Oleh: Rahmawati Retno Winarni dan Jalal *
Industri ekstraktif didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memasukkan segala ekstraksi (pengambilan) sumberdaya alam sebagai bagian dari industri ini; ada pula yang sekadar memasukkan pengambilan material dari dalam Bumi. Pendapat yang belakangan ini lebih banyak dianut. Konsekuensinya, industri ekstraktif dipandang mencakup minyak dan gas serta pertambangan saja. Extractive Industries Transparency Initiative, sebuah inisiatif paling terkemuka di bidang ini, juga hanya memasukkan migas dan tambang sebagai bagian dari industri ekstraktif. Demikian juga ketika World Bank Group mendefinisikannya dalam Extractive Industries Review.
Dampak industri ekstraktif sendiri sudah sangat diketahui. Sejak dekade 1990an, dunia dipenuhi dengan berbagai studi kasus dan analisis yang lebih luas tentang industri ini. Kulminasinya adalah pada Extractive Industries Review, yang diselenggarakan pada tahun 2004. Laporan kegiatan tersebut, Striking a Better Balance, menunjukkan bahwa industri migas dan tambang hingga periode tersebut telah menimbulkan ketimpangan dalam risiko dan manfaat. Risiko terbesar ditanggung oleh mereka yang berada di tempat di mana sumberdaya alam diambil (masyarakat dan negara), sementara manfaat terbesar dinikmati oleh mereka yang mengambilnya (perusahaan dan investor).
Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Industri Ekstraktif
Secara umum, kondisi ekonomi suatu wilayah yang menjadi lokasi industri ekstraktif mengikuti fase industri ekstraktif: eksplorasi, konstruksi, operasi, pasca-operasi. Ketika eksplorasi, manfaat ekonomi yang timbul sangat kecil, karena perusahaan hanya mencari sumberdaya alam yang hendak dimanfaatkannya. Belum tentu ada penemuan sumberdaya tersebut – sebuah eksplorasi migas biasanya memiliki success factor di bawah 10% – dan bila ditemukan belum tentu juga layak secara teknis dan finansial untuk dilanjutkan ke fase berikutnya. Lantaran kondisi ini, maka perusahaan hampir-hampir tidak memberikan manfaat ekonomi apapun kepada wilayah/negara di mana eksplorasi dilakukan.
Namun, apabila ditemukan sumberdaya alam yang dicari, dan secara teknis mungkin dieksploitasi, dan eksploitasinya diperhitungkan mendatangkan keuntungan ekonomi, maka perusahaan akan masuk ke tahapan selanjutnya, yaitu konstruksi. Tentu, ini dilaksanakan, setidaknya secara ideal, manakala perizinan telah sepenuhnya dimiliki. Pada fase ini, dampak ekonomi membesar. Peluang ketenagakerjaan meningkat pesat, sebelum turun kembali di fase operasi. Demikian juga, peluang bisnis lokal untuk menjadi pemasok material maupun jasa yang dibutuhkan. Namun, secara agregat, nilai ekonomi fase ini tak besar karena periode yang pendek.
Manfaat ekonomi terbesar untuk negara diperoleh pada periode operasi atau eksploitasi, lewat pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Bagi kelompok masyarakat tertentu yang mampu memenuhi persyaratan ketenagakerjaan maupun kontrak bisnis, fase ini juga menyediakan peluang yang besar. Namun, kelompok masyarakat yang bisa memenuhinya biasanya sangatlah sedikit. Sehingga, dominasi tenaga kerja maupun kontrak pada fase ini biasanya ada pada non-lokal. Kalaupun secara jumlah yang lokal bisa terlihat besar, mereka biasanya menempati level yang rendah. Belakangan, manfaat ekonomi bagi masyarakat bertambah lantaran banyak industri ekstraktif yang menyadari pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), terutama dalam wujud pengembangan masyarakat (community development). Lewat pengembangan masyarakat inilah perusahaan secara sengaja menyasar kelompok-kelompok rentan untuk bisa mendapatkan manfaat lewat peluang ketenagakerjaan, pengembangan bisnis, serta projek-projek untuk masyarakat.
