Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjadi katalis dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia, serta – yang terjadi baru-baru ini –  keadilan iklim. Negara-negera berkembang dan negara-negara kepulauan kecil, sangat rentan terdampak krisis iklim. Cuaca ekstrem, kenaikan air laut, gelombang panas, kekeringan dan hujan ekstrem serta kekurangan pangan semua dipicu oleh perubahan iklim. Negara-negera berkembang dan negara-negara kepulauan kecil, tidak memiliki pengaruh militer dan ekonomi. Mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan mitigasi dan beradaptasi dari krisis iklim. Sidang Umum PBB menjadi ajang bagi kelompok marginal ini untuk terus menyuarakan krisis iklim.

Vanuatu, salah satu negara kepulauan kecil di Pasifik baru-baru ini sukses memimpin koalisi 133 negara meloloskan resolusi terkait krisis iklim. Resolusi ini meminta Mahkamah Internasional (International Court of Justice /ICJ) memberikan putusan mengenai kewajiban negara-negara di bawah hukum internasional untuk melindungi hak-hak generasi sekarang dan generasi yang akan datang dari dampak buruk perubahan iklim.

Resolusi iklim International Court of Justice ini diadopsi pada Sidang Umum PBB ke-77, Rabu, 29 Maret 2023. Resolusi ini sekaligus bertujuan untuk memperkuat komitmen aksi dunia mengatasi krisis iklim dan menyelamatkan Persetujuan Paris.

Perdana Menteri Vanuatu, Alatoi Ismael Kalsakau, mengatakan, ambisi untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius “masih jauh dari apa yang diperlukan”, dan putusan Mahkamah Internasional/ICJ bisa memberikan kejelasan yang akan membantu upaya global mengatasi krisis iklim dan meningkatkan kerja sama antar bangsa.

Vanuatu mengajukan resolusi ini bersama dengan Antigua & Barbuda, Kosta Rika, Sierra Leone, Angola, Jerman, Mozambik, Liechtenstein, Samoa, Negara Federasi Mikronesia, Bangladesh, Maroko, Singapura, Uganda, Selandia Baru, Vietnam, Rumania, dan Portugal.

Putusan dari Mahkamah Internasional/ICJ penting karena putusan ini akan menjadi nasihat hukum yang diberikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan khusus yang dibentuk oleh Mahkamah Internasional, sesuai dengan Pasal 96 Piagam PBB,. Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta pendapat penasihat Mahkamah Internasional tentang “masalah hukum apa pun” termasuk soal keadilan iklim.

Pendapat Penasihat Mahkamah Internasional/ICJ memiliki bobot hukum dan otoritas moral yang besar dan menjadi instrumen diplomasi preventif dalam menjaga perdamaian dunia.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres menyatakan, “Keadilan iklim adalah keharusan moral dan prasyarat untuk mendorong aksi iklim global yang efektif. Krisis iklim hanya bisa diatasi melalui kerja sama – antara masyarakat, budaya, bangsa, generasi. Mari bekerja sama untuk mewujudkannya. Sekarang adalah saatnya untuk beraksi dan (menegakkan) keadilan iklim.”

Redaksi Hijauku.com