Konferensi Pers JatamJakarta – Peristiwa Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga yang menolak tambang PT. Cipta Buana Seraya (CBS) di Kabupaten Bengkulu Tengah (11 Juni 2016), menunjukkan tidak ada perubahan dalam penanganan konflik lingkungan hidup dan agraria di Indonesia oleh negara, yang mengedepankan pendekatan repressif. Empat orang warga tertembak dan harus dirawat di rumah sakit. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa kepolisian belum dapat melakukan pengayoman terhadap masyarakat sesuai fungsinya, lebih berpihak kepada perusahaan pertambangan batubara yang merusak lingkungan hidup, memproduksi konflik dan pelanggaran HAM. Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, “kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, adalah merupakan penghianatan terhadap Hak Asasi manusia. Hak yang diakui UUD ’45 dan di jamin oleh UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 66 undang-undang tersebut disebutkan, bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa industri ekstraktive seperti tambang batubara berwatak bukan hanya eksploitatif dan merusak lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, tapi juga berwatak militeristik”, ujar Nur Hidayati. WALHI, KPA, KontraS, JATAM dan organisasi masyarakat sipil lainnya mengecam tindak kekerasan, arogansi dan ketidak profesionalan aparat kepolisian tersebut. “Terlebih dalam pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil beberapa waktu yang lalu, Kapolri, Jendral Polisi Badrudin Haiti menyampaikan komitmennya bahwa Polri tidak akan lagi terlibat dan memfasilitasi perusahaan yg berkonflik dengang masyarakat, karena selama ini Polisi yang selalu disalahkan. Badrodin Haiti juga mengungkapkan bahwa Polri akan mengambil sikap, meminta Instansi terkait untuk menyelesaikan konflik Sumber Daya Alam (SDA) nya, tegas Haris Azhar, Koordinator KontraS. Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin menyatakan bahwa peristiwa ini menegaskan bahwa konflik agraria dan konflik lingkungan hidup akan terus terjadi, karena Presiden sampai saat ini belum menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk menyelesaikan konflik agraria secara sistematis dan struktural”. “Jika memperhatikan kronologi perjuangan masyarakat dalam menolak pertambangan PT. CBS, bahwa masyarakat telah menempuh cara cara demokratis dan sesuai hukum dalam menyampaikan penolakannya sejak awal tahun ini. Masyarakat menolak pertambangan karena merampas ruang hidup dan mengancam keselamatan warga. Maka sudah seharusnya aparat kepolisian dapat mengambil tindakan preventif, melakukan komunikasi agar Pemerintah Daerah dapat merespon tuntutan warga. Dan bukan sebaliknya, melakukan tindak kekerasan terhadap warga”, Ki Bagus dari JATAM menambahkan. Oleh karena itu WALHI, KPA, KontraS dan JATAM, mendesak agar kepolisian  menghentikan penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menangani konflik lingkungan hidup dan SDA/agraria, serta tidak lagi memfasilitasi dan berpihak kepada perusahaan yang berkonflik dengan warga. Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan warga dan menghentikan pertambangan yang merusak. Peristiwa ini harus menjadi peristiwa terakhir dan menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik lingkungan hidup dan agraria di Indonesia. (selesai) Jakarta, 12 Juni 2016 Untuk keterangan lebih lanjut hubungi: Khalisah Khalid, WALHI: 081311187498 Haris Azhar, KontraS di 081513302342 Dewi Kartika, KPA di 081394475484 Ki Bagus, JATAM di 085781985822