Masuk fase selanjutnya, yaitu pasca-operasi, manfaat ekonomi juga menyusut. Lebih buruk daripada sekadar susut, banyak di antara industri ekstraktif yang meninggalkan wilayah dengan seluruh sumberdaya yang berharga telah habis, sementara tak ada sumberdaya lain atau penggantinya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Bila majoritas masyarakat adalah juga pendatang untuk mendekati operasi industri ekstraktif, maka mereka akan segera meninggalkan lokasi begitu ekstraksi selesai. Bila pemerintah tak mengalokasikan keuntungan finansial selama operasi itu untuk memastikan kehidupan bisa berjalan setelahnya, hampir dipastikan kota-kota pasca-operasi adalah kota-kota mati. Fenomena ghost town adalah jamak ditemukan di seluruh dunia.
Kalau secara ekonomi, naik turunnya mengikuti fase tersebut, secara sosial maupun lingkungan, industri ekstraktif juga memiliki kekhasan dampak yang terkait dengan fase-fase itu. Pada fase eksplorasi, dampak sosial bisa bersifat minimal, kecuali apabila perusahaan gagal mendekati masyarakat lewat tata cara yang patut. Masalahnya, penerimaan masyarakat pada periode ini sangat menentukan apakah perusahaan bisa mendapatkan dukungan pada fase sesudahnya. Kebanyakan perusahaan yang berpikiran bahwa izin dari pemerintah (legal license to operate) sudah memadai tanpa dukungan masyarakat (social license to operate) akan mengalami masalah yang terus menerus. Praktik terbaik mengajarkan bahwa social license setidaknya sama pentingnya dengan legal license, kalau bukan lebih penting lagi.
Dampak lingkungan di fase eksplorasi bisa dikatakan kecil, bila dibandingkan dengan dampak lingkungan secara keseluruhan. Namun, sangat mungkin tidak demikian bila dilihat dari sudut pandang masyarakat dan lokasi kejadian. Beberapa kejadian penting di fase eksplorasi telah membuat dampak yang sangat besar. Salah satu yang paling terkenal adalah eksplorasi migas di Sidoarjo oleh PT Lapindo Brantas yang diduga memicu munculnya fenomena mud volcano. Sejumlah besar desa terendam lumpur, dan sejak Mei 2006 hingga sekarang semburan lumpurnya belum terhentikan.
Pada fase selanjutnya, dampak sosial dan lingkungan negatif terus membesar. Fase konstruksi memang menyediakan peluang ketenagakerjaan dan bisnis, namun juga terkenal sebagai pemicu konflik ketenagakerjaan dan perebutan bisnis. Masuknya pekerja lain dalam jumlah besar juga meningkatkan kejadian konflik. ‘Penyakit pembangunan’ atau development disease banyak muncul pada periode ini, juga ekses seperti masuknya minuman keras dan prostitusi. Secara lingkungan, fase ini juga punya dampak yang signifikan. Walaupun tapak dari industri ekstraktif biasanya jauh lebih kecil daripada industri pertanian (mis. perkebunan kelapa sawit), namun dampak lingkungannya jauh melampaui ukuran tapak.
Tetapi, tentu saja, dampak sosial dan lingkungan terbesar datang pada fase operasi atau eksploitasi. Ketegangan hingga konflik dengan masyarakat akibat pengambilan lahan dengan cara-cara paksaan dan tipuan banyak terjadi. Menyusutnya peluang ketenagakerjaan membuat masyarakat menjadi kesulitan memenuhi kebutuhannya lantaran pada saat yang sama harga-harga barang membumbung tinggi di sekitar wilayah operasi industri ekstraktif manapun. Pelanggaran HAM paling banyak terjadi di fase ini juga, karena protes dari masyarakat tidak direspons dengan pendekatan yang memuliakan HAM. Sementara, hilangnya keanekaragaman hayati; pencemaran air, daratan, dan udara; deplesi sumberdaya alam lainnya, terjadi dengan kecepatan yang tinggi, dan kerap tidak terbalikkkan. Dan banyak perusahaan ekstraktif tak bisa menyelesaikannya hingga periode penutupan dan pasca-operasi.
