Masyarakat di wilayah Asia Pasifik harus bersiap menghadapi kenyataan pahit. Pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs)—yang seharusnya dicapai 6 tahun lagi di 2030 –diproyeksikan akan molor, dengan waktu yang tidak main-main: 32 tahun! Wilayah Asia Pasifik diperkirakan baru akan mencapai target SDGs di 2062!

Hal ini terungkap dalam 2024 SDG Progress Report, yang diluncurkan UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), 15 Februari 2024.

17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) diadopsi oleh para pemimpin dunia pada tahun 2015. Tujuannya adalah untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan ekstrem, memastikan akses ke air bersih dan sanitasi, menyediakan pendidikan universal yang berkualitas, mendorong  aksi perubahan iklim dan tujuan-tujuan kunci lainnya pada tahun 2030.

Gambaran suram tampak nyata dalam laporan UNESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik) tahun ini. Laporan ini menyatakan, tantangan kemiskinan dan ketidaksetaraan akan terus berlanjut  di Asia Pasifik. “Kemajuan menuju SDGs tidak merata dan tidak mencukupi di seluruh wilayah Asia Pasifik,” ujar Armida Salsiah Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif ESCAP sebagaimana dikutip dalam berita PBB.

“Diperlukan upaya tambahan di seluruh bidang dengan berfokus pada upaya mengatasi ketidaksetaraan di kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk perempuan, anak perempuan, penduduk pedesaan dan kaum miskin perkotaan, yang selama ini terkesampingkan dalam akses pendidikan dan kesempatan kerja,” tambahnya.

Situasi yang mengkhawatirkan ini terutama terjadi di negara-negara dengan “situasi khusus” yaitu negara-negara yang masuk dalam kategori Negara Kurang Berkembang (Least Developed Countries), Negara Berkembang Terkurung Daratan (Landlocked Developing Countries/LLDC) dan Negara Berkembang Pulau Kecil (Small Island Developing States) di Asia Pasifik.

Dari ketiga kelompok ini, SIDS menjadi kelompok yang paling membutuhkan bantuan mengingat jenis kerentanan mereka yang unik, mulai dari letak geografis yang terisolasi, sumber daya mereka yang terbatas hingga tantangan yang berasal dari perubahan iklim. Hingga tahun ini kemajuan yang diraih SIDS dalam pencapaian SDGs hanya sebesar 5,9%.

LDC dan LLDC bernasib sedikit lebih baik dibanding SIDS dengan masing-masing hanya mencatat kemajuan 11,5% dan 13 %, masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs pada tahun 2030.

Urgensi Aksi Iklim

Laporan ini juga menyoroti berbagai tantangan sosial yang dihadapi oleh laki-laki dan perempuan, terutama yang terkait dengan peran “gender”.

Tantangan yang dihadapi perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Perempuan memiliki tingkat keterlibatan (dalam pendidikan) yang lebih rendah dan berjuang mencapai pada target melek huruf. Perempuan muda juga mengalami kesulitan dalam mengakses pasar tenaga kerja, yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum Perempuan muda yang lebih tinggi.

Sementara untuk laki-laki tantangannya lebih banyak terkait kesehatan dan keselamatan, termasuk terinfeksi HIV baru, kematian akibat penyakit, tingkat bunuh diri, konsumsi alkohol, kematian lalu lintas jalan dan kematian akibat keracunan dan akibat rokok atau penggunaan tembakau.

Masyarakat yang yang tinggal di daerah perdesaan menderita kerugian yang nyata, seperti kurangnya akses ke air minum dan fasilitas sanitasi, bahan bakar yang bersih untuk memasak sehingga memicu penyakit pernapasan akut, terutama di kalangan perempuan dan anak perempuan yang menghabiskan waktu lebih lama di dapur.

Secara umum, wilayah perkotaan menunjukkan kondisi yang lebih baik, namun secara paradoks, di wilayah perkotaan, anak laki-laki dan perempuan termiskin kesulitan dalam menyelesaikan pendidikan menengah atas.

Asia-Pasifik adalah rumah bagi beberapa negara yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Laporan ini menyebut salah satu contohnya adalah banjir 2022 di Pakistan. SDG 13 yaitu aksi iklim menurut laporan UNEP menjadi TPB yang memerlukan perhatian paling besar di antara 17 TPB lainnya. Semua target SDG 13 keluar jalur dan beberapa bahkan mengalami kemunduran.

Ini menggarisbawahi perlunya mengintegrasikan aksi iklim ke dalam kebijakan nasional, memperkuat ketahanan dan meningkatkan kapasitas adaptif untuk mengatasi bencana terkait iklim. Laporan tersebut juga menyerukan peningkatan investasi yang signifikan terhadap infrastruktur berkelanjutan dan sumber energi terbarukan.

Redaksi Hijauku.com