Wakatobi beach - Jenny from Taipei - WikimediaPerserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2017 sebagai Tahun Pariwisata Berkelanjutan. Peluang besar bagi Indonesia untuk merayakannya, sebelum kerusakan lingkungan yang lebih parah melanda Tanah Air. Kerusakan lingkungan itu berupa pencemaran udara, sampah, penebangan hutan secara serampangan, perburuan liar, musnahnya spesies dan rusaknya habitat satwa liar akibat tata kelola yang tidak ramah lingkungan. Indonesia menghadapi ancaman kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi, akibat praktik deforestasi dan pembakaran hutan. Semua itu adalah aset wisata nusantara yang tidak ternilai harganya.

Keputusan penetapan 2017 sebagai Tahun Pariwisata Berkelanjutan dilakukan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 4 Desember 2016. Dalam resolusinya, Sidang Umum PBB mengakui pentingnya peran industri pariwisata internasional dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Industri pariwisata yang ramah lingkungan membantu terwujudnya toleransi antar warga negara dunia yang menghargai perbedaan seni dan budaya di setiap negara sehingga mendorong terciptanya perdamaian dunia.

Jauh dari nafsu saling menghancurkan dan membunuh, nuansa perang, kebencian, perilaku merusak dan menghasut, industri pariwisata justru memromosikan keindahan Tanah Air, menjaga kebersihan, kebersamaan dan saling menghormati antar budaya dan sesama dalam menikmati anugerah Yang Maha Kuasa.

“Deklarasi 2017 sebagai Tahun Pariwisata Berkelanjutan memiliki peluang yang unik dalam mendukung tiga pilar (pembangunan) berkelanjutan yaitu – ekonomi, sosial dan lingkungan,” ujar Taleb Rifai, Sekretaris Jenderal Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) dalam siaran pers WTO. “WTO memimpin inisiatif ini dan mengajak kolaborasi pemerintah, organisasi regional dan internasional yang relevan dan para pemangku kepentingan yang lain.”

Menurut data dari WTO sektor pariwisata menyumbang 10% produk domestik bruto (PDB) dunia. Industri pariwisata juga menyumbang 1 dari 11 lapangan kerja dunia. Kinerja industri pariwisata ini juga dirasakan di Indonesia.

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, dalam jumpa pers di Jakarta, 21 Desember 2016, menyatakan, secara garis besar kebijakan dalam mengembangkan kepariwisataan selama tahun 2016 sudah sesuai dengan target pariwisata yang ditetapkan, yakni; kontribusi pariwisata terhadap perekonomian (PDB) nasional sebesar 11%, devisa yang dihasilkan sebesar Rp 172 triliun dan penyerapan 11,8 juta tenaga kerja (langsung, tidak langsung, dan ikutan); jumlah kunjungan wisman 12 juta dan pergerakan wisatawan nusantara (wisnus) 260 juta optimis akan tercapai. “Capaian kinerja pariwisata tahun 2016 ini semakin menguatkan kita untuk meraih target 2017 hingga 2019,” kata Arief Yahya.

Pada 2017, pemerintah menetapkan target pariwisata sebagai berikut: kontribusi pariwisata terhadap perekonomian (PDB) nasional sebesar 13%, devisa yang dihasilkan sebesar Rp 200 triliun, penyerapan tenaga kerja sebanyak 12 juta, jumlah kunjungan wisman 15 juta dan pergerakan wisnus 265 juta, serta indek daya saing (WEF) berada di ranking 40, dari posisi saat ini di ranking 50 dunia. Sedangkan target pariwisata 2019 yakni; jumlah kunjungan wisman 20 juta; pergerakan wisnus 275 juta; kontribusi terhadap perekonomian (PDB) nasional sebesar 15%; devisa yang dihasilkan sebesar Rp 280 triliun; penyerapan tenaga kerja sebanyak 12,6 juta; serta indek daya saing (WEF) berada di ranking 30 dunia.

Menpar Arief Yahya menegaskan kembali amanat Presiden Joko Widodo agar pertumbuhan sektor pariwisata dipercepat dan diakselerasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah dalam program pembangunan lima tahun ke depan yang fokus pada sektor; infrastruktur, maritim, energi, pangan, dan pariwisata telah menetapkan pariwisata sebagai leading sector karena dalam jangka pendek, menengah, dan panjang pertumbuhan sektor pariwisata positif.

Bali Baru

Salah satu program prioritas yang dipaparkan adalah program pembangunan wisata singgah (homestay) melalui program pembangunan ‘desa wisata’ yang akan dimulai kembali tahun 2017. Program ini digalakkan dalam rangka mendukung percepatan pembangunan 10 destinasi prioritas sebagai ‘Bali Baru’ yakni: Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), Mandalika (Lombok, NTB), Labuan Bajo (Flores, NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku).

Selain itu program prioritas 2017 yang sangat startegis adalah pembangunan konektivitas udara mengingat sekitar 75% kunjungan wisman ke Indonesia menggunakan moda transportasi udara sehingga tersedianya jumlah kursi pesawat (seat capacity) yang cukup menjadi kunci untuk mencapai target tahun 2017 hingga 2019 mendatang.

Menpar Arief Yahya mengatakan, ketersediaan kapasitas kursi (seat) sebanyak 19,5 juta oleh perusahaan maskapai penerbangan (airlines) Indonesia dan asing saat ini hanya cukup untuk menenuhi target kunjungan 12 juta wisman pada 2016, sedangkan untuk target 15 juta wisman tahun 2017 membutuhkan tambahan 4 juta seat. Untuk target 18 juta wisman tahun 2018 membutuhkan tambahan 3,5 juta seat atau menjadi 7,5 juta seat, sedangkan untuk mendukung target 20 juta wisman pada 2019 perlu tambahan 3 juta seat atau menjadi 10,5 juta seat pesawat.

Sementara itu untuk memenuhi tambahan 4 juta seat dalam mendukung target 15 juta wisman pada 2017, Kemenpar melakukan strategi 3 A (Airlines-Airport & Air Navigation—Authorities) yang diawali dengan melakukan nota kesepahaman (MoU) kerjasama dengan perusahaan penerbangan Indonesia dan asing yaitu PT Angkasa Pura I & II dan AirNav Indonesia dalam upaya menambah direct flight (penerbangan langsung) berjadwal melalui pembukaan rute baru, extra flight, maupun flight baru dari pasar potensial serta pemberian incentive airport charge dan pengalokasian prioritas slot di sejumlah bandara internasional di Indonesia, serta promosi bersama dalam mewujudkan partnership action program untuk mendukung target pariwisata 2019.

Satu yang harus juga dilaksanakan oleh pemerintah adalah koordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, pemerintah daerah untuk memromosikan ekowisata, atau wisata yang ramah lingkungan.

Koordinasi antar pihak terkait tersebut diperlukan untuk menyelaraskan kebijakan dan praktik di lapangan. Terutama dalam aksi menjaga aset-aset pariwisata nasional, tidak hanya aset lingkungan, namun juga aset sosial dan budaya guna menjamin keamanan, kebersihan dan kenyamanan bersama sehingga bisa memaksimalkan perekonomian dan bisnis lokal serta perolehan devisa negara. Tahun Pariwisata Berkelanjutan juga bisa menjadi sarana untuk memromosikan produk-produk Indonesia yang ramah lingkungan sehingga bisa lebih berjaya.

Redaksi Hijauku.com