Banyak studi yang juga menyatakan bahwa daya rusak industri ekstraktif terjadi bukan saja di level lokal, namun juga jauh hingga ke ibukota negara. Kebanyakan perizinan untuk industri ekstraktif tetap dipegang oleh pemerintah pusat, sehingga masalah tata kelola banyak muncul di sini. Perizinan yang rumit mengundang perusahaan untuk memotong jalan dengan suap, atau menjadi korban pemerasan aparat pemerintah yang memegang kendali atas izin. Korupsi dan industri ekstraktif adalah subjek studi yang sangat jamak. Pun kemalasan pemerintah untuk mengembangkan industri lainnya pada saat booming industri ekstraktif membuat negara menjadi tidak maju industrinya—yang dikenal sebagai fenomena Dutch Disease. Hilangnya sumberdaya alam setelah diambil oleh industri ekstraktif, namun tingkat kemajuan yang sepantasnya ternyata tak muncul di negara-negara pemilik sumberdaya alam itu juga sudah banyak ditulis. Salah satu yang paling terkenal adalah The Plundered Planet, yang ditulis oleh Paul Collier di tahun 2010.
Respons Industri Keuangan
Kesadaran bahwa dunia tak bisa membiarkan ketimpangan manfaat dan risiko dalam industri ekstraktif memang sangat menguat pada periode pertengahan hingga akhir 2010 itu. Antara laporan Extractive Industries Review dengan munculnya The Plundered Planet terdapat banyak sekali inisiatif untuk memerbaiki kinerja keberlanjutan industri ini. Tetapi, bukan semata-mata perbaikan langsung di industri ekstraktif yang disasar, melainkan juga di dalam industri pendukungnya, yaitu industri keuangan, yang sebelumnya benar-benar menikmati keuntungan hampir tanpa risiko (karena risiko industri migas dan tambang yang mereka biayai itu diasuransikan). Banyak di antara aktivis yang menyatakan bahwa industri keuangan adalah industri ekstraktif yang sesungguhnya.
Apa yang kemudian disaksikan seluruh dunia adalah respons dari industri keuangan atas tuntutan perubahan itu. Respons pertama adalah kesediaan untuk melakukan penapisan investasi dengan berbagai kriteria tata kelola, sosial dan lingkungan, selain dengan kriteria ekonomi yang selama ini dikenal. Maka, dunia menyaksikan munculnya IFC Performance Standards dan Equator Principles pada periode ini. Walaupun berlaku juga untuk industri-industri lainnya, namun sangat jelas bahwa standar penapisan tersebut adalah muncul lantaran desakan kebutuhan pembiayaan industri ekstraktif yang lebih baik, dan memang terutama dimanfaatkan untuk penapisan investasi di industri ekstraktif.
Banyak pihak, terutama dari industri keuangan sendiri, yang kemudian menyangsikan keefektifan penapisan seperti itu. Lebih jauh lagi, memang ada keraguan apakah memang ada hubungan yang positif antara kinerja keberlanjutan dan kinerja finansial, sebagaimana yang diteorikan oleh mereka yang mendorong penapisan investasi dengan kriteria-kriteria tersebut. Walaupun hasilnya beragam, namun studi mutakhir dan metaanalisis atas hubungan tersebut meyakinkan seluruh pemangku kepentingan bahwa memerhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social and governance, disingkat ESG) memang memiliki pengaruh positif atas kinerja keuangan. Salah satu yang terbaru adalah dari Friede, Busch dan Basses yang berjudul ESG and Financial Performance: Aggregated Evidence from More Than 2000 Empirical Studies, dimuat di Journal of Sustainable Finance & Investment, Vol. 5/4, 2015. Studi tersebut menyatakan “The results show that the business case for ESG investing is empirically very well founded. Roughly 90% of studies find a nonnegative ESG–CFP relation. More importantly, the large majority of studies reports positive findings. We highlight that the positive ESG impact on CFP appears stable over time.”
Studi yang lain, Sustainable Project Finance, the Adoption of the Equator Principles and Shareholder Value Effects dalam jurnal Business Strategy and the Environment, Vol. 23/6, 2014 oleh Eisenbach, et al. menyimpulkan bahwa bank-bank yang mengadopsi Equator Principles (EP)—alih-alih mengalami penyusutan pangsa pasar sebagaimana yang banyak dikhawatirkan bila bank melakukan penapisan dengan kriteria ESG yang lebih ketat—sesungguhnya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak mengadopsinya. “Recent trends in the project finance industry include an increasing volume and a growing awareness of sustainable development. This has raised the question of whether and a how voluntary code of conduct such as the Equator Principles (EP) could enhance its impact on the project finance industry. We apply an event study methodology, and also consider the market model and conditional variance. We find positive abnormal returns for financial institutions adopting the EP, which supports the reputational risk hypothesis. Furthermore, we document that adopters outperform the global project finance market, especially in terms of market share.”
