DPR dan Pemerintah menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, Senin, 5 Oktober 2020 dalam sidang paripurna, meski berbagai lapisan masyarakat terus menyuarakan ketidaksetujuannya karena prosedur dan substansi yang bermasalah.
Sejak diserahkan oleh Pemerintah pada 12 Februari 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dijalankan walaupun Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19.
Dalam rancangan awal, undang-undang terdampak sejumlah 79 undang-undang, yang pada akhirnya mengalami perubahan menjadi 76 undang-undang. Namun secara pokoknya beberapa undang-undang yang selama ini mendapat kritik tetap menjadi bagian dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
“Dipaksakan” adalah kata yang menggambarkan bagaimana cara DPR dan Pemerintah dalam menyusun undang-undang ini. Keprihatinan ini disuarakan dan dikupas dalam analisis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berjudul “Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam” yang dirilis Selasa, 6 Oktober 2020.
Berdasarkan analisis ICEL terdapat beberapa temuan masalah dan potensi masalah dalam UU Cipta Kerja yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan temuan positifnya. Temuan tersebut diantaranya adalah:
1. Berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, permasalahan utama adalah direduksinya hak masyarakat atas akses dalam mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, hak atas partisipasi, serta hak atas keadilan. Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability yang dapat berakibat sulitnya menjalankan konsep tersebut. Penghapusan pengecualian larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.
2. Berkaitan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, permasalahan utama adalah dihapusnya batas minimal 30% kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau, meskipun fraksi-fraksi menolak saat rapat pembahasan. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak lagi “didasarkan” melainkan hanya “mempertimbangkan” penelitian terpadu. Selain itu terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan di kawasan hutan asalkan telah 5 tahun berturut-turut melakukannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.
3. Berkaitan dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama terdapat pada perumusan sanksi adminsitrasi dan pidana yang kurang tepat.
4. Berkaitan dengan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, permasalahan utama terdapat pada berbagai ketentuan-ketentuan dasar yang sebelumnya didetilkan dalam Undang-Undang, kemudian dihapus dan diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah. Di satu sisi kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.
5. Berkaitan dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, permasalahan utama adalah dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang “dilonggarkan” dengan tujuan untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis, yang mana lingkup kebijakan nasional yang bersifat strategis ini juga tidak dijelaskan.
6. Berkaitan dengan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, sekalipun telah mengakomodasi ketentuan tentang otonomi daerah (yang mana sebelumnya dihapus dalam draf RUU Cipta Kerja versi 2009), namun permasalahan utama terdapat pada ketentuan terkait partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Selain itu, pereduksian beberapa kewenangan DPR dan Pemerintah Daerah juga masih ditemukan. Dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh kepada semangat transisi energi yang tengah digagas saat ini.
Menurut ICEL, keenam kesimpulan ini menandakan bahwa UU Cipta Kerja dalam implementasinya berpotensi melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat dan juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment