokasikannya anggaran negara untuk kegiatan blue economy yang tersebar di beberapa Kementerian dan Lembaga seperti di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Selain alokasi anggaran melalui Belanja Pemerintah Pusat, alokasi anggaran untuk pengembangan blue economy juga dilakukan melalui anggaran Transfer ke daerah untuk mendukung beberapa daerah pesisir dan maritime dan mengembangkan ekonomi dan pelestarian potensi kelautannya.

Sebagai contoh salah satu bentuk dukungan yang diberikan adalah melalui Kemenparekraf dengan program desa wisata untuk pengembangan pariwisata di desa-desa pesisir pantai. Setiap desa yang memiliki potensi diakomodasi untuk menggali ciri khas daerah masing-masing dan berkontribusi dalam penerapan blue economy tersebut. Contoh lain adalah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan yang terus mendorong nelayan agar mengoptimalkan hasil tangkapan mereka secara berkelanjutan. Sehingga implikasinya bagi para nelayan dan produsen hasil laut adalah produksi laut yang dihasilkan mereka juga memperhatikan keberlangsungan ekosistem laut, pengelolaan hasil laut yang zero waste, serta melarang praktik eksploitasi berlebihan atau overexploitation.

Konteks Kewilayahan

Dalam konteks kewilayahan, Propinsi Aceh sebagai contoh, memiliki wilayah perairan yang cukup luas hingga Samudera Hindia dan Laut Andaman mempunyai hasil laut yang sangat kaya. Ikan hasil tangkapan nelayan sangat berlimpah dengan jenis dan hasil tangkapan yang beragam. Namun, sesuai dengan teori supply dan demand, ketika hasil tangkapan yang didapat nelayan sangat berlimpah, menyebabkan harga ikan dan hasil laut di pasar menjadi turun sebagai akibat persediaan ikan yang berlimpah di pasar. Hal ini menyebabkan penghasilan nelayan menjadi turun dan akhirnya nelayan terus berada di posisi kesulitan ekonomi meskipun hasil tangkapannya melimpah.

Akibat dari melimpahnya hasil ikan nelayan, diperburuk dengan harga pembelian ikan yang sangat rendah menjadikan dalam beberapa hari belakangan ini terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan nelayan yang berada di Kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Lampulo. Banda Aceh. Sekitar tiga ton ikan jenis ikan tongkol dan mackerel dibuang dengan cara dikubur. Ini terjadi karena harga anjloknya harga ikan dan banyaknya ikan yang ditangkap tidak sebanding jumlah permintaan pasar.

Kondisi seperti ini justru sangat memperhatikan, sehingga perlu langkah dan kebijakan pemerintah dari untuk menangani permasalahan ini. Sementara itu, di wilayah lain malah terjadi banyak nelayan asing yang melakukan penangkapan secara ilegal, sementara harga ikan dari hasil tangkapan nelayan lokal anjlok dan dibuang karena tidak laku dipasaran.

Penangkapan yang secara berlebihan atau overexploitation oleh nelayan lokal seharusnya juga memperhatikan dengan kapasitas penampungan dan bagimana menjaga kualitas dari ikan tersebut dari mulai penangkapan di atas kapal hingga sampai di darat. Ketersediaan Cold storage juga harus diperhatikan untuk menyimpan hasil tangkapan ikan agar kualitas ikan tetap terjaga. Penyuluhan dan bimbingan kepada nelayan juga menjadi prioritas, agar bagaimana kualitas ikan yang ditangkap tetap terjaga.

Dukungan Kebijakan

Terobosan kebijakan yang inovatif sangat perlu dilakukan oleh Pemerintah, antara lain dengan mendorong hilirisasi sektor perikanan dengan mendorong industry perikanan yang modern dan sustainable seperti industry pengalengan ikan dan berbagai produksi turunan hasil laut. Peran pemerintah pusat juga pemerintah daerah sangat dibutuhkan terutama untuk mendorong iklim investasi sehingga dapat menarik investor untuk untuk membuat pabrik pengolahan ikan. Hal ini dapat memberikan peluang untuk melakukan ekpor dan menghasilkan devisa negara serta meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Model bisnis blue economy dapat diterapkan untuk memberdayakan nelayan dan masyarakat yang memanfaatkan sektor perikanan dan kelautan sebagai mata pencaharian mereka. Model bisnis tersebut tidak hanya melibatkan nelayan, tetapi juga wirausahawan dan investor yang mengembangkan hasil olahan produk perikanan dan kelautan.

Masyarakat nelayan dan wilayah pesisir yang pada mulanya hanya berfokus untuk menangkap ikan saja, dengan konsep blue economy dapat mengembangkan potensi dari sektor perikanan dan kelautan secara luas. Tidak hanya diversifikasi hasil laut namun juga bisa menghasilkan kerajinan tangan yang berasal dari hasil laut seperti kerang dan mutiara yang bisa menjadi ciri khas suatu daerah. Bahkan di beberapa desa di wilayah pesisir, mereka sudah mulai menggali potensi keindahan alam pesisir dan lautnya untuk menjadi desa wisata agar menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.

Tantangan dan Kendala

Namun demikian, dalam pengembangan konsep blue economy ini masih banyak terdapat hambatan dan tantangan yang cukup berat. Pertama, eksploitasi sumber daya pesisir dan laut melalui penangkapan hasil laut secara berlebihan dan mengganggu ekosistem laut. Sehingga, perlu ada inovasi dalam menghasilkan produk perikanan yang optimal tanpa merusak lingkungan. Permasalahan kedua antara lain pengumpulan data kinerja blue economy industri perikanan dan kelautan di setiap wilayah yang belum terstandarisasi. Masih banyak pelaku industri yang berfokus pada hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan perusahan pengolahan hasil laut. Permasalahan ketiga yaitu sebagian besar industri perikanan di hampir seluruh wilayah Indonesia adalah usaha mikro kecil menengah (UMKM), sehingga volume produksinya masih sangat rendah dan belum optimal. Kurangnya pengetahuan dan bahan baku yang masih sulit, menjadi tantangan dalam mengembangkan usaha hasil olahan laut masyarakat.

Oleh karena itu, peran berbagai pihak atau stakeholders termasuk pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat hingga investor menjadi sangat penting untuk mendorong pengimplementasian konsep blue economy bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Partisipasi para pihak tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan upaya nelayan dan masyarakat pesisir dalam meningkatkan produksi hasil laut serta pemanfaatannya yang sustainable. Sehingga diharapkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir dapat meningkat. Peningkatan kesejahteraan taraf hidup dan pengetahuan pengelolaan hasil laut tersebut diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas hasil laut di Indonesia.

* Penulis adalah Pegawai Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.