Bagaimana EP bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekaligus bagi bank dijelaskan oleh studi Worsdorfer, Equator Principles: Bridging the Gap between Economics and Ethics? Yang dimuat dalam Business and Society Review, Vol. 120/2, 2015, yang secara meyakinkan menyatakan bahwa sesungguhnya konflik antara kepentingan individu, perusahaan, dan publik hanyalah kondisi hipotetis yang bisa disangkal. Bila industri keuangan melakukan penapisan investasi dengan menggunakan kriteria ESG yang ketat, maka bukan saja industri yang dibiayai menjadi lebih baik, melainkan juga manfaat yang lebih besar bisa diperoleh pemangku kepentingannya, sementara bank yang membiayainya sama sekali tidak mengalami kerugian, bahkan berpotensi menjadi lebih baik.
Berbagai Kemajuan di Indonesia
Hingga saat ini, tak ada satupun lembaga jasa keuangan Indonesia yang menjadi penanda tangan EP, walaupun bank-bank asing yang menandatangani EP banyak yang beroperasi di Indonesia. Demikian juga, sangat sedikit industri ekstraktif yang berhasil melampaui penapisan investasi yang menggunakan IFC Performance Standards. Ini menandai kenyataan bahwa peran industri keuangan dalam memerbaiki kinerja industri ekstraktif masih sangat terbatas. Walaupun, kinerja sosial dan lingkungan industri ekstraktif bisa dikatakan mengalami peningkatan dalam tahun-tahun belakangan.
Salah satu pertandanya adalah bahwa semakin banyak—walau tampaknya tetap minoritas—perusahaan migas dan tambang yang mendapatkan peringkat Biru, Hijau dan Emas dalam PROPER yang dilaksanakan oleh KLHK. Peningkatan yang sangat tajam terlihat dalam perusahaan yang berada di peringkat tertinggi, Emas, di tahun 2017, yang malahan didominasi oleh industri ekstraktif. Dari 19 perusahaan yang mendapatkan peringkat tersebut, hanya 3 yang bukan merupakan perusahaan ekstraktif atau turunannya. Dua perusahaan tambang, PT Antam Tbk Unit Bisnis Pengolahan Emas di Pongkor dan PT Bukit Asam Tbk termasuk yang mendapatkannya. Demikian juga PT Star Energy Geothermal, PT PJB Paiton, PT Badak NGL, dan PT Medco E&P. Sementara, 10 perusahaan lainnya adalah anak perusahaan atau unit bisnis PT Pertamina.
Namun demikian, perusahaan tambang dan PLTU batubara maupun perusahaan migas hanya bisa mendapatkan peringkat yang baik lantaran Indonesia memang belum menyatakan bahwa karbon dioksida adalah polutan. Begitu Indonesia memilih untuk menetapkan bahwa karbon dioksida—dan gas rumah kaca lainnya—sebagai polutan, maka akan sangat sulit buat perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapatkan peringkat yang baik di dalam PROPER. Bagaimanapun, dalam dunia yang menghadapi situasi perubahan iklim, maka penetapan gas rumah kaca sebagai polutan, dengan konsekuensi pajak karbon, adalah suatu keniscayaan. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk lembaga jasa keuangan di Indonesia perlu mengantisipasinya.
Perubahannya sendiri bisa terjadi dalam waktu yang lebih dekat dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya. Tahun 2017 adalah tahun yang sangat penting untuk melihat kemungkinan perubahan tersebut. Pertama, pada bulan Juli 2017 Presiden Indonesia membuat Perpres tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Walaupun SDGs tidak hanya terkait dengan industri ekstraktif, namun di level global industri ekstraktif merespons SDGs dengan positif, terutama dengan memerbaiki praktik-praktik mereka yang selama ini tak kompatibel dengan berbagai Tujuan SDGs. Sementara, respons industri keuangan atas SDGs adalah semakin menguatnya dorongan untuk masuk ke keuangan berkelanjutan—yang kini bahkan didefinisikan di level global sebagai pembiayaan SDGs dan Kesepakatan Paris. Kalau hal yang sama didorong di Indonesia, maka perbaikan industri ekstraktif, industri keuangan, dan kaitan di antara keduanya bisa menguat lantaran Perpres SDGs tersebut.
