Ratusan miliar dolar paket stimulus hijau yang dikucurkan dunia selama pandemi COVID-19 dinilai salah sasaran. Stimulus ini justru mendorong kerusakan lingkungan dan krisis iklim. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Greenness of Stimulus Index” yang diluncurkan oleh Vivid Economics dan Finance for Biodiversity Initiative, 17 Desember 2020.

Laporan ini menyatakan, paket stimulus hijau yang digelontorkan saat ini telah mengabaikan alam dan keanekaragaman hayati. Sebagian besar stimulus hijau dialokasikan pada pengurangan emisi karbon. Hanya sedikit yang digunakan untuk upaya melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Total stimulus hijau hingga 17 Desember 2020 mencapai $567 miliar. Jumlah ini terlihat lebih besar dibanding stimulus yang mendapat penilaian negatif – yang jelas-jelas memicu polusi atau merusak habitat alam secara langsung – sebesar $219 miliar. Namun setelah dianalisis,  dari $567 miliar stimulus yang dikategorikan sebagai hijau tersebut, hanya $108 miliar yang benar-benar dipakai untuk mendukung upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Hanya tujuh dari 25 negara yang dianalisis telah berinvestasi di solusi berbasis alam (Nature Based Solutions, NBS), seperti penanaman pohon, perlindungan hutan, dan pertanian regeneratif. Investasi ini telah menciptakan lebih dari 580.000 pekerjaan. Namun inisiatif tersebut hanyalah mewakili sebagian kecil dari potensi alokasi stimulus yang lebih besar di solusi berbasis alam atau NBS. Sehingga kebijakan stimulus tersebut di atas dinilai salah sasaran.

Apalagi, dunia telah menanggung kerugian yang sangat besar akibat kerusakan lingkungan atau degradasi sumber daya alam – termasuk risiko penularan virus COVID-19 yang menciptakan pandemi saat ini. Sehingga, secara umum, kebijakan stimulus negara-negara G20 dalam menghadapi krisis COVID-19 dinilai masih berdampak negatif terhadap lingkungan.

Laporan Vivid menyimpulkan, sebagian besar pemerintah tidak mengalokasikan dana stimulus ekonomi mereka selama masa pandemi COVID-19 untuk meningkatkan pelestarian alam atau mengatasi perubahan iklim. Dengan kata lain, stimulus yang mereka gelontorkan akan gagal membangun kembali dunia, secara lebih baik.

Kebijakan itu bukan berarti tanpa koreksi. Laporan Vivid Economics menyatakan, untuk menyelesaikan satu krisis, kita tidak bisa mengabaikan krisis lainnya. Masih ada kesempatan bagi negara-negara yang belum mengalokasikan paket stimulus mereka untuk mencegah kerusakan lingkungan dan kerugian besar akibat krisis iklim untuk belajar dari negara-negara lain.

Stimulus negara-negara di Eropa Barat, Korea Selatan dan Kanada misalnya, dinilai telah mengalokasikan paket stimulus mereka ke kegiatan yang ramah alam, plus investasi di infrastruktur hijau di sektor energi bersih dan transportasi. Sementara Jerman meluncurkan “Paket (Stimulus) untuk Masa Depan”, dengan mengalokasikan dana untuk reboisasi/penghijauan dalam skala masif, pembangunan infrastruktur hijau terutama di sektor energi dan transportasi, termasuk membiayai kegiatan penelitian dan pengembangan.

Secara umum, ada enam kategori stimulus utama yang bisa diadopsi oleh negara-negara dunia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka dalam jangka pendek dan jangka panjang, serta mempercepat transisi ke masa depan yang lebih berkelanjutan. Keenam kategori tersebut mencakup:

  1. Memberikan dana talangan ke perusahaan dengan persyaratan atau “klausul hijau”.
  2. Berinvestasi di solusi berbasis alam, seperti konservasi hutan hujan tropis dan pertanian berkelanjutan
  3. Memberikan pinjaman dan hibah untuk investasi hijau
  4. Memberikan insentif berupa subsidi atau pengurangan pajak untuk produk hijau dan disinsentif berupa penghapusan subsidi untuk produk pencemar lingkungan.
  5. Mengucurkan subsidi untuk kegiatan penelitian dan pengembangan hijau atau “Green R&D”.
  6. Memperkuat regulasi lingkungan dan tidak sebaliknya.

Kinerja Indonesia

Sebagai anggota G20, bagaimana kinerja Indonesia? Indonesia menurut laporan ini telah menggelontorkan stimulus fiskal lebih dari $75 miliar hingga Desember 2020. Namun paket stimulus awal Indonesia sebagian besar masih berfokus pada dukungan untuk perawatan kesehatan dan subsidi perekonomian.

Laporan ini menyatakan, Indonesia juga telah memberikan dukungan yang substansial ke bisnis dengan memberikan insentif pajak, pinjaman dan jaminan – untuk industri dan pertanian. Indonesia memberikan subsidi listrik dan bahan bakar kepada masyarakat dan perusahaan.

Namun, secara keseluruhan, laporan Vivid Economics menilai, skor indeks kebijakan stimulus Indonesia masih negatif: sebagian besar stimulus Indonesia dinilai masih berdampak buruk bagi lingkungan. Hal ini diperparah dengan kebijakan Indonesia yang masih terus memberikan subsidi bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan dan menyebar polusi iklim.

Indonesia juga mengesahkan Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada awal Mei yang memperluas wilayah pertambangan. Perlindungan terhadap lingkungan dalam UU ini dinilai minim, kecuali persyaratan untuk restorasi lahan.

Kebijakan Indonesia yang dinilai positif dalam laporan ini diantaranya adalah: kebijakan subsidi bahan bakar biodiesel, kebijakan pengurangan PPN dan pajak penghasilan untuk berbagai proyek-proyek energi terbarukan, serta kebijakan yang menghapus sejumlah denda finansial untuk Produsen Tenaga Listrik Independen (Independent Power Producer/IPP), guna memacu produksi energi terbarukan. Belum terlambat untuk melakukan koreksi menuju keberlanjutan.

Redaksi Hijauku.com