Hal ini terungkap dalam penelitian ilmiah terbaru yang diterbitkan dalam jurnal “Nature”, 17 April 2024. Laporan tersebut menyatakan, kerugian akan tetap dialami dunia bahkan jika emisi CO2 dikurangi secara drastis mulai hari ini.

Perekonomian dunia sudah dipastikan akan kehilangan pendapatan sebesar 19% pada 2050 karena perubahan iklim. Nilai kerusakan ini, menurut tim peneliti, enam kali lebih besar dari biaya mitigasi yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global hingga dua derajat Celcius.

Para ilmuwan di Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) menganalisis dampak masa depan dari perubahan kondisi iklim menggunakan data empiris dari lebih dari 1.600 wilayah di seluruh dunia selama 40 tahun terakhir.

“Pengurangan pendapatan tertinggi diproyeksikan terjadi di wilayah Amerika Utara, Eropa, Asia Selatan dan Afrika. Hal ini karena perubahan iklim berdampak pada berbagai aspek pertumbuhan ekonomi seperti hasil pertanian, produktivitas tenaga kerja atau infrastruktur,” ujar Maximilian Kotz, penulis utama studi ini.

Secara keseluruhan, kerusakan tahunan global akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai $38 triliun dan akan mencapai kisaran $19-59 triliun pada tahun 2050. Kerusakan ini dipicu tidak hanya oleh kenaikan suhu tetapi juga oleh perubahan curah hujan dan variabilitas suhu serta cuaca ekstrem lainnya seperti badai atau kebakaran hutan.

Biaya ekonomi tinggi untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa

“Analisis kami, perubahan iklim akan menyebabkan kerusakan ekonomi besar-besaran dalam 25 tahun ke depan di hampir semua negara di seluruh dunia, juga di negara-negara maju seperti Jerman, Prancis dan Amerika Serikat,” ujar Leonie Wenz, ilmuwan PIK yang memimpin penelitian ini. “Kerusakan jangka pendek ini adalah hasil dari emisi masa lalu kita. Kita akan lebih membutuhkan upaya adaptasi jika ingin menghindarinya. Kita juga harus mengurangi emisi secara drastis dan segera – jika tidak, kerugian ekonomi akan jadi lebih besar pada paruh kedua abad ini (2050-2100), naik sebesar hingga 60% rata-rata global pada tahun 2100. Ini jelas menunjukkan bahwa melindungi iklim kita jauh lebih murah daripada tidak melakukannya, dan hal tersebut bahkan tanpa menghitung dampak non-ekonomi seperti hilangnya nyawa atau keanekaragaman hayati.”

Para ilmuwan di PIK menggabungkan model empiris dengan simulasi iklim mutakhir (CMIP-6). Yang terpenting, mereka juga menilai seberapa persisten dampak iklim telah mempengaruhi ekonomi di masa lalu.

Negara-negara yang paling menderita

“Studi kami menyoroti ketidakadilan dampak iklim yang cukup besar: Kami menemukan kerusakan hampir di mana-mana, tetapi negara-negara di daerah tropis akan paling menderita karena mereka sudah lebih hangat. Oleh karena itu, kenaikan suhu lebih lanjut akan paling berbahaya di sana. Negara-negara yang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim, diperkirakan akan menderita kerugian pendapatan yang 60% lebih besar dari negara-negara berpenghasilan tinggi dan 40% lebih besar dari negara-negara dengan emisi lebih tinggi. Mereka juga orang-orang dengan sumber daya paling sedikit untuk beradaptasi dengan dampaknya,” ujar Anders Levermann, Kepala Departemen Penelitian Ilmu Kompleksitas di Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang turut menyusun laporan ini. “Terserah kita untuk memutuskan: perubahan struktural menuju sistem energi terbarukan diperlukan untuk keamanan kita dan akan menghemat uang kita. Atau, tetap berada di jalur yang kita jalani saat ini, yang akan menimbulkan konsekuensi bencana. Suhu planet ini hanya dapat distabilkan jika kita berhenti membakar minyak, gas, dan batu bara,” pungkasnya.

Redaksi Hijauku.com