Kedua, menjelang penghujung masa tugas Komisioner OJK periode hingga 2017, POJK Keuangan Berkelanjutan dikeluarkan, juga pada bulan Juli 2017. POJK ini, dengan segala keterbatasannya, menjelaskan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, di mana prinsip pertamanya adalah investasi yang bertanggung jawab (responsible investment) mengharuskan industri keuangan untuk hanya membayari perusahaan dan projek yang kompatibel dengan tujuan keberlanjutan. Artinya, tak bisa lagi lembaga jasa keuangan Indonesia membiayai industri ekstraktif yang mengabaikan aspek-aspek keadilan dan kelestarian ekonomi-sosial-lingkungan.
Ketiga, pada bulan November 2017, Indonesia juga menyaksikan munculnya Peratutan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PP IELH) yang mendorong perhitungan ekonomi dan pengelolaan yang lebih baik atas dampak lingkungan. Dengan PP tersebut, industri yang secara lingkungan tidak baik akan bisa dipisahkan dengan yang baik, dan instrumen ekonomi untuk membedakan keduanya, lewat insentif dan disinsentif akan diciptakan. Ini juga, apabila ditegakkan dengan sungguh-sungguh, akan membuat perubahan besar di Indonesia.
Apa yang akan menahan perubahan tersebut? Jelas adalah kepentingan bisnis untuk memertahankan cara-cara tidak berkelanjutan untuk mendapatkan keuntungan dan jasa finansial. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah apa yang terjadi dengan tambang dan PLTU Batubara yang sebetulnya sedang mengalami ancaman menjadi aset terdampar (stranded assets), seperti yang terjadi di banyak negara. Kecenderungan harga yang terus turun selama beberapa tahun terakhir—yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan tambang batubara terbesar di dunia, Peabody Energy—jelas dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan terkait risiko perubahan iklim. Tetapi, di Indonesia ceritanya bisa saja lain.
Mumbunan, Silaen, dan Sari (forthcoming) memeriksa fenomena ini, dan sampai kepada kesimpulan bahwa untuk melindungi dirinya dari risiko aset terdampar maka perusahaan-perusahaan batubara melakukan strategi transfer risiko. Penurunan ekspor yang sangat drastis ke Tiongkok dan India direspons dengan cara (memengaruhi kebijakan agar) meningkatkan konsumsi listrik dari sumber batubara di dalam negeri. Termasuk di dalamnya adalah subsidi untuk harga listrik, peningkatan kapasitas listrik di tingkat rumah tangga, dorongan untuk konsumsi yang lebih besar, dan introduksi mobil listrik. Dengan demikian, tambang dan PLTU batubara bisa memanjangkan nafasnya.
Namun, strategi transfer risiko itu—berbeda dengan strategi penghindaran, reduksi, dan penerimaan risiko yang tidak membebani pihak lain—sebetulnya hanya memindahkan risiko kepada pihak lain dan mengubah bentuk risiko saja. Kalau mengikuti trajektori normal, maka sangat jelas industri tambang dan PLTU batubara akan berhadapan dengan risiko kehilangan nilai aset; namun dengan mentransfer risiko tersebut, maka negara dan masyarakat Indonesia-lah yang harus menanggungnya. Negara Indonesia akan terus menanggung biaya subsidi dan lainnya yang timbul dari pemanfaatan batubara, selain hampir mustahil bisa memenuhi komitmen SDG13 dan Kesepakatan Paris, lantaran pemenuhan kedua komitmen akan membutuhkan transformasi ke energi terbarukan secara massif dan segera. Masyarakat sendiri akan menanggung banyak hal, termasuk pencemaran dan beragam dampak dari perubahan iklim.
Ketiga regulasi yang disebutkan di atas sebetulnya menunjukkan arah yang bisa mengatasi masalah-masalah seperti aset terdampar itu, selain mendatangkan beragam peluang bisnis baru yang ada dalam paradigma ekonomi hijau. Kalau secara regulasi sudah demikian, maka lembaga jasa keuangan di Indonesia sesungguhnya perlu untuk segera meresponsnya dengan tindakan yang tepat. Sangat jelas bahwa semangat zaman menunjuk pada kepentingan untuk memastikan hanya industri—termasuk industri keuangan dan industri ekstraktif—yang sungguh-sungguh mengarahkan diri pada keberlanjutan saja yang akan sintas dan berkembang di masa mendatang. Karenanya, memelajari SDGs, keuangan berkelanjutan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, lalu mewujudkan semuanya di dalam kebijakan perusahaan yang sesuai, dan menegakkannya untuk menapis dan memilih investasi adalah keniscayaan bagi industri keuangan di Indonesia.
