Media Briefing di Cafe DeArteOleh: Rinda Gusvita *

Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan hajatan besar dua tahunan yang digelar oleh Friends Of The Earth International (FoE I) Biennial General Meeting (BGM) yang akan berlangsung sejak 23 November hingga 4 Desember 2016. FoEI merupakan organisasi akar rumput internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Walhi yang merupakan anggota dari FoE I memilih Lampung sebagai lokasi kegiatan karena Lampung dianggap telah sukses dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Pada kesempatan Media Briefing, Jumat (4/11) Ketua Panitia BGM FoE I sekaligus Deputi Direktur Eksekutif Nasional Walhi Oslan Purba didampingi Direktur Walhi Lampung Hendrawan mempaparkan bahwa agenda ini akan dihadiri oleh utusan dari 75 negara di dunia, perwakilan Walhi di 28 daerah di Indonesia, jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan rencananya juga akan menghadirkan Presiden Joko Widodo dan tentunya jajaran stakeholder di Lampung.

Mengusung tema “Memperkuat Wilayah Kelola Rakyat, Mewujudkan Keadilan Ekologi” kegiatan ini bertujuan memilih pimpinan dan dewan FoE International serta merumuskan langkah-langkah ke depan dalam melestarikan lingkungan hidup yang seimbangan dan berkelanjutan di bumi.

Kegiatan ini juga didukung oleh Pemerintah Provinsi Lampung dan juga KLHK. Di Lain kesempatan, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Satono menjelaskan bahwa ini merupakan kegiatan yang besar dan baru pertama kali di Lampung, untuk itu mereka akan terus berupaya keras untuk memfasilitasi dan mendukung acara tersebut agar pelaksanaan berjalan lancar dan mengharumkan nama Lampung.

Puncak rangkaian kegiatan BGM FoE I itu adalah simposium internasional yang akan digelar pada tanggal 25 November di Bandar Lampung dan dilanjutkan dengan fieldtrip ke wilayah kelola dampingan Walhi Lampung kawasan SHK Lestari Register 19 Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) dan Desa Gebang guna melihat dari dekat bentuk pengelolaan hutan dan pesisir. Rencananya juga akan dilakukan kunjungan ke KPHP Gedong Wani yang merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap di Lampung Selatan.

Menurut Oslan, kegiatan ini akan berdampak pada perekonomian daerah sekaligus mendorong pemerintah untuk melakukan reforma agraria.

“Ini tentang national interest. Jika Presiden mau datang, ini bukan karena Walhi. Kerjasama ini paling tidak akan memengaruhi pemerintah dan daerah untuk bisa sejalan. KLHK, KSP dan Pemda tidak akan berhasil jika jalan sendiri-sendiri. Proses ini paling tidak akan men-streaming pemerintah. Ini akan jadi kunci pembuka Pandora bagi terlaksananya reforma agraria,” kata Oslan.

Kegiatan ini juga bertujuan memaksa pemerintah untuk sungguh-sungguh merealisasikan janji politiknya terkait agenda tata kelola lahan. Ini peluang besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya terhadap hak kelola.
Pemerintah menjanjikan perhutanan sosial yang meliputi hutan desa, HTR dan HKm seluas 1,2 juta Ha yang dicadangkan pada satu periode terakhir. Namun faktanya menurut Oslan masih banyak persoalan. Ketika Joko Widodo baru terpilih, Walhi mengusulkan 45 juta Ha dari tanah terlantar dan wilayah konflik namun justru muncul pencadangan hanya 1,2 juta Ha itu. Pihaknya sangsi bahwa target ini akan tercapai pada 2019.

“Masalahnya adalah 12,7 juta Ha itu dimana? Sedangkan syarat keluarnya Peta Indikasi Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) adalah lahan itu harus clean and clear. Masalahnya lahan konflik tidak masuk dalam PIAPS sehingga kita butuh terobosan agar lahan ini masuk ke dalam skema (pengelolaan),” papar Oslan.

Wilayah kelola rakyat merupakan gambaran tentang nilai-nilai luhur masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, sosial, dan budaya yang menjadi praktik turun temurun. Oslan menegaskan bahwa wilayah kelola rakyat merupakan upaya untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga terwujud keadilan ekologis sekaligus sarana untuk menyelesaikan persoalan hak rakyat atas lahan-lahannya. Kondisinya saat ini adalah masyarakat telah melakukan pengelolaan secara de facto, tapi secara de jure mereka belum mendapatkan izin untuk melakukan aktivitas pengelolaan.

Menurut Hendrawan, Saat ini di Lampung terdapat Sistem Hutan kemasyarakatan (SHK) yang secara fungsi lahan sudah terlihat perbaikannya, namun secara pola tanam masyarakat masih harus didampingi. Ada juga Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang memang bisa ditanami tanaman produksi seperti kopi dan cokelat tapi tetap harus multikultur. Di Lampung Selatan, Walhi tengah melakukan pendampingan terhadap terlaksananya skema hutan desa di Register 3 Gunung Raja Basa. Masyarakat di 22 desa akan bisa memperoleh akses untuk mengelola hutan desanya.

Di Kabupaten Pesisir Barat yang terjadi adalah masyarakat yang telah lama mengelola Hutan Tanaman Rakyat (HTR) justru belum diberikan izin resmi pengelolaan. Di sisi lain pihak koperasi yang notabene bukan masyarakat tempatan justru mendapatkan akses kelola dari pemerintah. Saat ini di wilayah pencadangan sekitar 22 ribu Ha lahan HTR telah diberikan izin kepada koperasi. Di Gedong Wani Lampung Selatan harapannya akan terjadi kondisi yang berbeda karena masyarakat yang melakukan pengelolaan di sana tergabung dalam Gapoktan dan tengah mengusulkan skema HTR ini.

“Tantangan yang dihadapi oleh para pihak adalah bahwa masyarakat pengelola masih sangat perlu pendampingan dan terus mendorong kearifan lokal sebagai basic knowledge karena skema pengelolaan modern cenderung kapitalis dan tidak berkelanjutan,” ujar Oslan.

Harapannya, kegiatan BGM ini akan jadi social movement, bukan sekedar aktivitas, dan membantu terwujudnya hak-hak masyarakat. Di sisi lain perlu juga membangun dan merealisasikan kebijakan infrastruktur dan investasi.

Bagi Walhi Lampung, momentum BGM ini menjadi sangat urgen di tengah kebuntuan terhadap advokasi berbagai kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi di Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana diketahui, di Lampung kerap terjadi perampasan lahan, hilangnya akses masyarakat atas sumber-sumber kehidupan, rusaknya ekosistem lingkungan hidup serta kegiatan pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Melalui kegiatan ini diharapkan perhatian pemerintah akan terbuka dalam mendorong penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup, melakukan penegakkan hukum terhadap para pelaku kejahatan lingkungan hidup dan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam perbaikan dan pemulihan kawasan hutan dan lingkungan di Provinsi Lampung.

* Rinda Gusvita, S.T.P., M.Sc adalah relawan Walhi Lampung dan dosen di Teknik Industri di Institut Teknologi Sumatera.