Pentingnya Kebijakan Pembiayaan Industri Ekstraktif
Salah satu hal yang sangat penting untuk dibuat oleh lembaga-lembaga keuangan adalah membuat kebijakan tentang pembiayaan untuk industri ekstraktif, yang sesuai dengan tujuan keberlanjutan, sebagaimana yang ditegaskan dalam SDGs dan Kesepakatan Paris. Salah satu contohnya datang dari Rabobank, salah satu bank yang dianggap paling progresif dalam bidang keuangan berkelanjutan. Dalam sustainability policy framework yang mereka buat, terdapat extractive industries policy (versi Januari 2017) yang menyatakan komitmen: “We will support our clients to continuously increase the environmental performance and carbon efficiency of their business in terms of both their products and their business process. As a result of this and through the development of our client portfolio we aim to contribute to reaching the Paris Accord goals for climate change.”
Kemudian, Rabobank melanjutkan dengan pernyataan penapisan negatif, yaitu: “We will not: (1) directly finance the exploration, extraction or production of coal used for power generation, shale gas, tar sands and other nonconventional fossil natural resources, nor the transport up to the production unit, production, processing, or refining of these extractive industries products; (2) directly finance coal-fired power generation; (3) directly finance the trade of coal for power generation. We may directly finance the trade of higher grade metallurgical coals used for the production of steel and base metals only, and (4) finance companies that realize more than 20% of their turnover in trading coal used for power generation.” Untuk konsisten dengan Kesepakatan Paris, bank memang tidak bisa lagi membiayai pengembangan dan pengolahan energi fosil. Rabobank mulai dengan menghindari pembiayaan untuk batubara, gas serpih, pasir minyak, dan energi fosil nonkonvensional lainnya. Namun, tuntutan pemangku kepentingan sesungguhnya hal yang sama juga berlaku untuk industri minyak.
Sementara, kebijakan lainnya, termasuk penapisan positif, oleh Rabobank mencakup hal-hal berikut ini: “(1) encourage clients to be transparent about their sustainability policies and performance in accordance with international reporting guidelines and about the impact of their business operations on climate change and reverse; (2) diminish financing provided to companies who underperform in terms of carbon efficiency and environmental performance, transparency about carbon efficiency and environmental performance or goal-setting on its carbon efficiency and environmental performance; (3) increase finance to frontrunner companies; (4) encourage clients to adopt the good practices promoted through guidance documents and reports (such as the Voluntary Principles on Security and Human Rights), including securing sufficiently healthy and safe working conditions, and providing a sufficient remuneration for employees; (5) encourage clients to have systems in place to ensure that all commodities come from legally operated companies; (6) encourage clients to use more energy efficient extraction and production methods, for example, plants partly operated using solar energy; (7) discuss concerns with a wider range of (non-commercial) stakeholders; and (8) encourage clients to discuss concerns with a wider range of (non-commercial) stakeholders.”
Apabila industri keuangan di Indonesia benar-benar hendak menjalankan keuangan berkelanjutan, berkontribusi pada pencapaian SDGs, dan menegakkan apa yang digariskan di dalam PP IELH, kebijakan yang demikian harus segera dimiliki oleh setiap lembaga jasa keuangan, dan ditegakkan dengan konsisten. Bila tidak, maka kita hanya akan menyaksikan kondisi (unsustainable) business as usual.
–##–
Catatan Redaksi:
Tulisan ini disampaikan dalam diskusi publik Arah Baru Kebijakan Korektif Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Peluang dan Tantangan, sebagai bagian dari rangkaian acara Environmental Outlook 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta tanggal 18 Januari 2018.
* Rahmawati Retno Winarni adalah Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada advokasi kebijakan sektor berbasis lahan, termasuk dan terutama perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA.
[…] Sumber: http://www.hijauku.com/2018/01/18/industri-ekstraktif-dan-sektor-keuangan/ […]